Oleh: Robertus Nauw
Sekitar
300 massa membakar kediaman Bupati di Km 24 Aimas, Kabupaten Sorong,
Provinsi Papua Barat, Kamis (19/9) sekitar pukul 17.30. Dimana akibat aksi
pembakaran tersebut, seluruh bangunan dan 1 unit mobil Toyota Hi-Lux hangus
terbakar.
Pasca pembakaran. ini bukan hal aneh dan luar biasa karena sebelumnya kediaman gubernur papua barat juga pernah dibakar massa, akibat konflik politik. dan kali ini untuk kasus yang melilit pemerintah maibrat semakin menambah daftar panjang konflik di kabupaten yang lahir tahun 2009 ini, sebut saja kasus pembacokan saudara ketua KPU maibrat yang terhormat di ruang kerjanya, kasus demo tandingan kubu politik sampai ke mahkamah konstitusi sejak 2011.
Pasca pembakaran. ini bukan hal aneh dan luar biasa karena sebelumnya kediaman gubernur papua barat juga pernah dibakar massa, akibat konflik politik. dan kali ini untuk kasus yang melilit pemerintah maibrat semakin menambah daftar panjang konflik di kabupaten yang lahir tahun 2009 ini, sebut saja kasus pembacokan saudara ketua KPU maibrat yang terhormat di ruang kerjanya, kasus demo tandingan kubu politik sampai ke mahkamah konstitusi sejak 2011.
Saat itu Bernard bermaksud memindahkan
ibukota Maybrat yang semula di Kmurkek ke Aymaru. Pemindahan ibukota wilayah
tersebut sempat mengakibatkan bentrok fisik sehingga banyak jatuh korban. kemudian
Konflik tersebut sempat dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), Pada Juli 2013, MK
mengeluarkan keputusan dengan menetapkan ibukota kabupaten Maybrat tetap di
Kmurkek. Namun Bernard tidak menerima keputusan tersebut dan melayangkan surat
gugatan kembali. Akhirnya pada Kamis (19/9), MK memutuskan ibukota pindah ke
Aymaru. Akibat putusan tersebut, dinamika politik di kabupaten maibrat dipresiksi
semakin tidak kondusif.
Hal ini mengingatkan penulis pada
artikel penulis yang sempat terbit sejak 2011 di harian radar sorong berjudul (Masyarakat Berbudaya Tinggi, Yang Tak
Lapang Dada) dimana tulisan ini menjelaskan Demokrasi di Maybrat sangat
khas karena itu semua orang mestinya tunduk pada fatsun politik yang berlaku.
Benar demokrasi membolehkan siapapun untuk maju bertarung secara fair play. Agar masyarakat Maybrat bisa
hidup damai dan bisa hidup rukun dan sulit untuk bisa diobok-obok siapapun. Apa
yang terjadi dalam Pilkada sekarang ini, dimana ngototnya sebagian kandidat
dengan melakukan cara busuk untuk mempertahankan kekuasaan dan berusaha merubut
kekuasaan, sangat rawan memicu polemik, Namun ingat sebagai kandidat calon
Bupati dan wakil bupati Kabupaten Maybrat perlu ingat bahwa, masyarakat Maybrat
adalah masyarakat yang mengkleim diri mereka sebagai masyarakat berbudaya
tinggi yang kental dengan adat dan istiadatnya.
Sangat janggal jika penulis mengkaitkan
persoalan demokrasi di Kabupaten Maybrat, dengan tragedi waktu ambon meledak
(kerusuhan) namun jika kita menarik sebuah benang merah, kita akan mendapat
sebuah persamaan yaitu resolusi konflik yang digunakan pemerintah yang kemudian
mencoba mengingat kembali sumpa adat para leluhur pela (kearifan lokal), yang
coba di terapkan sebagai kearifan budaya
dalam politik lokal, yang menjadi pertanyaan apakah di tanah ra bobot ini,
kearifan lokal, adat dan agama sudah tidak mengikat batin para elit dan
masyarakat akar rumput lagi sehingga masyarakat Maybrat moderen saat ini sudah
kehilangan pemimpin yang karismatik yang besar di mata masyarakat sehingga
menggunakan kekerasan dan teror dalam mencapai kekuasaan.
