Kamis, 22 Agustus 2013

PANGGIL KAMI PUTRA RIMBA


Oleh: Robertus Nauw

Ada keindahan, setiap aku mengenang masa remaja akhir tahun 2000. Klademak, Distrik Sorong Kota. Sorong- Papua Barat, adalah sebuah perkampung kumuh yang penuh dengan kabut tebal kala subu, beberapa meter di belakangnya terdapat sebuah hutan kota yang masih perawan, hutan yang tak pernah dijelajahi siapapun kala tidak ada musim di sana. Kebun Pala namanya, hutan ini penuh dengan berbagai
hal yang memenuhi kebutuhan hidup para warga sekitar. Namun, sekian tahun berlalu sang mahkluk yang tak pernah diketahui motifnya membunuh semua mahluk hidup yang ada di sana secara sadis!
Masih segar dalam ingatan, pagi itu dingin sekali. Satu demi satu, kami mangkir di para-para dengan berbagai komunikasi isyarat. Aku keluar ke teras depan, kerena hari masih pagi keluarga yang lain masih tertidur dengan pulasnya. Kecuali kami, jam di HP George “temanku” menjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Mengherankan memang, tadi malam kita bergadang di bawa cahaya bulan sampai subuh sadarkan kita. Entah mengapa kami berkeinginan berbagi cerita. Sesuatu yang sudah mulai jarang kita lakukan. Terutama ketika berbagai macam sudah mulai menerjang tanpa henti. Memang berbagi cerita menjadi hal yang sering kami lakukan. Mulai dari cerita ringan, seperti gosip sesama teman-teman di lingkungan, sampai pada nasihat, akan masa depan dan berbagai isu seperti orang tua yang kejam, pelit dan sikap pak RT sungguhan yang selalu melarang tuk melakukan apa saja, mulai dari jangan main bola, jangan main gem, jangan suka kumpul. dan masih banyak lainnya yang menguras tenaga dan pikiran. Tanpa sebuah solusi. contohnya sarana umum yang disediakan di kampung ini sendiri tidak ada mulai dari lapangan umum, air bersih, MCK, Poskamling, karang taruna dan lainnya. Itulah awal kenapa kami harus berontak,  dan selalu sepakat mencari suasana yang lain kala diskusi.
***
Aku dan teman-teman tinggal bertetangga dan kami sudah bersahabat lama, aku lebih senior dari mereka namun kita tetap sebaya, hanya bulan yang membedakan usia. tumbuh pada generasi antara uang dan jabatan semakin mendominan, kita adalah anak-anak muda yang jauh dari pergumulan kaum subyetif dan kita hanya menginginkan objektivitas. Wadah ini (Komunitas sel) kita tidak memikirkan sesuatu hal yang biasa biasa karena kita adalah inovator, intelektualitas kita menjadi pertaruhan idiologis untuk selalu berjalan beriringan dengan para kaum pinggiran. Ini hanya wadah pembelajaran yang kita bersama harus memahaminya bahwa seribu kali salah diwadah ini kita anggap sesuatu yang biasa selama kita masih menjadi kaum pembelajar menuju kaum terpelajar. Kebersamaan di lingkungan ini, jangan kita biarkan kotor dengan politisasi marjinalisasi harus menjadi musuh bersama.
Ini sebuah wadah kebersamaan dimana tidak ada yang saling menggulingkan, memfitnah dan memperkosa harga diri orang lain. Karena moto kita adalah Revolusi Cinta, ibarat garis lurus tanpa patahan bahwa komunikasi persuasif menjadi nilai dogma kebersamaan. Terus kreatif dalam berdiskusi untuk memecahkan soal antara untuk dibulatkan menjadi finalitas. Kami hanya ingin belajar polos tanpa kebohongan, kami butuh parameter sebagai pembuktian bahwa wadah ini adalah wadah untuk keberhasilan, kami tak butuh duduk diam sebagai babu yang menunggu perintah majikan. Jika tiba waktunya kami ingin kreatifitas tanpa perintah, kami menginginkan sebuah loyalitas karena kami adalah orang yang loyal, kami butuh akademisi profesional karena kami adalah idealis dan  terpenting  adalah kami selalu berpikir positif karena kami adalah generasi yang jauh dari kepentingan negatif. Sejujurnya, kami tidak mengharapkan penghargaan darimu. Kami hanya menginginkan kegembiraan belajar bersama dimana tawa seorang senior  sama bahagianya dengan tawa seorang junior. Kami slalu berteman dan tidak memandang pendidikan entah duduk di bangku SMA. Bangku smp, bangku sd bahkan perguruan tinggi, bahkan lebih lagi tidak mengemyam pendidikan Mereka itu adalah sahabatku, mereka yang indah dan mulia hatinya yang selalu akrap  aku sapa Tao “saudara laki-laki” dalam bahasa ibuku.
