Minggu, 30 Oktober 2016

MENCARI HARAPAN DI ANTARA POTRET BURAM PILKADA



(Sebuah Refleksi Kritis Akan Dinamika Politik Di Kampung Halaman)

Oleh: Robertus Nauw (*)



Perhelatan politik sudah ujung pintu, genderang pilkada sudah di tabu maybrat siap melilih, semua itu kembali ke pilihan pibadi, sebagaai orang yang berilmu tentunya sudah mampu mengambil satu keputusan, namun bagaimana dengan yang tak berilmu di negeri kita, apakah harus jadi korban cuci otak kalangan tertentu, sebagai kelasiman dalam perilaku politik di negeri yang konon katanya didiami oleh ra bobot, entah !! 

“Maybrat adalah sebuah daerah otonom baru dibentuk berdasarkan undang-undang no 13 tahun 2009 tentang pembentukan kabupaten maybrat dengan jumlah penduduk berdasarkan undang-undang ini kurang lebih 30612 juta jiwa (tanpa dirinci berdasarkan jenis kelamin) sebagian besar berdomisili di daerah pedalaman maybrat dengan mata pencaharian utama sebagai petani yang berkebun masi secara nomaden.” (Nadjemuddin, hal 13)

Seiring berjalannya waktu, apakah visi perbaiakn kualitas hidup akar rumput yang menjadi isu primadona sebagai bargaining hadirnya pemerintahan di sana, apakah  sudah berjalan sesuai asas kelayakan, atau belum biar pemimpin dan komplotannya yang bicara lewat program nyata.  

Untuk mewujudkan pemerintahan yang dapat melakukan semua tugas pokok dan mengembangkan misinya, diperlukan lembaga dan pemimpin yang siap melayani masyarakat. Sejauh ini, di Kab Maybrat sudah terlihat bahwa kehadiran lembaga-lembaga pemerintahan semakin dominan. Sayangnya lembaga-lembaga itu seringkali tidak begitu mampu memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Dengan mengambil maybrat sebagai obyek kajian, semakin terasa meningkatnya keluhan masyarakat atas pelayanan yang miskin dan mengecewakan dari lembaga-lembaga pemerintahan pada berbagai tingkatan dan sektor. Namun itu bukan berarti pelayana di maybrat ada dalam sebuah potret yang buram. 

Bahkan belum lama ini di berbagai media, masih terus memperlihatkan mengalirnya berbagai informasi mengenai penyalahgunaan kekuasaan (Power  Obuse) baik dilakukan oleh kepada daerah dan juga kepala-kepala SKPD. Salah satu sebab, kalau bukan sebab utama, dari semua itu adalah terbatasnya kehadiran pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen sebagai pelayan (servant leaders). Asas mempertanggungjawabkan kepada masyarakat  (Pubic Accountability) sebagai sesuatu yang secara hakiki seyogyianya melekat pada eksistensi kepemimpinan belum terhayati. 

Akibatnya, partisipasi masyarakat  di berbagai sektor pun masih sulit di pacu. Apa yang secara umum kita saksikan adalah kehadiran pemimpin-pemimpin yang lebih suka dilayani,  dan partisipasi masyarakat yang lebih banyak bermakna pengorbanan.

Secara mendasar, keluhan tentang rendahnya kualitas pelayanan publik dibidang perijinan usaha, bantuan modal usaha, pengawasan lingkungan hidup, angkutan umum (darat, laut dan udara) rumah sakit jalan raya, ekonomi berbasis kerakyatan, air minum, listrik, telepon, dan kualitas pendidikan, bahkan polemik letak ibukota kabupaten sebagai pusat pelayanan sudah menjadi tema perbincangan sehari-hari. 

Semua itu merupakan bukti atas masih rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh masyarakat. kecenderungan beberapa pejabat melakukan korupsi, dan kelalaian masyarakat melakukan pengawasan  atas kegiatan bisnis besar yang melibatkan uang negara dan uang masyarakat misalnya, jelas mencerminkan kualitas kepemimpinan mereka. 

Skandal korupsi kepala derah yang kemudian menjadi contoh paling gamlang dari kelalian pemerintah dan masyarakat sebenarnya dalam menjalankan amanah konstitusi mewujudkan sebuah visi pemerintahan yang baik (Good Goverment) dan kasus yang telah dan sedang terjadi di maybrat seperti ini merupakan contoh kemunduran yang paling gamlang di dilihat didepan mata. 

