Kamis, 13 Maret 2014

POLITIK AKAR RUMPUT DIBAYANGI ANCAMAN PEJABAT



Oleh: Luis Solossa, ST (*) 

“Rakyat tidak pernah salah kalau mereka miskin, bodoh, kelaparan, sakit-sakitan dan tidak mampu, yang salah bukan masyarakat, melainkan pemerintah. (Yakni Pihak Eksekutif, Legislative, Yudikatif) sebagai pemegang kekuasaan atas masyarakat. Itu artinya negara dan para pejabatnya yang salah apabila tidak becus memberikan ketenangan hidup, apalagi menjamin masa depan rakyatnya untuk sejahtera.” (kompas, J. Sumarjo, 2013) 

Tulisan ini tidak ada niat mendiskriminasikan apalagi mengucilkan pihak manapun. Ini kajian kritis dan refleksi atas dinamika kehidupan politik, dalam konteks politik praktis. Dimana perjuangan rakyat kecil, yang terus berjuang dan berusaha bertahan di tengah kerasnya hidup, dengan tetap menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, sebagai satu-satunya benteng terakhir penghasilan keluarga di kemudian hari nanti. Terlepas dari berhasil atau tidak masih terus digumuli, baik dalam dunia pedidikan dan dunia lainnya. 
Jujur  saya bangga atas kenyataan di kalangan masyarakat kecil di maybrat yang berhasil  menjamin anak-anak mereka, dengan keringat dan darah, itulah sebenarnya arti kata berhasil. Karena "Orang-orang yang berhasil di dunia ini adalah orang yang bangkit dan mencari keadaan yang mereka inginkan, dan jika tidak menemukannya, mereka akan membuatnya sendiri"  Sebuah refleksi hidup rakyat marjinal di papua maybrat dalam menjalani dan mempertahankan hidup, sebagian besar rakyat belum mendapat keadilan dan diskriminasi hampir disemua aspek, sehingga masyarakat marjinalnya dimassa paling moderen (Otsus) mereka masih.
Tetap hidup dalam sebuah massa yang memprihatinkan, jauh dari fasilitas publik yang memadai dan kesenjangan sosial yang mencolok dan masyarakat kecil terus merana dalam kubangan penderitaan yang memilukan hati. Ibarat itik, mati kehausan di tengah air, demikian masyarakat mengharapkan setitik embun kesejahteraan dan keberpihakan di tengan era paling kaya (Otsus), yakni era dimana uang, jabatan dan pemekaran daerah otonom baru merajalela.
Dalam paradigma "lama" masyarakat kecil tetap melihat semua kebaikan ini dalam arti yang paling dominan, dimana untuk menjadi sukses orang masih harus dikuasai oleh "roh memiliki." Bila Anda ingin berhasil dalam mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, Anda "harus" memiliki kedekatan khusus dengan sistem. Karena tanpa "roh memiliki" Anda "tidak mungkin" mendapatkannya. Bahkan hal ini sudah menjadi budaya baru bagi para elit. Sehingga tanpa memiliki hal-hal tersebut, membuat masyarakat kecil kehilangan keyakinan untuk berhasil, bahkan kehilangan jati dirinya sendiri. Dan menjadikan kelompok marginal,  dipandang sebelah mata. Itu artinya "Roh memiliki" telah menyesatkan banyak orang. Sehingga di tengah ketidak berdayaan, Para elit papua maybrat berpikir bahwa hidup kita indah apabila mereka terus menumpuk harta kekayaan, di tengah masyarakat sesama kita merana dan meratapi hidup.
Itulah mengapa, semua orang sedang mencari kebenaran demi kedamaian di maybrat, dari kaum kecil sampai besar, dari orang kaya sampai orang miskin, dari kaum buta huruf sampai kaum cendikiawan masih terus mencari kebenaran bersama. Namun esensi kebenarannya itu, hingga kini masih belum juga diperoleh, karena realitas kebenarannya hilang dalam berbagai upaya tersebut. Bahkan kita telah berdialog tentang kebenaran dan perdamaian, tetapi esensinya masih jauh dari realitas, konkretnya ketika orang salah menggunakan proyek demokrasi dalam realitas politik di maybrat tetap sama. Toh… yang ada hanya seperti, objektivitas manusia hitam-putih dan duka rakyat bumi Papua yang masih trauma karena tergolong miskin dari semua daerah, akibat dipermainkan oleh para pejabat elitnya sendiri seperti yang dikemukan oleh tim peneliti LIPI belum lama ini. Dan saya berharap di negeri para ra bobot hal ini harus kita akhiri.

Berjuang Melawan Lupa
UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, kini sedang dikaji ulang menjadi Otsus Plus, namun rakyat tetap merana. Perluasan kaum Investor yang mengeksploitasi alam dan manusia Papua, dan tertutupnya ruang demokrasi, dan informasi pun jadi ancaman. Serta dinamika membludaknya para pencaker dari luar maybrat (Papua dan Indonesia) berpotensi mengancam pengangguran intelektual asal maybrat yang hingga kini belum terurus dengan baik. Apakah ini yang kemudian kita sebut konsep dan program yang digunakan sebagai jalan kebenaran dan kebaikan bersama demi mewujudkan kehidupan masyarakat maybrat (Papua) yang damai, mandiri, sejahtera dan sejajar dengan daerah lain. Hal itu sangat mustahil jika para pejabat elit lokal maybrat masih mengelola daerahnya sebagai wilayah bermasalah dan daerah konflik politik yang telah habiskan berbagai pendekatan.
Seyokyanya, tujuan pemekaran itu selalu membawa dampak positif, soal adanya dampak negative, itu hanyalah resiko yang tidak perlu disungutti, karena sifat negatif itu berpulang pada pejabat sebagai wakil dari rakyat, yang ingat diri dan menjadikan jabatan bahkan mandat dari rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompok semata.  Sejauh sifat ini belum di rubah oleh parah pejabat sebagai wakil rakyat, masyarakat jangan bermimpi tentang hari esok yang penuh harapan. Namun saya masih punya harapan dan keyakinan yang sungguh, bahwa yang lari jauh dipulangkan, dan musuh diperdamaikan. Tak ada kaum yang dilupakan. Disinipun dikaruniakan sejahtera dan kehidupan. Jika para elit kedepankan cina kasih dan niat yang mulia untuk membangun rakyat, jika cara intimidasi dan halalakan kekuasaan jabatan untuk menakut-nakuti rakyat kecil menjelang pesta 5 tahunan (Pileg) 9 April nanti maka para pejabat seperti itu yang dikategori haus kekuasaan, sehingga abaikan pendidikan politik yang baik dan benar dalam mendidik masyarakat. Karena ambisi kekuasaan, uang, jabatan dan tentunya buat mereka menjadi sarang penyamun bagi koruptor, Kolusi, dan Nepotisme ditengah pelemahan daya krisis masyarakat dan mahasiswa.  Terhadap para pejabat seperti Bupati, walikota dan jaringan lingkaran setannya.  Solusi untuk keluar dari masalah ini adalah, berpulang pada nuani yang paling dalam dari setiap kita apakah mau memilih, partai yang busuk, politisi yang busuk dan mau memilih sistim yang busuk. kalau sampai itu terjadi
maka jangan mimpi Politik akar rumput bisa keluar dari bayangan ancaman pejabat. SALAM

(*) Penulis Adalah Anggota Lembaga Penelitian dan Pengkajian Mahasiswa Papua di Jayapura