Kamis, 12 September 2013

Masyarakat Bukan Tameng Pejabat!


Oleh : Roberthus Nauw

“Sudah sebuah kutukan bagi para elit di Indonesia, lebih kusus di Provinsi Papua dan Papua Barat yakni jadi pemimpin (pejabat) baru masuk penjara, ini jelas berbedah dengan pemimpin papua sejati dahulu, yakni masuk penjara dulu baru jadi pemimpin”
Pemberitaan media lokal diseantero tanah Papua 1 bulan terakhir, ramai membahas aksi demo tandingan dalam hal menolong para elit yang disangkakan dalam kasus-kasus korupsi dan berbagai kasus lainya. Pemberitaan tersebut memang bukan barang baru yang patut dirisaukan, di era sedemokrasi dan keterbukaan seperti ini. Pasalnya, berita aksi demo tandingan telah terjadi yang kesekian kali. Menyoal proses demokrasi di Papua Barat, apa benar mungkin satu-satunya jalan, dan cara yang dipakai dalam suksesi kepentingan elit adalah mengobok-obok demokrasi seperti yang telah dan sedang terjadi dalam aksi-aksi tandingan, untuk menyelamatkan pejabat idolaan mereka yang telah disangkakan sebagai pencuri (koruptor)?? Sungguh ironis masyarakat diobok-obok melalui berbagai cara penghasutan, untuk melakukan tekanan dan intimidasi kepada pihak Yudikatif.
Sebuah diamika yang patut dipertanyakan, masyarakat memberi dukungan bahkan menolak bukan karena kesadaran politik sebagai kelompok presur namun karena kelompok-kelompok ini telah terkontaminasi dengan Politik uang (money politic) dan bergaining politik. Sehingga memberi makna kebablasan demokrasi. Terkait dengan lahirnya berbagai macam komunitas yang mengatasnamakan mahasiswa masyarakat dan suku bahkan komunitas tertentu saat para elitnya ada dalam masa pace klik. Menunjukan realitas seperti ini, bukan hal yang tabu karena banyak mahasiswa yang telah melacurkan intelektual mereka, dalam politik praktis dan terlebih harga diri diperjual belikan atau dikomersialisasikan demi uang hanya untuk kepentingan tertentu.
Boleh jadi aksi-aksi dukugan seperti ini berjalan sukses karena ditopang dua hal; (Money Politik, dan Pengaruh bergaining atau kontrak politik). Telah berhasil melumpuhkan mahasiswa dan masyarakat yang sejatinya sebagai kelompok penekan pemerintah. Namun sayang, konspirasi elit dan kelompok kepentingan lainnya berhasil mengobok-obok mereka, untuk omong kosong besar dan berani mati membela pencuri dengan segala daya dan upaya. Mahasiswa melupakan bahwa, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dapat dibuktikan secara akal dan terdistribusi di lapangan kemasyarakatan, pemerintahan serta institusi sosial. Tingkatan pendidikan yang lebih tinggi pastinya harapan kita bersama, bahwa landasan keilmuan bagi setiap kita yang disebut sebagai mahasiswa sudah semakin kokoh. Untuk menahan serta menjadi filter kekuatan intelektual negatif, yang masuk dalam pemikiran setiap mahasiswa, nyatanya telah terabaikan oleh mahasiswa. dan seenakya minta para tersangka dibebaskan.    
Demokrasi di Papua Barat sangat khas, sehingga semua orang mestinya perlu menahan diri dan tunduk pada aturan politik dan hukum yang berlaku. Betul demokrasi membolehkan siapapun untuk membela diri, namun tetap tidak meninggalkan kebingungan di masyarakat itu sendiri. Mengingat gesekan antar masyarakat terdidik dan masyarakat akar rumput antar dua kepentingan, sangat rawan memicu polemik dan berpotensi konflik antar masyarakat di akar rumput yang pro dan kontra. Mendukung dan menolak pejabat tertentu dengan aksi masa yang besar bukan jadi ukuran, menurut penulis silahkan saja. jauh lebih baik kita biarkan proses yang sedang berlangsung di tingkat Yudikatif ini berjalan, jauh lebih baik masyarakat mengawal semua kasus agar tidak ada interfensi dari pihak manapun itu baru benar, namun kalau kita meminta para pelaku di bebaskan tanpa syarat, jelas keliru besar karena gerombolan pencuri berkerak putih, wajib diberi efek jerah bahkan miskinkan mereka biar kapok. Soal berbuat baik, siapapun dia yang nama pejabat pasti baik demi cari reputasi.