 Seharusnya kasus seperti ini, justru menyadarkan kita bahwa keleluasan mereka itu hanya terdapat terpelihara sekian lama akibat adanya kolusi dengan pejabat. Dan kalau diteliti lebih jauh tentunya sangat melukai hati akar rumput.

Terlepas dari itu, kita saat ini dihadapkan pada kenyataan apakah saat ini masyarakat mampu melihat dengan jeli, akan akal busuk pejabat atau pemimpin siapa dalam slogan pelayanan kepada masyarakat. Mengingat masyarakat belum cukup mantap untuk menjamin lahirnya pemimpin – pemimpin yang baik.

Kericuhan yang tidak jarang kita kita saksikan di dalam Proses Pemilihan Bupati, Bahkan Kepala Desa Di Maybrat sekalipun semua mengindikasikan adanya ketidak serasian antara hasrat apalagi bertujuan untuk memperoleh pemimpin-pemimpin yang baik, sehingga penolakan pun diam-diam terjadi kelak di kalangan masyarakat adalah sebuah konsekuiensi.

Menurut saya, mencari sosok pemimpin di maibrat saat ini hanya kembali kepada hal kepekaam masyarakat, sekali lagi kepekaan tanpa embel-embel provokasi dan sentiment politik tertentu dari masyarakat untuk membedakan antara pemimpin yang baik dan yang buruk, yang cakap dan yang bodoh, yang jujur dan yang korupsi, yang mementingkan kepentingan masyarakat di atas segalanya ketimbang mementingkan kepentingan kelompok, suku isme, kampung isme bahkan keret, tanpa melukai sisi kemanusiaan kita sebagai manusia pemilik negeri maybrat secara sah. Dan ketidak pekaan ini akan sulit memberi respon yang tepat didalam proses kepemimpinan. 

Sebagai refleksi bagi kita semua, terutama masyarakat yang sedang mencari idola pemimpin baru di maibrat, ingat bahwa dua figur (kandidat) hari ini sebagai figure terbaik orang maybrat. ini adalah tokoh terbaik maibrat kembali pada karya mereka apakah meninggalkan  kebaikan atau tinggalkan warisan penderitaan yang berkepanjangan bagi rakyat di negeri leluhur mereka sendiri, untuk hal ini biar hanya dewa yang tau. 

“Mengingat keteladanan adalah tantangan paling berat yang diharapkan pada upaya pengembangan kepemimpinan pemerintahan.” (MR Rasyid, 127) Dalam kasus pilkada maybrat kali ini, menurut hemat saya sebenarnya adil, karena sosok bupati sebelumnya hanya reuni bertarung kembali secara terbuka melawan wakilnya dulu dalam pemerintahan. Itu artinya, biar karya yang bicara karena dengan begitu masyarakat yang peka menilai sisi pelayanan dan keteladanan selama kepemimpinan. dan untuk memilik pemimpin yang baik itu di tangan anda jadi jangan golput. 


(ini hanya sebuah refleksi untuk hari ini, tidak untuk didiskusikan)


(*) Penulis adalah pegiat pendidikan, mantan kontributor kantor berita negara ANTARA biro papua barat, dan wartawawan papuabaratpos, perna menjabat sebagai Staf Leassion Assistant AUSAID dan saat ini menjabat sebagai Community Enenggeimen Coordinator UNICEF Papua Barat. dan staf di STKIP Muhammadiyah sorong

Rabu, 13 Juli 2016

Melodi Literasi




Aliran sungai Klawak yang terus mengalir sepanjang hari menjadi tumpuan masyarakat kampung Wilti untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dari sungai tersebut masyarakat bisa mengambil manfaat seperti untuk menokok sagu, menjadikan sumber air minum, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Tanpa terkecuali bagi guru-guru dari luar kampung  Wilti yang telah menjadi bagian dari masyarakat di sana. Satu diantaranya adalah seorang guru yang belum lama bertugas di kampung tersebut yang pada pagi itu sedang mengawali aktifitasnya di sungai tersebut.

Barisan lirik lagu”Hitam kulit keriting rambut aku Papua” tidak sealiran dengan jiwa yang kini melekat padanya. Hatinya mencintai masa depan Papua bukan dengan kata-kata semata, tetapi dengan raganya serta  jari-jari kecil dan gitarnya dia menyetuh hati anak-anak kampung Wilti Distrik Klawak. Dia tampak begitu berbeda dengan lingkungannya orang-orang disekitarnya kulit coklat dan rambut hitam lurus, lebih terkenal dengan panggilan Pak guru Jawa.

