Oleh :
Roberthus Nauw
“Sudah sebuah kutukan bagi para elit di Indonesia,
lebih kusus di Provinsi Papua dan Papua Barat yakni jadi pemimpin (pejabat)
baru masuk penjara, ini jelas berbedah dengan pemimpin papua sejati dahulu, yakni
masuk penjara dulu baru jadi pemimpin”
Pemberitaan media
lokal diseantero tanah Papua 1 bulan terakhir, ramai membahas aksi demo
tandingan dalam hal menolong para elit yang disangkakan dalam kasus-kasus
korupsi dan berbagai kasus lainya. Pemberitaan tersebut memang bukan barang
baru yang patut dirisaukan, di era sedemokrasi dan keterbukaan seperti ini.
Pasalnya, berita aksi demo tandingan telah terjadi yang kesekian kali. Menyoal
proses demokrasi di Papua Barat, apa benar mungkin satu-satunya jalan, dan cara
yang dipakai dalam suksesi kepentingan elit adalah mengobok-obok demokrasi
seperti yang telah dan sedang terjadi dalam aksi-aksi tandingan, untuk
menyelamatkan pejabat idolaan mereka yang telah disangkakan sebagai pencuri (koruptor)??
Sungguh ironis masyarakat diobok-obok melalui berbagai cara penghasutan, untuk
melakukan tekanan dan intimidasi kepada pihak Yudikatif.
Sebuah diamika
yang patut dipertanyakan, masyarakat memberi dukungan bahkan menolak bukan
karena kesadaran politik sebagai kelompok presur namun karena kelompok-kelompok
ini telah terkontaminasi dengan Politik uang (money politic) dan bergaining
politik. Sehingga memberi makna kebablasan demokrasi. Terkait dengan lahirnya
berbagai macam komunitas yang mengatasnamakan mahasiswa masyarakat dan suku bahkan
komunitas tertentu saat para elitnya ada dalam masa pace klik. Menunjukan realitas
seperti ini, bukan hal yang tabu karena banyak mahasiswa yang telah melacurkan
intelektual mereka, dalam politik praktis dan terlebih harga diri diperjual
belikan atau dikomersialisasikan demi uang hanya untuk kepentingan tertentu.
Boleh jadi aksi-aksi
dukugan seperti ini berjalan sukses karena ditopang dua hal; (Money Politik,
dan Pengaruh bergaining atau kontrak politik). Telah berhasil melumpuhkan
mahasiswa dan masyarakat yang sejatinya sebagai kelompok penekan pemerintah.
Namun sayang, konspirasi elit dan kelompok kepentingan lainnya berhasil
mengobok-obok mereka, untuk omong kosong besar dan berani mati membela pencuri dengan
segala daya dan upaya. Mahasiswa melupakan bahwa, ilmu pengetahuan adalah
sesuatu yang dapat dibuktikan secara akal dan terdistribusi di lapangan kemasyarakatan,
pemerintahan serta institusi sosial. Tingkatan pendidikan yang lebih tinggi
pastinya harapan kita bersama, bahwa landasan keilmuan bagi setiap kita yang
disebut sebagai mahasiswa sudah semakin kokoh. Untuk menahan serta menjadi filter
kekuatan intelektual negatif, yang masuk dalam pemikiran setiap mahasiswa, nyatanya
telah terabaikan oleh mahasiswa. dan seenakya minta para tersangka dibebaskan.
Demokrasi di
Papua Barat sangat khas, sehingga semua orang mestinya perlu menahan diri dan
tunduk pada aturan politik dan hukum yang berlaku. Betul demokrasi membolehkan
siapapun untuk membela diri, namun tetap tidak meninggalkan kebingungan di
masyarakat itu sendiri. Mengingat gesekan antar masyarakat terdidik dan
masyarakat akar rumput antar dua kepentingan, sangat rawan memicu polemik dan
berpotensi konflik antar masyarakat di akar rumput yang pro dan kontra.
Mendukung dan menolak pejabat tertentu dengan aksi masa yang besar bukan jadi
ukuran, menurut penulis silahkan saja. jauh lebih baik kita biarkan proses yang
sedang berlangsung di tingkat Yudikatif ini berjalan, jauh lebih baik masyarakat
mengawal semua kasus agar tidak ada interfensi dari pihak manapun itu baru
benar, namun kalau kita meminta para pelaku di bebaskan tanpa syarat, jelas
keliru besar karena gerombolan pencuri berkerak putih, wajib diberi efek jerah bahkan
miskinkan mereka biar kapok. Soal berbuat baik, siapapun dia yang nama pejabat
pasti baik demi cari reputasi.
