Oleh: Dr. Natalsen Basna
Pisau
keadilan di kota Sorong adalah tajam kedalam nepotisme dan tumpul keluar publik.
Ketidakadilan
selama ini di Kota Sorong akhirnya
berujung demo. Dalam pelayanan publik
pemerintahan moderen pemerataan merupakan hal wajib dilaksanakan semua pihak.
Sistem komunikasi politik yang mengobral janji manis berbungkus racun pada pilkada
sebelumnya, kembali mengkhianati
rakyat dengan temuan rekrutmen pegawai
negeri tanpa tes yang diluluskan lebih dari satu orang dalam satu kepala rumah
tangga sekaligus dan keluarga sekampungnya secara serentak memicu demo di DPRD
Kota Sorong beberapa waktu lalu. Pemerintah Kota Sorong bukanlah pemerintahan
kampung.
Kebijakan berbasis
nepotisme di Kota Sorong adalah kebijakan sistematis yang menutup mata dan telinga kepada publik.
Demo tersebut merupakan rentetan cara tak berhikmat yang sudah membudaya
diterapkan di Kota Sorong. Bibit-bibit mafia kong-kalikong bertali-temali kampungnisme
yang tidak mendidik selama ini berjalan dengan manis semisalnya pengangkatan pegawai
negeri keluarga tanpa tes, pengumuman nama kelulusan tanpa
marga, memasukkan pegawai
keluarga tanpa pengumuman, penepatan pejabat
birokrasi berbasis nepotisme, penetapan istri Walikota sebagai ketua DPRD Kota
Sorong, dan kebijakan dana pelantikan. Bau busuk praktek nepotisme berjalan subur
diterapkan di Kota Sorong berpotensi menyimpan bibit-bibit korupsi. Aroma ini
masih terus terdengar harum dan menyebar kemana-kemana. Sampai kapan nepotisme kampung
akan berakhir?
Sudah sepatutnya kita sebagai pemimpin
profesional menjadi berkat bagi semua orang sebagaimana teladan Dr. J.P
Salossa, Dr. J.P. Wanane, dan Drs. M.R Kambu, M.Si. Pandangan berfikir sempit
berbasis ideologi
keluargaisme, margaisme, kampungnisme dan dusunisme sebaiknya ditinggalkan. Marilah kita memimpin
dengan mewariskan kebaikan dan jangan meninggalkan bibit-bibit penyakit
yang akan menjadi ancaman bagi generasi Maybrat berikutnya sebagaimana contoh pemindahan
pegawai secara masal yang dilakukan di Kabupaten Sorong terhadap orang Maybrat
dalam sejarah sistem
birokrasi beberapa waktu lalu.
Seharusnya pemimpin berpikir besar dan memperlihatkan
suri tauladan, dan kedewasaan dalam mengambil kebijakan yang menjadi panutan
bagi seluruh masyarakatnya. Jikalau masih menerapkan sistem nepotisme apakah
masih membutuhkan suara rakyat dalam pemilu selanjutnya?
Penulis adalah:
Ketua Dewan Pengurus Pusat Lembaga
Intelektua Tanah Papua (LITP) Se Indonesia
(Sumber: Di Kutip Dari Kliping Artikel Radar Sorong,
Edisi 25 April 2015)