Ia adalah seorang guru honorer di SD Inpres 104 Wilti, Anang Riyadi lahir di Katapop 15 April 1992. Dengan bekal pendidikan Sarjana Pendidikan Sastra Bahasa Indonesia jebolan STKIP Muhammadiyah Sorong dan dorongan “paklek” seorang kepala sekolah di wilayah itu maka hadirlah sosok baru yang mengabdikan dirinya di kampung yang memiliki sungai yang dikenal indah. Berdiri tegap pagi dan sore di depan kelas melayani mata-mata kecil yang rindu akan datangnya secercah cahaya ilmu pengetahuan. 

Berbanding terbalik dengan kondisi di tempat asalnya di daerah perkotaan, kondisi di tempatnya sekarang bertugas sebagai seorang pendidik cukup menantang. Keterbatasan sumber daya listrik dan signal menjadi hal baru baginya saat bertugas di tempat ini. selain itu jarak dari pusat kota yang cukup jauh menyebabkan mahalnya harga kebutuhan pokok di kampung tersebut. namun semua tantangan tersebut tidak menyurutkan langkah dan semangat dari  guru muda ini.

Bulan Juli tahun 2015 langkahnya dimulai dengan menjadi guru kelas pada kelas rangkap 3 dan 4 di SD Inpres 104 Wilti. Kehadirannya membawa angin segar kepada anak-anak tidak hanya di tingkat sekolah dasar tetapi juga di sekolah menegah pertama di kampung itu. Sehingga, enegrinya kini dibagi sejak pagi hingga siang hari di SD Inpres 104 Wilti dan siang hari hingga sore hari di SMP Negeri 21 Kabupaten Sorong yang mana bagunan sekolahnya massih dipakai bersama. 

Alasan hal ini terjadi karena ruang kelas dan jumlah pelita-pelita pendidikan yang kurang setidaknya ini mengantikan kata “guru” bagi  mereka. Dengan media seadanya, bekal pendidikan yang ia punya, tentunya semangatnya yang lebih banyak disalurkan melalui gambar dan lagu dia membangun mimpi murid-murid yang baru didampinginya. 

Mengenal lebih baik berarti tau lebih banyak dari sebelumnya, hal itu dia temukan saat akan menghantarkan pelajaran dengan banyak materi-materi panjang yang harus dibaca bersama murid-muridnya. Namun apa mau dikata muridnya belum bisa membaca dengan baik, dari 13 siswa baru 1 anak bisa membaca lancar.  Dia bernama Simson Mlaskit sering dianggap “asisten kelas”. Kebinggungan adalah  kalimat  yang mengambarkan kondisi guru muda yang sebelumnya tidak terpikir akan mendidikan sampai ditingkat mendasar tentang membaca dan menulis. 

“Haruskah saya seorang guru lulusan PGSD sehingga mengerti penyesaian masalah ini?” katanya dalam hati. Terlintas rasa tidak percaya diri tentang kemampuannya membina beberapa anak yang belum mengenal huruf apa lagi membaca pada siswa kelas 3 dan 4. Hari berganti hari sang guru lebih banyak membacakan buku dan memberi tes lisan dan pelajaran matematika cara ini dianggap mudah dan efektif untuk murid-murid. Namun yang terjadi perkembangan membaca dan pengetahuan hanya Nampak pada Si asisten kelas Simson Mlaskit. 

Dipenghujung bulan September hadir “Program Penguatan Baca Tulis Kelas Awal di Daerah Pinggiran dan Terpencil”.  Di awal program guru – guru mengangap program ini program SM3T, namun hal ini berubah setelah perkenalan secara langsung oleh mentor unicef dan melaksanakan pelatihan awal untuk guru dan kepala sekolah. 

Hal ini tentunya baru untuk guru ini dan rekan-rekannya. Lagu awal yang memaksa kami bergerak atau lebih tepatnya bergoyang adalah lagu “Tikus Tinus” hal baru yang dia mengerti tentang pengenalan huruf melalui lagu. Pelatihan ini berlangsung selama enam hari. Hari-hari yang menarik dengan belajar materi seputar Dengar,Baca,Ucap,Tulis untuk kelas awal (1,2, dan 3). Hal yang paling digemari adalah simulasi pengajar mengunakan buku cerita.