***
Diskusi yang mengalir deras malam itu, berawal dari nonton bareng pertandingan sepakbola Liga Indonesia antara Semen Padang vs Persipura yang berakhir dengan skor imbang 1-1. kita semua penggemar berat Persipura, sedangkan beberapa teman kami penggemar semen padang taruhan kecil-kecilan.
 “Ah tidak apa, semua ini ada hikmahnya biar  nonbar makin seru.” Kataku dalam hati.
Sesuai kesepakatan, besok kita menjelajahi hutan. Memang, kami termasuk keluarga kurang mampu. Boleh dikata kaum terpinggir atau marginal sehingga membuat kami tertantang untuk terus tidak mengalah pada nasip, tapi orang-orang dilingkungan kami tidak mendukung, sehingga, taklukan hutan adalah pelampiasan penat kami, memutuskan untuk  berkarya di hutan. Kurang lebih selama itu bermain layaknya anak kecil tetapi didalamnya ada pelajaran berharga yang kami rasa. Sehingga mungkin saja terlintas di benak warga “kalau pikiran kami kaya anak keci.” tanyaku spontan!
“ah persetan, bodoh amat dengan komentar orang. “ kata Andro temanku
“OK sepakat. Biar ada yang mencemooh, ada yang menghina bahkan sirik kepada kita biarkan saja, jangan dengar mereka, belum tentu mereka sempurna, yang penting hari ini kami gunakan untuk bahagiah.”  Seruku meyakinkan teman-teman.
“benar” tambah pa RT seraya seperti badut!!  “bukankah hidup ini telah susah. Toh kita malah berpikir susa, jangan bahas dorang nanti kita pusing e....”
Lantas saja hening hutan itu berubah menjadi seru, yang terpenting kita tidak terbunuh dalam penjara hati yang dibangun oleh rasa sirik dalam diri kita sendiri.
***
Esok harinya, masih pagi benar kami berjalan  menyusuri hutan akasia dan lembah yang curamnya tidak terlalu terjal, tuk sampai ke hutan. Sesampainya di hutan setelah kelelahan, kamipun memilih untuk beristirahat. Sembari makan, apa saja yang bisa di makan asal jangan memakan manusia, karena kami bukan suanggi, sambil membicarakan tentang apa yang selanjutnya dilakukan nanti di hutan ini. aku dan teman-temanku kembali melanjutkan perjalanan, cuaca siang itu cerah, untuk dipergunakan berburu mengumpulkan bahan makan, meramu dan mengolahnya sampai Surya Kencana, sore itu merah sekali.
Rombongan kami bergerak melintasi padang belantara, menyusuri anak sungai yang berbatuan yang banyak ditumbuhi bunga liar, bunga abadi yang sering disimbolkan sebagai perlambang cinta yang kebetulan memang lagi tengah musimnya. Begitu memasuki kawasan kali biru, semerbak wangi pandan seakan menyeruak memenuhi indera penciuaman “duuhhh wanginya” aku baru pertama kali merasakan sensasi keindahan alam bebas ini, tiada henti-hentinya berucap kagum.
“seumur hidup aku baru tahu ada sungai sebesar ini, yang airnya biru di kebun pala.”  kata ku sambil memeluk bahu sahabatku Petra yang biasa kami nobatkan sebagai pa RT di hutan ini, “makasih ya.” Jawab ku dengan nada menggoda.
“mau lagi?” sahutnya!
