Oleh: Robertus Nauw
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup seorang diri, dimana
pun dan bilamana pun, manusia senantiasa memerlukan kerja sama dengan orang
lain. Membentuk pengelompokan sosial (social
grouping) diantara sesama dalam upaya mempertahankan hidup dan
mengembangkan kehidupan. Dan dalam kehidupan bersama itu manusia memerlukan
pula adanya organisasi, yaitu suatu jaringan interaksi sosial antar sesama
untuk menjamin keterlibatan, interaksi antara anggota kelompok berjalan sesuai
nilai serta norma yang sudah mapan. Demi kelangsungan hidup untuk mewujutkan
lingkungan yang serasi diperlukan kerjasama kolektif dan diantara sesama untuk
melaksanakan aturan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota.
Ini
sebuah refleksi akan perjalanan generasi papua lebih khusus mahasiswa yang mana
sebagai masyarakat terdidik mengekspresikan kegalauan mereka sebagai kaum
terdidik atau kaum pembelajar menuju terpelajar yang selalu mencari ruang dan
bahkan membuat ruang sebagai wadah (organisasi) ekspresi, pendidikan,
pembelajaran dan melakukan pengkaderan. Yang kemudian membuat penulis
mengelompokan generasi ini sebagai berikut, pertama golongan Generasi yang
sengaja dibuat apatis, kedua golongan generasi kritis dimana generasi yang
memiliki nasionalisme papua yang tinggi, sedangkan mahasiswa apaptis
adalah generasi yang memiliki
nasionalisme Indonesia yang tinggi, wujutnyatanya bisa dilihat dari orientasi
perjalanan organisasi itu sendiri dan sikap individu dari kelompok tersebut
dengan satu kekuatan tawar-menawar yang tidak berkurang melainkan bertambah
dimana generasi sekarang semakin sadar bahwa kita sudah berpikir mundur jika kita bicara tentang disintegrasi.
Sehingga
pada tatanan ini, gampang menarik sebuah benang merah yang pendek katanya
“Mencari Nasionalisme Pemuda Papua Yang Hilang” Nasionalisme menunjuk pada rasa
kesadaran hidup berbangsa. Rasa ini terbentuk dari rasa kristalisasi faktor
kultural, sejarah, psikologi yang memaksa individu untuk bersatu atas dasar memiliki
nilai-nilai kemasyarakatan dan cita-cita bersama (Hans,1996). Sedangkan dalam
kancah politik nasionalisme ini diterjemahkan di dalam keharusan memiliki
tatanan politik sendiri, merdeka dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi.
Nasionalisme merupakan basis pembentukan identitas nasional. Persamaan kultur
ditumbuhkan dengan pengalaman sejarah yang sama membentuk suatu nasionalisme
bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Unsur-undur ini menyatu untuk membentuk
suatu perangkat nilai keyakinan dn rasa bangga akan keberadaan angsanya. Rasa
bangga dengan simbol-simbol yang berkaitan dengan keberadaan suatu bangsa yang
kemudia kita kenal dengan patriotisme.
Sesuai
pengertian nasionalisme yang dijelaskan di atas, rupanya generasi papua
sekarang dan akan datang tidak lagi mengerti makna dari kata nasionalisme itu
sendiri, hal ini membuktikan bahwa sanpai saat ini, banyak generasi papua yang
belum memiliki budaya politik papua, dan masih bingung tentang identitas
mereka, dan sekarang yang dimiliki oleh mereka adalah budaya politik
Indonesia-Jawa yang sudah mendoktrin mereka untuk segera meninggalkan budaya
melanesia dan cenderung ke budaya melayunisasi, hal yang mendasari mereka untuk
lupa akan identitas dan jati diri sebagai orang papua adalah janji negara akan terpenuhinya
kebutuhan dan fasilitas sebagai penunjang hidup di hari esok dan hari tua. Ada
satu hal yang perlu di ingat bahwa para pejuang Republik Indonesia, mereka
sebagai pahlawan sejati dimana mereka memperjuangkan kemerdekaan yang sekarang
dinikmati oleh anak cucu mereka (generasi sekarang). Sekali lagi janji negara
berarti bicara soal pemerintah.
Yang
menjadi pertanyaan, apa generasi papua sekarang semuannya memiliki semangat
nasionalisme yang tinggi? Apakah kita bangga jadi pemuda Papua? dan apakah kita bangga jadi generasi salah
asuh? Banyak diantara mereka yang tidak lagi bersimpati dengan pemimpin yang
tidak lagi berperikemanusiaan. Yang anehnya ada orang papua yang mengaku
dirinya sebagai pahlawan dinegeri ini bahkan mereka (orang papua tersebut)
lebih mengaku atau banggsa sebagai orang Indonesia dibandingkan dengan orang
Indonesia Jawa yang memang asli orang Indonesia.
