Kamis, 03 Oktober 2013

Mencari Nasionalisme Papua Yang Hilang

Oleh: Robertus Nauw


Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup seorang diri, dimana pun dan bilamana pun, manusia senantiasa memerlukan kerja sama dengan orang lain. Membentuk pengelompokan sosial (social grouping) diantara sesama dalam upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan. Dan dalam kehidupan bersama itu manusia memerlukan pula adanya organisasi, yaitu suatu jaringan interaksi sosial antar sesama untuk menjamin keterlibatan, interaksi antara anggota kelompok berjalan sesuai nilai serta norma yang sudah mapan. Demi kelangsungan hidup untuk mewujutkan lingkungan yang serasi diperlukan kerjasama kolektif dan diantara sesama untuk melaksanakan aturan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota.
            Ini sebuah refleksi akan perjalanan generasi papua lebih khusus mahasiswa yang mana sebagai masyarakat terdidik mengekspresikan kegalauan mereka sebagai kaum terdidik atau kaum pembelajar menuju terpelajar yang selalu mencari ruang dan bahkan membuat ruang sebagai wadah (organisasi) ekspresi, pendidikan, pembelajaran dan melakukan pengkaderan. Yang kemudian membuat penulis mengelompokan generasi ini sebagai berikut, pertama golongan Generasi yang sengaja dibuat apatis, kedua golongan generasi kritis dimana generasi yang memiliki nasionalisme papua yang tinggi, sedangkan mahasiswa apaptis adalah  generasi yang memiliki nasionalisme Indonesia yang tinggi, wujutnyatanya bisa dilihat dari orientasi perjalanan organisasi itu sendiri dan sikap individu dari kelompok tersebut dengan satu kekuatan tawar-menawar yang tidak berkurang melainkan bertambah dimana generasi sekarang semakin sadar bahwa kita sudah berpikir mundur  jika kita bicara tentang disintegrasi.
            Sehingga pada tatanan ini, gampang menarik sebuah benang merah yang pendek katanya “Mencari Nasionalisme Pemuda Papua Yang Hilang” Nasionalisme menunjuk pada rasa kesadaran hidup berbangsa. Rasa ini terbentuk dari rasa kristalisasi faktor kultural, sejarah, psikologi yang memaksa individu untuk bersatu atas dasar memiliki nilai-nilai kemasyarakatan dan cita-cita bersama (Hans,1996). Sedangkan dalam kancah politik nasionalisme ini diterjemahkan di dalam keharusan memiliki tatanan politik sendiri, merdeka dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi. Nasionalisme merupakan basis pembentukan identitas nasional. Persamaan kultur ditumbuhkan dengan pengalaman sejarah yang sama membentuk suatu nasionalisme bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Unsur-undur ini menyatu untuk membentuk suatu perangkat nilai keyakinan dn rasa bangga akan keberadaan angsanya. Rasa bangga dengan simbol-simbol yang berkaitan dengan keberadaan suatu bangsa yang kemudia kita kenal dengan patriotisme.
Sesuai pengertian nasionalisme yang dijelaskan di atas, rupanya generasi papua sekarang dan akan datang tidak lagi mengerti makna dari kata nasionalisme itu sendiri, hal ini membuktikan bahwa sanpai saat ini, banyak generasi papua yang belum memiliki budaya politik papua, dan masih bingung tentang identitas mereka, dan sekarang yang dimiliki oleh mereka adalah budaya politik Indonesia-Jawa yang sudah mendoktrin mereka untuk segera meninggalkan budaya melanesia dan cenderung ke budaya melayunisasi, hal yang mendasari mereka untuk lupa akan identitas dan jati diri sebagai orang papua adalah janji negara akan terpenuhinya kebutuhan dan fasilitas sebagai penunjang hidup di hari esok dan hari tua. Ada satu hal yang perlu di ingat bahwa para pejuang Republik Indonesia, mereka sebagai pahlawan sejati dimana mereka memperjuangkan kemerdekaan yang sekarang dinikmati oleh anak cucu mereka (generasi sekarang). Sekali lagi janji negara berarti bicara soal pemerintah.