Selepas pelatihan guru-guru sudah dibekali dengan perangkat pembelajaran RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)  yang sebelumnya tidak kami gunakan sebagai pedoman mengajar di kelas. Membaca RPP dan mengikutinya dengan membuat catataan kecil agar setiap kali pembelajaran tidak terus melihat RPP. Selama pelaksaan program Sang guru harus membagi konsentrasi kelas rangkapnya khusus dikelas tiga pada saat jam bahasa Indonesia .

Hal lain yang  Dia lakukan untuk  merangkul anak-anaknya dengan menyanyikan beberapa lagu mengunakan gitar. Lagu kesukaan anak-anak yaitu Lagu Laskar Pelangi, Aku Papua, dan Bunda. Namun kedekatannya dengan anak-anak belum menyelesaikan tantangan mendasar tentang kemampuan siswa membaca dan menulis. Sejak kehadiran program ini Sang guru merasa lebih kaya dengan lagu-lagu huruf. 

Lagu ini  yang diajarkannya  kepada anak-anak melalui gerak. Mereka tertawa bersama ketika merasa ada bagian lagu yang sulit digerakan. Dari lagu-lagu huruf ini pula banyak pertanyaan yang tidak disangka terlontar dari bibir mungil anak-anak itu. 

Mereka bertanya kepada gurunya “Pak guru apa itu musang?” celotek anak itu. Dengan media yang ada berupa gambar kartu huruf dan buku kebun huruf Sang guru mulai menjelaskan hewan yang baru bagi mereka. Tanpa mereka sadari anak-anak mulai mengenal huruf dari kebiasan mereka menyanyikan lagu-lagu huruf.

 Selain itu media belajar  yang mendukung adalah lembar empat garis pada LKS yang memudahkan anak-anak untuk belajar menulis. Sang guru pecinta musik ini juga melaksanakan hal lain dengan mendukung rekan- rekan sejawatnya dalam pengunaan RPP dan LKS disaat mentor mengurus laporan disorong. Semangat guru ini mengugah hati masyarakat Distrik Klawak dari seorang pemuda jawa berhati Papua. 

Berharap  penuh semangat ini memotivasi guru lain yang berada di sekolah ini, dan tenaga honor yang setia ini mampu menjadi cermin bagi guru tetap yang memiliki kewajiban yang sama. Perbedaan hidup ini seperti aneka nada-nada yang terangkai menjadi melodi yang indah. 


Informasi Penulis
Nama : Christina Palan Doni, S.Pd
Alamat: Jl. Cempedak, Distrik Aimas Kabupaten Sorong
No HP: 082248165717
Nama Sekolah: SD Inpres 104 Wilti  

Senin, 11 Juli 2016

Membangun Harapan Anak Pesisir


Nama saya Saidah Merin, anak papua moi asal kampung  asbaken, slama ini ku jalani hari dengan senang hati, di kampung pesisir distrik makbon. Sebuah kampung yang terletak jauh dari keramaian dan bisingnya kota, kehidupan di kampung ini sangat tentram kebersamaan antar warga baik muslim papua dan Kristen papua di sini sangat harmonis. Lihat saja musola dan gereja di kampung kami berdiri berdampingan, memberi symbol keharmonisan dijaga secara alami oleh kicauan burung dan deruhnya ombak serta di jaga oleh gugusan gunung menjadi teman di kesunyian terlepas dari tradisi leluhur dan tetuah adat dalam menjaga kampung halaman ini.

Di kampung halaman kami ada beberapa fasilitas pelayanan publik yang parah seperti  pustu yang tidak ada obat dan tenaga medis, terlepas dari itu lembaga agama sangat kuat, salah satunya lembaga gereja Kristen injili di tanah papua, jemaat Ebenhaezer  yang memiliki satu-satunya sekolah binaan di desa kami. Yakni SD YPK Ebenhaezer Asbaken, sekolah dimana aku duduk sebagai murit kelas satu. 

Saya bersyukur pelayanan di sekolah kami tidak senasib dengan pos pelayanan kesehatan pembantu (pustu), karena sekolah kami sudah ada perbaikan gedung sudah dua tahun ini, yang tadinya sekolahku kena banjir saat musim penghujan dan longsoran tanah dari gunung sejak ferbuari 2014 silam. 

Di sekolah inilah anak satu-satunya di keluarga, yang hanya hidup bersama nenek dan mama sejak diterlantarkan oleh ayah sejak kecil, tidak mengurung niatku untuk menimbah ilmu, siswa kelas satu (1) yang baru beranjak ke kelas dua (2) ini  tetap tabah menjalani hidup  walau orang tua bekerja di kebun dengan menogok sagu dan nelayan, untuk menyekolahkan aku.  