Apakah masyarakat Maybrat masih pantas
disebut mayarakat berbudaya tinggi, di tengah para pemimpin dan para elit kini
telah menabrak budaya masyarakat yang disebut kearifan lokal? Atau mingkin
sangat keliru jika Pilkada kabupaten Maybrat saat ini, dijadikan cermin dari
analisis sebuah realitas budaya dan menarik satu hipotesis bahwa, telah
hilangnya nilai sakral dari berbagai peninggalan leluhur di negeri ra bobot
terdahulu. Kalau pun demikian tiada mengapa,
toh namanya juga persepsi. Minimal kalau bicara sakral mungkin ada
kaitannya dengan semakin tingginya pendidikan seseorang semakin rasional dalam
berpikir, sehingga semakin sukar mengakui sesuatu yang di luar akal sehat, akan
tetapi minimal terhadap peradaban dan budaya masa lalu perlu dihargai, sebab
masa kini tidak akan mungkin ada tanpa masa lalu.
Semangat untuk membangun Maybrat harus
didasarkan pada keinginan untuk menghargi sejarah lebih khusus sejarah adat dan
agama (masuknya injil terang Tuhan di tanah ra bobot tersebut), sebagai saran
pemerintah harus mempelajari apa yang baik dari mereka untuk membangun dan
bukan malah membangun Maybrat dengan ego antar para elit itu sendiri. Pilkada
kabupaten Maybrat kali mengantarkan kita pada suatu realita, yaitu cepat atau
lambat akan ada perbedaan kepemimpinan, pemeritahannya dimana para elit ingin
membangun masyarakat Maybrat dengan ego feodalisme
baru yang dilegitimasi secara tradisional, pada hal semangat membangun masyarakat ke arah ini sudah
pasti ditentang. Alasannya pertentangan
itu sendiri karena kepesepmimpinan seperti ini akan melahirkan masyarakat
kelas, sementara saat ini keadaan seperti itu (masyarakat kelas) suda tidak ada
masanya di masyarakat. yang perlu di bangun saat ini adalah budaya demokrasi
yang di bangun atas dasar kearifan-kearifan lokal dalam kepemimpinan yang
kedepankan kebersamaan.
Sebuah
pertanyaan yang sulit di jawab oleh setiap kita sebagai masyarakat akar rumput,
namun tetap digunakan oleh para elit. Pujian dan janji merupakan pola lama
(lagu lama) atau semacam spirit yang yang dipraktikan oleh elit politik, di
satu sisi tanah Maybrat masih dikenal dengan negeri yang berbudaya tinggi, yang banyak menyimpan sumber daya alam yg
belum disentuh oleh tangan manusia, dan sumber daya manusianya yang sudah
teruji. Selain pujian mereka juga memberikan semacam janji mereka akan
melakukan proses percepatan pembangunan melalui proses pendekatan ekonomi,
kesejahteraan, keamanan, kesehatan dan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat
dan banyak janji lainnya, guna menghilangka keterisolasian agar tidak ada
perbedaan.
Namu ingat bahwa membangun Maybrat bukan hanya dengan pujian dan janji, para
elit jangan kembali menambah daftar panjang pujian dan slogan di masyarakat,
soal mayarakat Maybrat yang sudah hampir
ribuan jumlahnya. Padahal secara budaya
orang Maybrat melihat janji sebagai hutang adat dan hutang adat bagi orang
Maybrat adalah kewajiban adat yang mutlak dipenuhi. Sekalipun itu secara lisan
saat orasi politik, Sangat erat kaitannya dengan budaya orang papua masa lalu yang
tekenal dengan budaya lisan. Jangan hanya merubah tanah dan orang Maybrat dengan janji dan pujian tetapi rubahlah
idiologi pembangunan. Contoh sederhana para Kandidat harus melihat orang
Maybrat sebagai manusia, dengan
pendekatan yang memanusiakan juga, nilai-nilai kemanusiaan diutamakan. Apa
setiap pujian dan janjin yang disampaikan di atas tidak diwujutnyatakan atau
terealisasi maka omong kosong adalah kata paling bijak kepada
Suku ini yang bargaining membawa perubahan bagi daerah lain dan
gagal membawa perubahansendiri di tanah leluhur mereka sendiri.
(*) Penulis Adalah
Mantan Relawan PSCS Kota Jayapura Papua