Senin, 04 Mei 2015

MENGAPA KITA TERUS MEMPERTAHANKAN KEBIJAKAN NEPOTISME KAMPUNG DI KOTA SORONG?



Oleh: Dr. Natalsen Basna


Kota Sorong adalah julukan kota bersama. Masyarakat Kota Sorong adalah masyarakat heterogen yang menanti dan merindukan keadilan. Keadilan dalam struktur masyarakat majemuk bermakna perjuangan, cita-cita manusia yang memiliki akal sehat dan hati nurani. Keadilan adalah sebuah impian setiap pemimpin sebagai cermin kualitas pribadi profesional. Didunia manapun keadilan akan mengalahkan ketidak adilan. 

Pisau keadilan di kota Sorong adalah tajam kedalam nepotisme dan tumpul keluar publik. Ketidakadilan selama ini di Kota Sorong akhirnya berujung demo. Dalam pelayanan publik pemerintahan moderen pemerataan merupakan hal wajib dilaksanakan semua pihak. Sistem komunikasi politik yang mengobral janji manis berbungkus racun pada pilkada sebelumnya, kembali mengkhianati rakyat dengan temuan rekrutmen pegawai negeri tanpa tes yang diluluskan lebih dari satu orang dalam satu kepala rumah tangga sekaligus dan keluarga sekampungnya secara serentak memicu demo di DPRD Kota Sorong beberapa waktu lalu. Pemerintah Kota Sorong bukanlah pemerintahan kampung. 

Kebijakan berbasis nepotisme di Kota Sorong adalah kebijakan sistematis yang menutup mata dan telinga kepada publik. Demo tersebut merupakan rentetan cara tak berhikmat yang sudah membudaya diterapkan di Kota Sorong. Bibit-bibit mafia kong-kalikong bertali-temali kampungnisme yang tidak mendidik selama ini berjalan dengan manis semisalnya pengangkatan pegawai negeri keluarga tanpa tes, pengumuman nama kelulusan tanpa marga, memasukkan pegawai keluarga tanpa pengumuman, penepatan pejabat birokrasi berbasis nepotisme, penetapan istri Walikota sebagai ketua DPRD Kota Sorong, dan kebijakan dana pelantikan. Bau busuk praktek nepotisme berjalan subur diterapkan di Kota Sorong berpotensi menyimpan bibit-bibit korupsi. Aroma ini masih terus terdengar harum dan menyebar kemana-kemana. Sampai kapan nepotisme kampung akan berakhir?

Sudah sepatutnya kita sebagai pemimpin profesional menjadi berkat bagi semua orang sebagaimana teladan Dr. J.P Salossa, Dr. J.P. Wanane, dan Drs. M.R Kambu, M.Si. Pandangan berfikir sempit berbasis ideologi keluargaisme, margaisme, kampungnisme dan dusunisme sebaiknya ditinggalkan. Marilah kita memimpin dengan mewariskan kebaikan dan jangan meninggalkan bibit-bibit penyakit yang akan menjadi ancaman bagi generasi Maybrat berikutnya sebagaimana contoh pemindahan pegawai secara masal yang dilakukan di Kabupaten Sorong terhadap orang Maybrat dalam sejarah sistem birokrasi beberapa waktu lalu. 

Seharusnya pemimpin berpikir besar dan memperlihatkan suri tauladan, dan kedewasaan dalam mengambil kebijakan yang menjadi panutan bagi seluruh masyarakatnya. Jikalau masih menerapkan sistem nepotisme apakah masih membutuhkan suara rakyat dalam pemilu selanjutnya?

Penulis adalah: 
Ketua Dewan Pengurus Pusat Lembaga Intelektua Tanah Papua (LITP) Se Indonesia

(Sumber: Di Kutip Dari Kliping Artikel Radar Sorong, Edisi 25 April 2015)