Oleh: Luis Solossa, ST (*)
“Rakyat tidak pernah salah kalau mereka
miskin, bodoh, kelaparan, sakit-sakitan dan tidak mampu, yang salah bukan
masyarakat, melainkan pemerintah. (Yakni Pihak Eksekutif, Legislative,
Yudikatif) sebagai pemegang kekuasaan atas masyarakat. Itu artinya negara dan
para pejabatnya yang salah apabila tidak becus memberikan ketenangan hidup,
apalagi menjamin masa depan rakyatnya untuk sejahtera.” (kompas, J. Sumarjo, 2013)
Tulisan ini tidak ada niat mendiskriminasikan apalagi mengucilkan pihak
manapun. Ini kajian kritis dan refleksi atas dinamika kehidupan politik, dalam
konteks politik praktis. Dimana perjuangan rakyat kecil, yang terus berjuang
dan berusaha bertahan di tengah kerasnya hidup, dengan tetap menyekolahkan
anak-anak mereka hingga ke perguruan tinggi, sebagai satu-satunya benteng
terakhir penghasilan keluarga di kemudian hari nanti. Terlepas dari berhasil
atau tidak masih terus digumuli, baik dalam dunia pedidikan dan dunia lainnya.
Jujur saya bangga atas kenyataan di kalangan
masyarakat kecil di maybrat yang berhasil
menjamin anak-anak mereka, dengan keringat dan darah, itulah sebenarnya
arti kata berhasil. Karena "Orang-orang yang berhasil di dunia ini adalah
orang yang bangkit dan mencari keadaan yang mereka inginkan, dan jika tidak
menemukannya, mereka akan membuatnya sendiri" Sebuah refleksi hidup rakyat marjinal
di papua maybrat dalam menjalani dan mempertahankan hidup, sebagian besar
rakyat belum mendapat keadilan dan diskriminasi hampir disemua aspek, sehingga
masyarakat marjinalnya dimassa paling moderen (Otsus) mereka masih.
Tetap hidup
dalam sebuah massa yang memprihatinkan, jauh dari fasilitas publik yang memadai
dan kesenjangan sosial yang mencolok dan masyarakat kecil terus merana dalam
kubangan penderitaan yang memilukan hati. Ibarat itik, mati kehausan di tengah
air, demikian masyarakat mengharapkan setitik embun kesejahteraan dan
keberpihakan di tengan era paling kaya (Otsus), yakni era dimana uang, jabatan
dan pemekaran daerah otonom baru merajalela.
Dalam
paradigma "lama" masyarakat kecil tetap melihat semua kebaikan ini
dalam arti yang paling dominan, dimana untuk menjadi sukses orang masih harus
dikuasai oleh "roh memiliki." Bila Anda ingin berhasil dalam
mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, Anda "harus" memiliki
kedekatan khusus dengan sistem. Karena tanpa "roh memiliki" Anda
"tidak mungkin" mendapatkannya. Bahkan hal ini sudah menjadi budaya
baru bagi para elit. Sehingga tanpa memiliki hal-hal tersebut, membuat
masyarakat kecil kehilangan keyakinan untuk berhasil, bahkan kehilangan jati
dirinya sendiri. Dan menjadikan kelompok marginal, dipandang sebelah mata. Itu artinya "Roh
memiliki" telah menyesatkan banyak orang. Sehingga di tengah ketidak
berdayaan, Para elit papua maybrat berpikir bahwa hidup kita indah apabila
mereka terus menumpuk harta kekayaan, di tengah masyarakat sesama kita merana
dan meratapi hidup.