Bagaimana
kembali menumbuh kembangkan kembali semangat nasionalisme Papua yang hilang di
tengah tingginya iklim pemekaran wilayah Papua yang telah berhasil
memecahbelakan masyarakat Papua berdasarkan asal usul dan primordial suku yang
kental? Seiring dengan pembagian Papua berdasarkan suku asal dalam pemekarang
kota dan kabupaten di Provinsi Papua, membuat generasi Papua tidak lagi paham
akan identitas dan dan jati diri Papua yang sebenarnya apa ini pertanda bahwa
generasi sekarang tidak mempunyai komitmen dan harga diri dan tidak berprinsip.
Hal ini terbukti ketika banyak diantara generasi Papua yang hanya ikut-ikutan,
ketika diberi jabatan, atau diberi fasilitas, dan serbagai macam janji yang
ditawarkan dan mereka rela menjadi penghianat dengan menjual tanah ini dan
rakyat Papua demi kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Realita
hari ini, banyak anak negeri yang yang terjebak dalam politik busuk pendahulu
mereka dan tidak bisa kembali karena frustasi akan kemiskinan dan terjebak
dalam kubangan penderitaan yang memilukan hati, kurangnya perhatian akan
pendidikan membuat rakyat kurang mampu kian marjinal bahkan ditengah Gegab gempita
zaman Otsus di papua banyak anak papua malah harus putus sekolah karena
tingginya biaya pendidikan yang tidak di kontrol dengan baik oleh pemerinta
membuat lembaga pendidikan di papua tidak lebih sebagai lahan bisnis. Buntutnya
di Kota Sorong Akhir April 2010 “Banyak orang tua kurang mampu mendatangi DPRD
Kota Sorong, meminta segera Pihak Legislatif mengeluarkan Perda tentang rakyat
marjinal (asli papua) untuk tidak berhak mendapatkan pendidikan alias tidak
usah sekola saja.” (Radar Sorong)
Contoh lain di Manokwari Provinsi Papua Barat Seorang Mahasiswa semester dua di
salah satu Sekolah Tinggi Swasta dililit dengan tunggakan biaya sekolah
mencapai jutaan rupiah, mengaku frustasi dan nekat mencuri untuk tetap kuliah.
Memang ini hanya sebagian kecil kasus anak pemilik negeri ini (papua) yang
ingin bersekolah setinggi mungkin namun
tetap tidak mendapat pendidikan yang layak karena tidak mampu. Padahal
pendidikan itu pintu keajaiban lain untuk mengubah dunia kata Andrea Hirata.
Kenapa
dari pendidikan terendah sampai Perguruan Tinggi Di Papua Dan Papua Barat,
selalu sembunyi di balik alasan “Pendidikan itu mahal” dan itu sudah alasan
klasik. Sehingga frustasi adalah penyakit yang lumrah dikalangan generasi muda
papua, penulis belum perna temukan generasi papua yang punya cita-cita sebagai
pemabuk apalgi pencuri dan pengemis namun faktanya banyak generasi papua
identik dengan stigma hitam badaki, pencuri, pemabuk dan lain sebagainya yang
sudah kuat dibangun oleh persepsi. Sekalipun di jalanan itu banyak anak negeri
yang bekerja mencari uang untuk dapat bersekolah semisal Tukang Parkir, Knek,
Loper korang, Cuci Mobil, Kuli bangunan, dan lain sebagainya namun tetap saja
tidak bisa keluar dari stigma miskin dan pencuri. Penguasa kita di papua
sendiri yang membangunya. Karena tidak ada salah satu gren desain strategi
untuk membangun sumber daya manusia generasi papua secara utuh, lihat saja
perijinan pendirian klub malam (bar-bar) dengan penawarannya kian meraja lela,
pendirian tempat-tempat maksiat dibangun secara terstruktur, belum lagi
pengedaran miras dan narkoba yang sudah tumbuh subur di kalangan generasi muda
tetap saja tidak ada tindakan nyata untuk membongkar budaya ini, sekali lagi
alasannya sudah kuat dengan isu pendapatan asli daerah. [BERSAMBUNG]
(*) Penulis adalah Mantan Relawan PSCS Kota Jayapura-Papua