Sudalah, ambisi politik yang bermuara pada kekuasaan dan intimidasi tidak boleh melahirkan kecemasan meluas. Kalaupun sampai hal ini yang terjadi, intrik politik dan potensi konflik diyakini akan membayangi proses lahirnya pemimpin yang sungguh-sugguh benar. Gesekan kepentingan yang pada gilirannya merugikan stabilitas keamanan, telah membuat masyarakat ragu bahwa aksi-aksi murahan seperti ini, tidak terlepas dari intrik money politic. Bahkan, ambisi politik diyakini bisa menjadi pemicu konflik di masyarakat. Akibatnya, masyarakat pun potensial tercemar, sebenarnya tugas dari pada masyarakat yang mengaku masyarakat terdidik, bukan malah sebaliknya ikut menumbuh suburkan perpecahan dan konflik yang sudah ada.
Berbicara soal konflik, sebenarnya semua lahir akibat biasnya komunikasi, konsep politik dan konflik dalam pandangan publik cenderung mengalami pergeseran yang amat luas, dan itu adalah tugas kita semua sebagai kaum terpelajar. Mengingat demokrasi yang dilakoni para elite dan pengikutnya, cenderung melahirkan suhu panas. Terlebih, tarik ulur kepentingan dikipasi oleh para elite politik dan pengikutnya di akar rumput. Bahkan, konflik dan money politic sudah menjadi bagian keraguan publik. Fakta ini hendaknya jangan dibiarkan tumbuh oleh para elite, jika ingin politisi dan pejabat tetap dihargai. ''Mari kelola pemeritahan dengan hati nurani. Jauhkan intrik money politic demi lahirnya pemimpin ideal, yang bekerja dengan jujur di tanah ini'' Ternyata money politic merupakan racun yang menyesatkan masyarakat. Ingat konflik dimasyarakat tetap merugikan masyarakat akar rumput. Untuk itu, mahasiswa dan masyarakat benar-benar bisa mengelola haknya dengan baik, agar tak sampai menggadaikan nurani. Agar jangan lagi ada ketergantungan masyarakat pada pemerintah, terlebih ketergantungan pada belas kasihan para pejabat yang menebar kebencian.
Mencermati aksi demo pro dan kontra terkait kasus-kasus besar di Papua Barat, mulai dari Kasus Korupsi Kasus Yang Melilit Anggota DPRD Provinsi Papua Barat, PLTD Kab Raja Ampat, serta Kasus LS adalah sebuah fenoma di masyarakat entah murni dukungan atau hasutan, biarkan alam yang seleksi. Namun menurut penulis, wacana demo pro dan kontra bela pejabat seperti ini wajar, mengiangat pejabat biasa bersentuhan langsung dengan masyarakat secara otomatis dan akan bersinggungan juga dengan risiko politik itu sendiri. dan ''Target politik itu sendiri mengandung potensi konflik,'' jadi pesan penulis elit politik jangan menebar potensi konflik untuk mencapai tujuannya hharus asut masyarakat! Padahal dalam kondisi begini, seorang elit secara tak langsung telah menjadi sumber konflik. ''Elit yang tak sadar akan potensi dirinya cenderung akan melakukan pengelolaan opini yang melebar. dan celakanya, ketika ambisi ini didukung secara babi buta oleh pegikut fanatik mereka. tanpa memperhatikan aturan, sehingga cenderung pendukungnya melakukan pemaksaan kehendak dan intimidasi, jelas salah pa!
Inilah sisi negatif dari upaya mencapai target untuk berusaha lolos dari dakwaan pencuri. tetapi jangan karena dorongan emosi, segala aturan dilabrak dan etika dikesampingkan. Dalam konteks ini, sosialisasi dan koordinasi penting untuk dibangun dan untuk meminimalkan semua kemungkinan, dan perlu ada kerelaan dan kebersamaan untuk mengedepankan kepentingan yang lebih, ketimbang kepentingan oknum pejabat. Jika hal ini tidak di rekonstruksi ulang, bukan tidak mungkin semarak aksi demo tandingan di Papua Barat, dalam hal membela kepentingan elit, tentu membawa korban pada masyarakat. Sehingga pesan penulis bagi para elit, stop profokasi masyarakat, dan masyarakat juga harus sadar karena kalian bukan Bukan Tameng Pejabat. Memang sulit dibenarkan. namun bagi pejabat kalimat ini menjadi kutukan. “Tujuan elit benar namun kalau cara salah tetap salah.”  hidup masyarakat ! hidup Koruptor! SEMOGA

(*) Penulis adalah mantan relawan PSCS Jayapura-Papua