Itulah
mengapa, semua orang sedang mencari kebenaran demi kedamaian di maybrat, dari
kaum kecil sampai besar, dari orang kaya sampai orang miskin, dari kaum
buta huruf sampai kaum cendikiawan masih terus mencari kebenaran bersama. Namun
esensi kebenarannya itu, hingga kini masih belum juga diperoleh, karena
realitas kebenarannya hilang dalam berbagai upaya tersebut. Bahkan kita telah
berdialog tentang kebenaran dan perdamaian, tetapi esensinya masih jauh dari
realitas, konkretnya ketika orang salah menggunakan proyek demokrasi dalam
realitas politik di maybrat tetap sama. Toh… yang ada hanya seperti,
objektivitas manusia hitam-putih dan duka rakyat bumi Papua yang masih trauma
karena tergolong miskin dari semua daerah, akibat dipermainkan oleh para
pejabat elitnya sendiri seperti yang dikemukan oleh tim peneliti LIPI belum
lama ini. Dan saya berharap di negeri para ra bobot hal ini harus kita akhiri.
Berjuang
Melawan Lupa
UU No
21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, kini sedang dikaji ulang
menjadi Otsus Plus, namun rakyat tetap merana. Perluasan kaum Investor yang
mengeksploitasi alam dan manusia Papua, dan tertutupnya ruang demokrasi, dan
informasi pun jadi ancaman. Serta dinamika membludaknya para pencaker dari luar
maybrat (Papua dan Indonesia) berpotensi mengancam pengangguran intelektual
asal maybrat yang hingga kini belum terurus dengan baik. Apakah ini yang
kemudian kita sebut konsep dan program yang digunakan sebagai jalan kebenaran
dan kebaikan bersama demi mewujudkan kehidupan masyarakat maybrat (Papua) yang
damai, mandiri, sejahtera dan sejajar dengan daerah lain. Hal itu sangat
mustahil jika para pejabat elit lokal maybrat masih mengelola daerahnya sebagai
wilayah bermasalah dan daerah konflik politik yang telah habiskan berbagai
pendekatan.
Seyokyanya, tujuan pemekaran itu selalu
membawa dampak positif, soal adanya dampak negative, itu hanyalah resiko yang
tidak perlu disungutti, karena sifat negatif itu berpulang pada pejabat sebagai
wakil dari rakyat, yang ingat diri dan menjadikan jabatan bahkan mandat dari
rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompok semata. Sejauh sifat ini belum di rubah oleh parah
pejabat sebagai wakil rakyat, masyarakat jangan bermimpi tentang hari esok yang
penuh harapan. Namun saya masih punya harapan dan keyakinan yang sungguh, bahwa
yang lari jauh dipulangkan, dan musuh diperdamaikan. Tak ada kaum yang
dilupakan. Disinipun dikaruniakan sejahtera dan kehidupan. Jika para elit
kedepankan cina kasih dan niat yang mulia untuk membangun rakyat, jika cara
intimidasi dan halalakan kekuasaan jabatan untuk menakut-nakuti rakyat kecil
menjelang pesta 5 tahunan (Pileg) 9 April nanti maka para pejabat seperti itu
yang dikategori haus kekuasaan, sehingga abaikan pendidikan politik yang baik
dan benar dalam mendidik masyarakat. Karena ambisi kekuasaan, uang, jabatan dan
tentunya buat mereka menjadi sarang penyamun bagi koruptor, Kolusi, dan
Nepotisme ditengah pelemahan daya krisis masyarakat dan mahasiswa. Terhadap para pejabat seperti Bupati,
walikota dan jaringan lingkaran setannya. Solusi untuk keluar dari
masalah ini adalah, berpulang pada nuani yang paling dalam dari setiap kita
apakah mau memilih, partai yang busuk, politisi yang busuk dan mau memilih
sistim yang busuk. kalau sampai itu terjadi
maka jangan mimpi Politik akar rumput bisa keluar dari bayangan ancaman pejabat. SALAM
maka jangan mimpi Politik akar rumput bisa keluar dari bayangan ancaman pejabat. SALAM
(*)
Penulis Adalah Anggota Lembaga Penelitian dan Pengkajian Mahasiswa Papua di
Jayapura