Sabtu, 21 September 2013

Kediaman Bupati Maybrat Dibakar Massa


Oleh: Robertus Nauw

Sekitar 300 massa membakar kediaman  Bupati di Km 24 Aimas, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, Kamis (19/9) sekitar pukul 17.30. Dimana akibat aksi pembakaran tersebut, seluruh bangunan dan 1 unit mobil Toyota Hi-Lux hangus terbakar.
Pasca pembakaran. ini bukan hal aneh dan luar biasa karena sebelumnya kediaman gubernur papua barat juga pernah dibakar massa, akibat konflik politik. dan kali ini untuk kasus yang melilit pemerintah maibrat semakin menambah daftar panjang konflik di kabupaten yang lahir tahun 2009 ini, sebut saja kasus pembacokan saudara ketua KPU maibrat yang terhormat di ruang kerjanya, kasus demo tandingan kubu politik sampai ke mahkamah konstitusi sejak 2011.
Saat itu Bernard bermaksud memindahkan ibukota Maybrat yang semula di Kmurkek ke Aymaru. Pemindahan ibukota wilayah tersebut sempat mengakibatkan bentrok fisik sehingga banyak jatuh korban. kemudian Konflik tersebut sempat dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), Pada Juli 2013, MK mengeluarkan keputusan dengan menetapkan ibukota kabupaten Maybrat tetap di Kmurkek. Namun Bernard tidak menerima keputusan tersebut dan melayangkan surat gugatan kembali. Akhirnya pada Kamis (19/9), MK memutuskan ibukota pindah ke Aymaru. Akibat putusan tersebut,  dinamika politik di kabupaten maibrat dipresiksi semakin tidak kondusif.
Hal ini mengingatkan penulis pada artikel penulis yang sempat terbit sejak 2011 di harian radar sorong berjudul (Masyarakat Berbudaya Tinggi, Yang Tak Lapang Dada) dimana tulisan ini menjelaskan Demokrasi di Maybrat sangat khas karena itu semua orang mestinya tunduk pada fatsun politik yang berlaku. Benar demokrasi membolehkan siapapun untuk maju bertarung secara fair play. Agar masyarakat Maybrat bisa hidup damai dan bisa hidup rukun dan sulit untuk bisa diobok-obok siapapun. Apa yang terjadi dalam Pilkada sekarang ini, dimana ngototnya sebagian kandidat dengan melakukan cara busuk untuk mempertahankan kekuasaan dan berusaha merubut kekuasaan, sangat rawan memicu polemik, Namun ingat sebagai kandidat calon Bupati dan wakil bupati Kabupaten Maybrat perlu ingat bahwa, masyarakat Maybrat adalah masyarakat yang mengkleim diri mereka sebagai masyarakat berbudaya tinggi yang kental dengan adat dan istiadatnya.
Sangat janggal jika penulis mengkaitkan persoalan demokrasi di Kabupaten Maybrat, dengan tragedi waktu ambon meledak (kerusuhan) namun jika kita menarik sebuah benang merah, kita akan mendapat sebuah persamaan yaitu resolusi konflik yang digunakan pemerintah yang kemudian mencoba mengingat kembali sumpa adat para leluhur pela (kearifan lokal), yang coba di terapkan  sebagai kearifan budaya dalam politik lokal, yang menjadi pertanyaan apakah di tanah ra bobot ini, kearifan lokal, adat dan agama sudah tidak mengikat batin para elit dan masyarakat akar rumput lagi sehingga masyarakat Maybrat moderen saat ini sudah kehilangan pemimpin yang karismatik yang besar di mata masyarakat sehingga menggunakan kekerasan dan teror dalam mencapai kekuasaan.
