Apa kabar Koruptor? Barangkali itu adalah sepenggal kalimat yang kedengaran mengusik ketenangan para koruptor di tingkat elit lokal. Semoga, kabar kalian baik! Kita harus menaruh perhatian lebih pada kabar. Mereka salah satu faktor penyebab kemiskinan dan ketertinggalan rakyat marjinal hari ini.
Para Koruptor mencuri
dan memasung hak-hak rakyat, sehingga membuat rakyat kita
semakin marginal. Sisi lain, fenomena ketidakberdayaan
rakyat dijadikan lahan subur bagi koruptor. Dalam kondisi ini, penolakan masyarakat terhadap korupsi dan
pelakunya di
daerah sangat lemah. Padahal dengan pengawasan
ekstra kuat, pemerintah akan bersih dari korup.
Apakah karena masyarakat telah
memberikan mandat pada lembaga pengawasan sekelas DPRD dan DPRP, sebagai representatif rakyat untuk
mengawasi? Tapi, rakyat mulai
pesimis dengan sebagian
besar wakil rakyat. Mereka yang mestinya
punya tugas untuk menyambung lidah rakyat sudah tidak dapat dipercaya.
Harapan memiliki masa depan bebas dari tindakan elit yang
menggunakan jabatannya menindas dan memiskinkan rakyatnya secara masif, guna
memperkaya diri dan kelompoknya terbuka lebar. Sehingga harapan mewujudkan
pemerintahan yang bebas dari korupsi di Papua sebatas wacana. Korupsi
di Papua terus
meningkat drastis baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Lihat saja, kasus korupsi berjamaah APBD Papua Barat senilai
Rp22 Miliar oleh anggota DPRP Papua Barat yang terhormat. Sementara, DPRP Papua
merampas hak rakyat Papua dengen menerima Bantuan Sosial Rp2 Milar lebih.
Mereka yang mestinya berada di front depan untuk mengawasi uang rakyat makan
ikut makan.
Jelas-jelas, perbuatan
mereka melanggar Pasal 33 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Masyarakat
tampaknya harus mulai melawan kepalsuan dan pelacuran politik para elit yang
berimbas pada semua aspek kehidupan masyarakat.
Kebobrokan ini
pantas disesalkan karena pemberantasan kasus korupsi terkesan lamban. Ini mengakibatkan sistem ekonomi, politik,
kekuasaan dan lapisan birokrasi seakan berasaskan kekeluargaan, kekuasaan hanya
berputar pada kalangan terbatas, sehingga upaya pemberantasan korupsi sulit
dibongkar secara tuntas dan menyeluruh.
Semangat pemberantasan korupsi sampai ke daerah harus
didukung penuh, guna membongkar kongkalikong kasus-kasus besar yang disimpan
sebagai koleksi pribadi pihak penyidik. Ini
penting untuk meminimalisir lenyapnya kasus korupsi saat penyidikan di tingkat
polisi dan kejaksaan, yang sering dikondisikan hilang dari konsumsi
publik.
Keberhasilan pemerintah untuk memuaskan masyarakat
terkait penanganan pemberantasan kasus korupsi dan pemberantasan kolusi sosial,
berpulang pada masyarakat terdidik agar lebih kritis mencegah kejahatan dan
memungkinkan untuk memutus mata rantainya.
Pudarnya Gerakan Mahasiswa
Sebuah kritik buat
aktivis mahasiswa di tanah Papua (Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat), kampus
adalah tempat mimbar bebas yang mengawali seorang mahasiswa mengenal kehidupan
gerakan, kendati pun bukan dari jurusan ilmu politik atau ilmu sosial lainnya.
Namun, dinamika konsistensi gerakan politik kampus kian mempertegas mahasiswa
sebagai sesuatu kekuatan politik besar.
Gerakan moral mahasiswa selalu menjadi alat yang cukup
efektif, mengontrol kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat.
Apa yang diperjuangkan selalu berdasarkan pada target, tujuan dan orientasi
yang jelas, yaitu, demi sebuah perubahan bagi rakyat dan tegaknya demokratisasi.
Namun, realitanya mahasiswa di tanah Papua bergerak atas hasil seting
politik yang dimainkan para elit (pemerintah, pengusaha, politisi) untuk kepentingan pribadi
atau kelompoknya. Para aktivis terjebak dalam pelacuran intelektual bersama para
elit dalam pusaran kubangan
kongkalikong,
dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan di daerah.
Mahasiswa dimanfaatkan untuk kerja-kerja politik praktis,
gerakan moral yang domotori mahasiswa lebih mencerminkan pertarungan antar
elit, bahkan isu yang diangkat pun seputar isu elit, bukan lagi isu-isu yang
menyentuh kepentingan masyarakat. Bahkan, organisasi kampus dan ekstra
kampus sudah terbagi ke dalam kelompok-kelompok elit, yang memiliki afiliasi
politik tertentu dengan penguasa baik legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Salah satu contoh, lihat
saja
konstelasi gerakan mahasiswa dalam mengawal kasus korupsi Rp22 Miliar di provinsi Papua Barat sangat menjijikan karena terkontaminasi dengan segala macam kepentingan elit
lokal. Ini kemungkinan ada karena
masa mahasiswa di provinsi Papua Barat tidur begitu pulasnya.