“datang sendiri nanti natal k, desember k, bawa ko pu mace biar kamu main ruma-ruma disini” begitu kata pa RT mengejek ku.
Membuat ku geram dalam hati “Ah.. setan alas ko”
Kembali lagi, semua riang dalam senyuman suasana tawa yang membumikan suara kami pengganti raja hutan di kebun pala di saat sore menjelang malam itu.
***
Perjalanan menelusuri sungai, gunung. dan hutan mulai terhenti karena malam dan gelap mulai sadarkan kita, niat kami telah bulat untuk bermalam di tengah hutan. Taklukan sebuah gunung yang tak kala tingginya dengan Semeru, “hanya pajangan asa” batinku merenung. Semoga jiwa kami damai, mendapat kepuasan batin dari aktivitas yang alami seharian. Jujur di kota orang tua di lingkungan memandulkan peran kami, lihat di sini, kami bebas.! Kerja sesuai tim ada yang sebagai koki, timba air, pemburu dan pasukan pemantau, dan regu pencari bahan makanan. Semua dilakukan sesuai pilihan. Tujuannya hanya satu mengusir semua rasa sesal dan penat di hati dengan rasa anggung jawab, mengutamakan kebersamaan, terorganisir. Semua proses ini, mendidik kami untuk lebih bijak dalam memahami.
Malam semakin cepat berkejaran dengan waktu, membuat sunyipun mencari tempat untuk pergi. Itu bertanda kami harus lepaskan segala penat tubuh ini ke peraduan di tengah hutan belantara hingga pagi yang sadarkan nanti, malam yang semakin sunyi kami ditemani dengan kicauan burung yang menyayikan lagu rindu. Membuat doa semoga malam ini tetap indah dan hilangkan beban dalam diri kami, rumah tua dari bilik bambu beratap ilalang adalah rumah terakhir kami, saksi  bisu dari  puja dan puji tentang hari esok yang lebih baik yang dinaikan.
Kami bisa diandalkan sebagai pemuda, pelajar, dan mahasiswa dengan kepasrahan yang sungguh membuat kami tabih meniti kehidupan dari bawa penuh dengan tantangan, mimpi  ingin jadi orang sukses jika gagal kami berani bermimpi walau terbang dengan sayap-sayap patah. Kami ingin menjadi lebih biru dari lautan, lebih hijau dari hutan, lebih puti dari langit, lebih lembut dari kapas dan sutra walau ini hanya sebuah mimpi semoga niat suci ini menjadi kenyataan jika di ijinkan oleh Tuhan Sang Pencipta Alam Raya itu sendiri.
Di hutan kemampuan kami teruji, kami berkebun, membuat pagar membangun rumah, reboisasi, memburuh dan meramu mengumpulkan bahan makanan masih dengan cara yang sangat alami, kami selalu berjalan siang atapun malam dengan tidak rasa takut kami tidur berhari-hari bahkan bermingu-minggu. Entah di ruma kebun atau di tanah beralskan daun tidak masalah bagi kami, musuh utama kami adalah  orang lain yang merusak hutan, jika sampai ketahuan kita biasa menyerang secara sadis bahkan melukai dengan trik licik kami, Dengan bahasa sedikit bangga “hutan saja kami taklukan, apalagi kalian”
Itulah motif kita menaklukan hutan bertahun-tahun, dirumah kami dikekang, lebih baik di hutan kami bebas, faktanya mahkluk yang tak pernah diketahui selama ini membunuh semua mahkuluk hidup yang ada di sana (hutan)secara sadis! Adalah kami. Yang kini akrap dengan sapaan Sang putra rimba.
***
Ya Tuhan aku mohon supaya kami jangan dibawa kejalan yang mudah dan lunak, melainkan dibawah ke jalan yang penuh desakan Kesulitan dan tantangan. Didiklah kami supaya ulet berdiri di atas badai, bentuklah kami menjadi manusia yang hatinya jernih.
Yang cita – citanya luhur, anak yang sanggup memimpin dirinya sebelum sanggup memimpin orang lain.Dengan demikian, kami akan memberanikan diri untuk berbisik. Hidupku ini tidak sia-sia, dalam menghadapi dunia nyata denga segala tantangan dan kesulitan. SEMOGA
***