            Yang menjadi pertanyaan, apa generasi papua sekarang semuannya memiliki semangat nasionalisme yang tinggi? Apakah kita bangga jadi pemuda Papua?  dan apakah kita bangga jadi generasi salah asuh? Banyak diantara mereka yang tidak lagi bersimpati dengan pemimpin yang tidak lagi berperikemanusiaan. Yang anehnya ada orang papua yang mengaku dirinya sebagai pahlawan dinegeri ini bahkan mereka (orang papua tersebut) lebih mengaku atau banggsa sebagai orang Indonesia dibandingkan dengan orang Indonesia Jawa yang memang asli orang Indonesia.
            Bagaimana kembali menumbuh kembangkan kembali semangat nasionalisme Papua yang hilang di tengah tingginya iklim pemekaran wilayah Papua yang telah berhasil memecahbelakan masyarakat Papua berdasarkan asal usul dan primordial suku yang kental? Seiring dengan pembagian Papua berdasarkan suku asal dalam pemekarang kota dan kabupaten di Provinsi Papua, membuat generasi Papua tidak lagi paham akan identitas dan dan jati diri Papua yang sebenarnya apa ini pertanda bahwa generasi sekarang tidak mempunyai komitmen dan harga diri dan tidak berprinsip. Hal ini terbukti ketika banyak diantara generasi Papua yang hanya ikut-ikutan, ketika diberi jabatan, atau diberi fasilitas, dan serbagai macam janji yang ditawarkan dan mereka rela menjadi penghianat dengan menjual tanah ini dan rakyat Papua demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
            Realita hari ini, banyak anak negeri yang yang terjebak dalam politik busuk pendahulu mereka dan tidak bisa kembali karena frustasi akan kemiskinan dan terjebak dalam kubangan penderitaan yang memilukan hati, kurangnya perhatian akan pendidikan membuat rakyat kurang mampu kian marjinal bahkan ditengah Gegab gempita zaman Otsus di papua banyak anak papua malah harus putus sekolah karena tingginya biaya pendidikan yang tidak di kontrol dengan baik oleh pemerinta membuat lembaga pendidikan di papua tidak lebih sebagai lahan bisnis. Buntutnya di Kota Sorong Akhir April 2010 “Banyak orang tua kurang mampu mendatangi DPRD Kota Sorong, meminta segera Pihak Legislatif mengeluarkan Perda tentang rakyat marjinal (asli papua) untuk tidak berhak mendapatkan pendidikan alias tidak usah sekola saja.” (Radar Sorong) Contoh lain di Manokwari Provinsi Papua Barat Seorang Mahasiswa semester dua di salah satu Sekolah Tinggi Swasta dililit dengan tunggakan biaya sekolah mencapai jutaan rupiah, mengaku frustasi dan nekat mencuri untuk tetap kuliah. Memang ini hanya sebagian kecil kasus anak pemilik negeri ini (papua) yang ingin  bersekolah setinggi mungkin namun tetap tidak mendapat pendidikan yang layak karena tidak mampu. Padahal pendidikan itu pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia kata Andrea Hirata.
Kenapa dari pendidikan terendah sampai Perguruan Tinggi Di Papua Dan Papua Barat, selalu sembunyi di balik alasan “Pendidikan itu mahal” dan itu sudah alasan klasik. Sehingga frustasi adalah penyakit yang lumrah dikalangan generasi muda papua, penulis belum perna temukan generasi papua yang punya cita-cita sebagai pemabuk apalgi pencuri dan pengemis namun faktanya banyak generasi papua identik dengan stigma hitam badaki, pencuri, pemabuk dan lain sebagainya yang sudah kuat dibangun oleh persepsi. Sekalipun di jalanan itu banyak anak negeri yang bekerja mencari uang untuk dapat bersekolah semisal Tukang Parkir, Knek, Loper korang, Cuci Mobil, Kuli bangunan, dan lain sebagainya namun tetap saja tidak bisa keluar dari stigma miskin dan pencuri. Penguasa kita di papua sendiri yang membangunya. Karena tidak ada salah satu gren desain strategi untuk membangun sumber daya manusia generasi papua secara utuh, lihat saja perijinan pendirian klub malam (bar-bar) dengan penawarannya kian meraja lela, pendirian tempat-tempat maksiat dibangun secara terstruktur, belum lagi pengedaran miras dan narkoba yang sudah tumbuh subur di kalangan generasi muda tetap saja tidak ada tindakan nyata untuk membongkar budaya ini, sekali lagi alasannya sudah kuat dengan isu pendapatan asli daerah. [BERSAMBUNG]

(*) Penulis adalah Mantan Relawan PSCS Kota Jayapura-Papua