Gerakan anti korupsi di tanah Papua akan nampak jika dewa-dewa mereka
tersandung kasus, lantas mahasiswa hadir dengan aksi mendukung maupun aksi
tandingan untuk membela kepentingan elit mereka. Cermin gerakan mahasiswa
benar-benar kehilangan arah, kehilangan target, dan orientasi sebenarnya,
mengingat perjuangan mahasiswa sudah tidak selalu pararel dengan kepentingan
masyarakat.
Mahasiswa berusaha berpisah dari masyarakat. Padahal tanpa kepentingan masyarakat, gerakan mereka tidak akan berarti. Sebab
kepentingan masyarakat adalah alasan kekuatan utama, melakukan perubahan di
negeri tercinta ini.
Mengingat aktivitas mereka dekat dengan elit lokal dan
aksi mereka tergantung pada selera elit, mengakibatkan mahasiswa di daerah
lahir dan besar dalam karakter yang di bangun para elit. Sehingga mahasiswa bermental buruh,
meminta-minta dengan konsep intelektual proposal mereka, bahkan berhenti sebagai
mahasiswa penjilat demi materi. Padahal mahasiswa sendiri bukan kerbau, lantas
selalu menurut.
Agar gerakan moral mahasiswa tidak mengalami kegamangan
dalam mengawal penuntasan kasus korupsi di tanah Papua, maka perlu adanya saling percaya antar
mahasiswa dan masyarakat untuk mempertahankan isu bersama, bahkan perubahan
fokus isu di daerah untuk didorong bersama dan dikawal hingga tuntas.
Kalau gerakan mahasiswa terus terkontaminasi, bukan tidak
mungkin gerakan moral mahasiswa tidak akan mendapatkan simpati dari masyarakat,
karena tidak mempunyai bargaining position yang kuat terhadap
pemerintah. Tentu akan berakibat buruk bagi perjalanan demokrasi selanjutnya.
Koruptor lokal di provinsi Papua barat kian mengancam bangsa ini, dengan terus
menambah daftar penderitaan rakyat. Menggunakan modus korupsi yang sama, yakni
korupsi berjamaah mengikuti tren koruptor elit di pusat. Bahkan, jauh lebih
menakutkan ancaman elit lokal di daerah sebagian besar tidak disentuh hukum,
karena upaya pemberantasan korupsi selalu saja berhadapan dengan banyak
kepentingan.
Tak jarang pemberantasan korupsi mendapatkan serangan
balik dari pihak-pihak tersangka. Sejarah bangsa ini mencatat, setiap ada upaya
pemberantasan korupsi di semua daerah selalu muncul counter attack dari
para koruptor. Contoh kasus aktivis
KAMPAK dan berbagai aktivis LSM lainnya yang telah dan sedang berjuang keluar
dari counter
attack
dari para koruptor di provinsi Papua Barat.
Pertanyaannya, mampukah upaya pemberantasan korupsi
konsisten menembus isu integrasi dan disintegrasi
yang kuat membentengi para koruptor di Provinsi Papua
dan Papua Barat, pasca dating pace klik?
Untuk keluar dari
masalah ini, kita harus mengakhiri dengan bergerak bersama dan saling
merangkul, membongkar sendi-sendi dan tembok koruptor yang terpatri dengan
rapi.
Kita dukung lembaga independen untuk pemberantasan korupsi di tingkat
daerah dan provinsi untuk bersinergi melakukan advokasi dan investigasi
mendalam soal dugaan penyakit kronis yan satu ini yang telah dan sedang
menjajah dan bersemayam di relung hati para elit lokal mulai dari
Eksekutif dan Legislatif bahkan bukan tidak mungkin ditingkat Yudikatif, untuk
dibongkar.
Kalau semangat ini tidak
didukung oleh semua kelompok penekan, maka rakyat di kota ini bersiap-siap
untuk waspada, bersiap-siap untuk melarat, bersiap-siap untuk dininabobohkan
karena semua koruptor elit di tingkat lokal hari ini, kemungkinan masih dalam
keadaan yang baik-baik saja! Itu sudah hukum alam kalau koruptor kabar baik,
maka bukan tidak mungkin gerombolan pencuri yang lain, sehat walafiat pula.
Toh, hukum negeriku
Indonesia Raya memang aneh: lihat saja, yang judi kena tangkap? Yang
produksi kartu gak diapa-apain! Yang mabok kena tangkap? Yang produksi miras
dibiarkan! So, hukum paling aneh, barangkali di dunia, cuma di Indonesia, KUHP itu sama dengan Kasih Uang Habis
Perkara. Jadi, jangan heran kalo pencuri kerak putih, kelak bisa lolos, Hidup
Koruptor!
Robertus Nauw adalah Mantan Relawan PSCS Kota Jayapura-Papua.
ARTIKEL ini terbit pada majalah selangkah.com, edisi Rabu, 20 November 2013