Rata-rata masyarakat di kampung tdak mempunyai pengahsilan, yang tetap hanyalah mengharapkan hasil kebun dan laut, terkadang mama ikut kerja jika ada proyek buruh di kampung. Entah, kapan kehidupan ekonomi di kampungku akan maju, namun aku tidak pantang menyerah untuk tetap terus sekolah, untuk mengejar cita-citaku, aku ingin menjadi suster supaya kelak bisa membantu warga di sini sekaligus bisa menambah perekonomian keluaragaku.

Tantangan terberat di sekolah kami adalah efek gunung merah, di balik sekolah gunung yang selalu longsor kala hujan, hal ini yang membuat guruh menjadi susah karena rumah guru sering kemasukan matrial  akibat longsor dan masuk ke dalam rumah guru. 

                     Hal ini yang membuat warga ikut prihatin dan mencari solusi untuk selesaikan masalah ini, keputusan sementara guru-guru direlokasi tinggal di rumah warga, ada tiga guruh di kampungku dan mereka semua tinggal satu rumah dengan kepala sekolah, “kami bersyukur masih ada guru yang betah tinggal di kampung dan mau mengajari kami membaca, menulis dan berhitung.” Kata ibunda Merin

Sementara itu menurut beberapa orangtua siswa dalam beberapa kesempatan yang kami dengar, anak-anak mereka di rumah juga sudah semakin rajin belajar dan bersemangat untuk sekolah “Sa pu anak pulang dari sekolah itu macam trada beban, mereka selalu semangat menyanyi eja huruf dan banyak bercerita setelah  sekolah di sini menajdi target program baca tulis dari UNICEF.”  Ujar ibu merin

Sebagai orangtua kita harus syukuri itu  karena lewat tangan-tangan mereka, sehingga anak-anak belajar dengan cara yang menarik. Sebagai orang tua kita selalu berdoa semoga anak-anak kami kelak bisa baca, tulis dan menghiitung supaya mereka rajin belajar, agar kelak kita usahakan mereka harus terus sekolah sampai ke perguruan tinggi.
Kami tidak perna menyerah sebelum cita-cita  ini tercapai, karena bangun papua sudah tidak ada cara lain, kita bangun harapan agar anak-anak harus sekolah. 


Informasi Penulis:

Nama            :    Sarjono
Nomor HP     :    085197197442
Alamat email :   

Perjuangan Sang Relawan



Oleh:  Bertha Nengkeula




Seiring mentari mulai tenggelam di balik laut, tampak sosok perempuan menggenggam erat buku di tangan kiri dan memegang erat seorang anak di tangan kanan saat melangkah pulang dari arah bibir pantai kampung malaumkarta, melangkah menuju perkampungan, melangkah pulang dengan nyanyian rindu akan kampung halaman, beberapa anak meloncat denga riang dalam perjalanan senja itu. Rupanya mereka usai belajar tambahan (les) di tepi pantai, dengan wajah gembira sehingga mereka berangkat pulang ke perkampungan pun dengan riang. 

Sosok perempuan dengan buku di tangan ini adalah “Bu Guru” sapaan akrap anak-anak bagi seorang guru honor di desa atau kampung mereka, yakni ibu Wehelmina Rosita Su, S.Pak, ibu dengan tiga orang anak ini, berdomisili di kampung Malaumkarta. Setelah menamatkan sekolah dasarnya di Malaumkarta, Ia melanjutkan sampai sarjana guru agamanya ke Kota Sorong. 

Karena merasa peduli pada generasi penerus di kampungnya, Ia kembali mengabdi dengan menjadi guru honor di SD Negeri 02 Malaumkarta, Kabupaten Sorong walau dibayar dengan honor kecil sejak 2013 sampai sekarang. Ibu Ros adalah guru agama Kristen dan guru kesenian di SMP Malaumkarta, namun karena kekurangan guru kelas di sekolah dasar dan ia dianggap mampu diberikan kesempatan sebagai guru honor di SD Negeri 02 Malaumkarta.

Terlepas dari tugas beliau sebagai ibu rumah tangga, tenaga pendidik, bendahara desa, pelatih seni tari di desa, dan juga  sebagai pengasuh sekolah minggu di gereja serta menjabat sebagai relawan pendidikan kampung malaumkarta, tak perna menyurutkan semangatnya, sebuah rutinitas yang tampak rumit ini dijalaninya dengan sebuah tanggungjawab yang besar. 