Apakah masyarakat Maybrat masih pantas disebut mayarakat berbudaya tinggi, di tengah para pemimpin dan para elit kini telah menabrak budaya masyarakat yang disebut kearifan lokal? Atau mingkin sangat keliru jika Pilkada kabupaten Maybrat saat ini, dijadikan cermin dari analisis sebuah realitas budaya dan menarik satu hipotesis bahwa, telah hilangnya nilai sakral dari berbagai peninggalan leluhur di negeri ra bobot terdahulu. Kalau pun demikian tiada mengapa,  toh namanya juga persepsi. Minimal kalau bicara sakral mungkin ada kaitannya dengan semakin tingginya pendidikan seseorang semakin rasional dalam berpikir, sehingga semakin sukar mengakui sesuatu yang di luar akal sehat, akan tetapi minimal terhadap peradaban dan budaya masa lalu perlu dihargai, sebab masa kini tidak akan mungkin ada tanpa masa lalu.
Semangat untuk membangun Maybrat harus didasarkan pada keinginan untuk menghargi sejarah lebih khusus sejarah adat dan agama (masuknya injil terang Tuhan di tanah ra bobot tersebut), sebagai saran pemerintah harus mempelajari apa yang baik dari mereka untuk membangun dan bukan malah membangun Maybrat dengan ego antar para elit itu sendiri. Pilkada kabupaten Maybrat kali mengantarkan kita pada suatu realita, yaitu cepat atau lambat akan ada perbedaan kepemimpinan, pemeritahannya dimana para elit ingin membangun masyarakat Maybrat dengan ego feodalisme baru yang dilegitimasi secara tradisional, pada hal semangat  membangun masyarakat ke arah ini sudah pasti  ditentang. Alasannya pertentangan itu sendiri karena kepesepmimpinan seperti ini akan melahirkan masyarakat kelas, sementara saat ini keadaan seperti itu (masyarakat kelas) suda tidak ada masanya di masyarakat. yang perlu di bangun saat ini adalah budaya demokrasi yang di bangun atas dasar kearifan-kearifan lokal dalam kepemimpinan yang kedepankan kebersamaan.
Sebuah pertanyaan yang sulit di jawab oleh setiap kita sebagai masyarakat akar rumput, namun tetap digunakan oleh para elit. Pujian dan janji merupakan pola lama (lagu lama) atau semacam spirit yang yang dipraktikan oleh elit politik, di satu sisi tanah Maybrat masih dikenal dengan negeri yang berbudaya tinggi,  yang banyak menyimpan sumber daya alam yg belum disentuh oleh tangan manusia, dan sumber daya manusianya yang sudah teruji. Selain pujian mereka juga memberikan semacam janji mereka akan melakukan proses percepatan pembangunan melalui proses pendekatan ekonomi, kesejahteraan, keamanan, kesehatan dan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dan banyak janji lainnya, guna menghilangka keterisolasian agar tidak ada perbedaan.
Namu ingat bahwa membangun Maybrat  bukan hanya dengan pujian dan janji, para elit jangan kembali menambah daftar panjang pujian dan slogan di masyarakat, soal mayarakat Maybrat  yang sudah hampir ribuan jumlahnya.  Padahal secara budaya orang Maybrat melihat janji sebagai hutang adat dan hutang adat bagi orang Maybrat adalah kewajiban adat yang mutlak dipenuhi. Sekalipun itu secara lisan saat orasi politik, Sangat erat kaitannya dengan budaya orang papua masa lalu yang tekenal dengan budaya lisan. Jangan hanya merubah tanah dan orang Maybrat  dengan janji dan pujian tetapi rubahlah idiologi pembangunan. Contoh sederhana para Kandidat harus melihat orang Maybrat  sebagai manusia, dengan pendekatan yang memanusiakan juga, nilai-nilai kemanusiaan diutamakan. Apa setiap pujian dan janjin yang disampaikan di atas tidak diwujutnyatakan atau terealisasi maka omong kosong adalah kata paling bijak kepada Suku ini yang bargaining  membawa perubahan bagi daerah lain dan gagal membawa perubahansendiri di tanah leluhur mereka sendiri.  
(*) Penulis Adalah Mantan Relawan PSCS Kota Jayapura Papua