Sudalah,
ambisi politik yang bermuara pada kekuasaan dan intimidasi tidak boleh
melahirkan kecemasan meluas. Kalaupun sampai hal ini yang terjadi, intrik
politik dan potensi konflik diyakini akan membayangi proses lahirnya pemimpin yang
sungguh-sugguh benar. Gesekan kepentingan yang pada gilirannya merugikan
stabilitas keamanan, telah membuat masyarakat ragu bahwa aksi-aksi murahan
seperti ini, tidak terlepas dari intrik money politic. Bahkan, ambisi politik
diyakini bisa menjadi pemicu konflik di masyarakat. Akibatnya, masyarakat pun
potensial tercemar, sebenarnya tugas dari pada masyarakat yang mengaku
masyarakat terdidik, bukan malah sebaliknya ikut menumbuh suburkan perpecahan
dan konflik yang sudah ada.
Berbicara
soal konflik, sebenarnya semua lahir akibat biasnya komunikasi, konsep politik
dan konflik dalam pandangan publik cenderung mengalami pergeseran yang amat
luas, dan itu adalah tugas kita semua sebagai kaum terpelajar. Mengingat demokrasi
yang dilakoni para elite dan pengikutnya, cenderung melahirkan suhu panas.
Terlebih, tarik ulur kepentingan dikipasi oleh para elite politik dan pengikutnya
di akar rumput. Bahkan, konflik dan money politic sudah menjadi bagian keraguan
publik. Fakta ini hendaknya jangan dibiarkan tumbuh oleh para elite, jika ingin
politisi dan pejabat tetap dihargai. ''Mari kelola pemeritahan dengan hati
nurani. Jauhkan intrik money politic demi lahirnya pemimpin ideal, yang bekerja
dengan jujur di tanah ini'' Ternyata money politic merupakan racun yang
menyesatkan masyarakat. Ingat konflik dimasyarakat tetap merugikan masyarakat
akar rumput. Untuk itu, mahasiswa dan masyarakat benar-benar bisa mengelola
haknya dengan baik, agar tak sampai menggadaikan nurani. Agar jangan lagi ada
ketergantungan masyarakat pada pemerintah, terlebih ketergantungan pada belas
kasihan para pejabat yang menebar kebencian.
Mencermati aksi
demo pro dan kontra terkait kasus-kasus besar di Papua Barat, mulai dari Kasus
Korupsi Kasus Yang Melilit Anggota DPRD Provinsi Papua Barat, PLTD Kab Raja
Ampat, serta Kasus LS adalah sebuah fenoma di masyarakat entah murni dukungan
atau hasutan, biarkan alam yang seleksi. Namun menurut penulis, wacana demo pro
dan kontra bela pejabat seperti ini wajar, mengiangat pejabat biasa bersentuhan
langsung dengan masyarakat secara otomatis dan akan bersinggungan juga dengan
risiko politik itu sendiri. dan ''Target politik itu sendiri mengandung potensi
konflik,'' jadi pesan penulis elit politik jangan menebar potensi konflik untuk
mencapai tujuannya hharus asut masyarakat! Padahal dalam kondisi begini,
seorang elit secara tak langsung telah menjadi sumber konflik. ''Elit yang tak
sadar akan potensi dirinya cenderung akan melakukan pengelolaan opini yang
melebar. dan celakanya, ketika ambisi ini didukung secara babi buta oleh
pegikut fanatik mereka. tanpa memperhatikan aturan, sehingga cenderung
pendukungnya melakukan pemaksaan kehendak dan intimidasi, jelas salah pa!
Inilah sisi
negatif dari upaya mencapai target untuk berusaha lolos dari dakwaan pencuri. tetapi
jangan karena dorongan emosi, segala aturan dilabrak dan etika dikesampingkan.
Dalam konteks ini, sosialisasi dan koordinasi penting untuk dibangun dan untuk
meminimalkan semua kemungkinan, dan perlu ada kerelaan dan kebersamaan untuk
mengedepankan kepentingan yang lebih, ketimbang kepentingan oknum pejabat. Jika
hal ini tidak di rekonstruksi ulang, bukan tidak mungkin semarak aksi demo
tandingan di Papua Barat, dalam hal membela kepentingan elit, tentu membawa
korban pada masyarakat. Sehingga pesan penulis bagi para elit, stop profokasi
masyarakat, dan masyarakat juga harus sadar karena kalian bukan Bukan Tameng
Pejabat. Memang sulit dibenarkan. namun bagi pejabat kalimat ini menjadi
kutukan. “Tujuan elit benar namun kalau cara salah tetap salah.” hidup masyarakat ! hidup Koruptor! SEMOGA
(*) Penulis adalah mantan relawan PSCS Jayapura-Papua