Beberapa tahun lalu, perna kepala kampung sedang berhalangan, Ibu Ros beberapa kali bersama pengurus di desa, mengumpulkan warga untuk musyawarah. Membahas masalah pendidikan, ekonomi desa dan kerukunan antar sesama warga. Selain mengajar literasi baca tulis, relawan ini juga  mengumpulkan anak-anak dan pemuda di desa ini menjaga dan melestarikan tarian dan lagu daerah suku mereka yakni suku Moi, hal itu ia sudah lakukan secara individu sebelum ditunjuk sebagai relawan secara resmi oleh tim STKIP.  

Dengan adanya pencarian relawan pendidikan di desa, sebagai relawan dirinya mengkordinasikan ke pelatih mentor dan hal ini menjadi perhatian STKIP dan UNICEF untuk ikut memberI ruang bagi anak-anak dalam menampilkan bakat meraka dalam hal menari dan menyanyi lagu-lagu adat mereka dalam, kreasi tarian guna tetap melestarikan budaya suku mereka sebagai wujud identitas mereka secara sub terkecil secagai orang papua. Bahkan beberapa kali anak-anak di kampung ini mampu tampil bersama grup tari mereka pentas ke luar daerah. 

Jiwa seperti Ibu Ros harus diapresiasi, Ia mampu mengumpulkan anak-anak yang belum mampu membaca dan menulis dengan baik, bukan cuma anak-anak kelas awal, tetapi juga mengajar anak-anak SMP yang kesulitan dalam membaca dan menulis serta memiliki bakat mendorong anak-anak belajar kreasi lain seperti menari dan menyanyi inilah yang membuat kami pelatih kalster makbon putuskan pilihan bersama kepala sekolah untuk merekrut beliau sebagai relawan UNICEF di SD Negeri 02 Malaumkarta, ketika sebagai relawan pendidikan, untuk membantu program literasi. 

Ibu Ros Dimata pimpinan kepala sekolahnya ia termasuk orang baik, yang ikut membantu Ibu Bunga Walli, Kepala sekolahnya saat ini sebagai pimpinan saya sangat bangga dan berterima kasih kepadanya, karena menurut beliau
Ibu Su sangat membantu menuntaskan kekurangan baca tulis, kepada anak kelas awal, di kampung ini” ujar Ibu Walli  disela-sela  kampanye pendidikan di malaumkarta 9 MEI lalu   

Tempat dimana ia memberikan pembelajaran tambahan untuk besok selalu berganti tergantung kesepakatan anak-anak yang hadir dalam kegiatan belajar tambahan, kadang di ruang SMP, di rumah ibu ros, di halaman rumah teman, di bawah pohon bahkan perna belajar di tepi pantai, dan selain mengajarkan anak-anak untuk musyawarah mufakat, dalam hal memberi pilihan tempat ia selalu menjelaskan tentang nilai estetika atau keindahan, dalam memilih lokasi belajar, juga ia memperhatikan sisi ketenangan. 

Jika anak-anak sudah bisa membaca dan mengenal huruf, tentu meringankan beban anak-anak dalam belajar, juga meringankan tugas guru kelas. Alasan dirinya menanamkan benih kebaikan seperti ini, cuma satu hanya untuk kesenangan batin.
Sebagai seorang ibu tiga orang anak, bekerja, berkorban, waktu tenaga dan pikiran tanpa dibayar sepeserpun, namun ia tetap komitmen mengajar. Karena bangga melihatb anak-anak berhasil membaca dan menulis, Terima kasih buat Unicef dan STKIP yang mau Menghargai usaha kecil kami dalam memajukan pendidikan di desa, dsehingga mempekerjakan kami sebagai relawan saja kami sudah bangga. 

“Terima kasih atas  program literasi ini, kemampuan anak-anak soal baca tulis dapat di ukur, apalagi adanya dukungan kehadiran pelatih di lapangan bersama kami.” Kata Ibu Ros berharap di akhir program ini akan berhasil manis dan kelak semua metode yang telah ditinggalkan kepada kami sebagai bekal yang berharga buat generasi emas papua yang diimpikan 50 tahun yang akan datang. Apalagi perlombaan merangkai kata, kegiatan gambar dan menceritakan gambar, tebak kata dan baca puisi adalah rangkaian kegiatan pekan gemilang seperti ini mungkin akan diingat oleh anak-anak sampai mati.