Robertus
Nauw
"Orang-orang yang berhasil
di dunia ini adalah orang-orang yang bangkit dan mencari keadaan yang mereka
inginkan, dan jika tak menemukannya, mereka akan membuatnya sendiri"
- George Bernard Shaw
Sebuah kata bijak yang menurut penulis merefleksikan hidup elit
oportunis dan rakyat marjinal di papua dalam menjalani dan mempertahankan hidup
dalam kehidupan ini, yang tidak mendapat keadilan dan diskriminasi hampir di
semua aspek dan masyarakat marjinalnya di massa paling moderen ini rakyat
marjinalnya masih tetap hidup dalam sebuah massa yang memprihatinkan.
Ibarat itik mati kehausan di tengah air, demikian rakyat
papua mengharapkan setitik embun kesejahteraan ditengan orde paling kaya, yakni
di era otsus.
Dalam paradigma "lama" dalam arti yang paling dominan,
untuk menjadi sukses orang harus dikuasai oleh "roh memiliki." Bila
Anda ingin berhasil dalam mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, Anda
"harus" memiliki kedekatan khusus dengan sistem. Tanpa "roh
memiliki" Anda "tidak mungkin" mendapatkan pekerjaan yang kita
inginkan, atau mendapat apapun yang kita inginkan, ini sudah menjadi budaya
baru bagi kita sesama rakyat papua yakni harus punya orang dalam. Akibatnya,
"roh memiliki" sangat kuat mengakar dalam budaya kita.
Sehingga tanpa memiliki hal-hal tersebut, orang kehilangan
keyakinannya untuk berhasil dalam kehidupan. Dan orang yang kehilangan
keyakinan, pada hemat saya, telah kehilangan jati dirinya sendiri. Ia menjadi
kelompok marginal, yang dipandang sebelah mata dan tidak diperlakukan sebagai
manusia. "Roh memiliki" telah menyesatkan banyak orang. Sehingga titengah
ketidak berdayaan ini, Elit oportunis asal papua yang berpikir bahwa hidup kita
indah apabila kita kembali perjuangkan satu daerah otonom baru.
Jujur akhir-akhir ini, semua orang sedang mencari kebenaran
demi kedamaian di Papua. Dari kaum kecil sampai besar, dari kaum buta
huruf sampai kaum cendikiawan masih terus mencari kebenaran bersama. Segala cara
seperti pemekaran wilayah, untuk pendekatan keamanan, kesejahteraan,
kebudayaan-sosial-masyarakat dan pendekatan agama, serta dengan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan digunakan mereka untuk memperoleh realitas kebenaran.
Segala kemampuan, ruang dan waktu pun dapat diatur oleh setiap kita secara
sedemikian rupa sehingga kita tidak pernah merasa puas untuk mencarinya.
Namun esensi kebenarannya itu masih belum juga diperoleh.
Kita ini masih semakin jauh dari dari apa yang dicari bersama. Realitas
kebenaran hilang dalam berbagai upaya tersebut. Kita berdialog tentang
kebenaran, tetapi esensinya masih jauh dari realitas konkret ketika orang salah
menggunakan proyek demokratis dan damai dalam realitas masalah Papua. Yang
berada hanya, objektivitas manusia hitam-puti dan duka rakyat bumi Papua yang dipermainkan.
Secara gamblang, sejumlah jalan kebenaran yang dimaksud itu yakni UU 21/2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Otsus Plus yang telah
direalisasikan pada Agustus, 2013, pendekatan militerismen dalam menuntaskan
konflik Papua, perluasan kaum Investor yang mengeksploitasi alam dan manusia
Papua dan tertutupnya ruang demokrasi di Papua dan membludaknya para pekerja
dari luar di Papua.
Apakah ini yang kemudian kita sebut konsep dan program ini
digunakan mereka sebagai jalan kebenaran dan kebaikan bersama demi mewujudkan
Papua sebagai Tanah damai. Mandiri sejahtera dan sejajar dengan daerah lain di
kawasan Indonesia yang kita cintai ini. Jelas omong kosong, kebenaran bersama
menjadi hilang dan tidak pernah terrealisasi ketika sejumlah pendekatan, konsep
dan Undang-Undang itu digunakan dan direalisasikan mereka secara sepihak.
Kebenaran tidak lagi menjiwai diri mereka dalam realisasi kerja dan tugas
pokoknya, kala apa yang diperjuangkan itu kunjung tiba.
Kepentingan politik pemerintah Indonesia melakukan banyak
pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi di tanah Papua memanfaatkan pejabat yang
kerjanya menjilat, jelas-jelas adalah liar pemekaran tidak melalui suatu proses
yang benar dan bertanggungjawab dengan memenuhi syarat-syarat.
Padahal orang papua lupa diri bahwa misi utama pemekaran
adalah operasi militer dan operasi transmigrasi gaya baru. Tujuannya ialah
pemusnahan etnis orang asli Papua
ini murni kepentingan politik, ekonomi, keamanan dan bahkan
proses pemusnahan etnis. Semua kebijakan politik pemerintah Indonesia ini bukan kepentingan memajukan,
membangun dan mensejahterakan penduduk asli Papua. Menurut hemat saya, kalimat
kuncinya ialah bual-bual politik elit lokal papua yang kebablasan.
Tanpa kepentingan asas keadilan dan kemanusiaan serta masa
depan kelangsungan hidup orang-orang
pemilik, ahli waris negeri dan tanah Papua Barat. Pemerintah Indonesia
juga mengelola Papua Barat sebagai wilayah bermasalah dan daerah konflik yang perlu diselesaikan
dengan pendekatan keamanan. Walaupun pendekatan keamanan ternyata gagal
total dan menyebabkan pelanggaran HAM
yang kejam dan memilukan hati.
Bahkan jauh lebih penting yang tidak dikaji oleh semua
pejabat papua yang terhormat, kehadiran pemekaran wilayah cenderung memunculkan
pengelompokan sesuai dengan suku masing-masing sehingga keadaan ini sudah
sangat berbahaya untuk masa depan Orang Asli Papua (OAP). Sekedar untuk
direnungkan: Tahun 2011, Penduduk Asli Papua 1.700.000 dan Pendatang 1.980.000.
Total 3.680.000. Presentase 47% Penduduk Asli Papua dan Pendatang 55%. (Baca Papua Rot Map Show)
Sementara dari kuantitas (jumlah) penduduk OAP semakin
berkurang, tetapi volume pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi di papua meningkat.
Ini keadaan nyata sangat kontras dan benar-benar ironis.
Walaupun sisi lain pemekaran membawa dampak positif, namun dampak
negatif dari pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi, yang paling menonjol
dan membawa kehancuran terhadap masa depan Papua. Sehingga mempersiapkan diri
dari aspek Sumber Daya Manusia (SDM) untuk membangun kabupaten atau kota dan
Provinsi yang sudah ada dari pemekaran, jauh lebih terhormat karena itu solusi
yang tepat. Ketimbang memperjuangkan daerah otonom baru alias menghentikan semua
daerah pemekaran baru yang diperjuangkan oleh kelompok-kelompok oportunis yang hanya memperjuangkan harga diri dan
martabat, yang selama ini tidak dimanfaatkan oleh system. Tergadaikan oleh
uang, dan mencari kehormatan yang semu, toh…. ini hanya sebuah, perenungan yang
panjang, dan perspektif penulis yang kemungkinan berpijak pada fakta dan asumsi
semata. SEMOGA
(*)
Penulis Adalah Mantan Relawan Pscs Kota Jayapura - Papua