Oleh: Robertus Nauw
Sejak
diwacanakan pada akhir tahun 2008 di
kampus saya, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah
Jayapura-Papua, banyak rekan-rekan mahasiswa yang bertanya dan habis hanya sebatas di bangku
diskusi, soal setiap dinamikan dan proses politik kampus yang telah dan sedang
berjalan. Pertanyaanya berkisar pada, Apa sebenarnya peran mahasiswa sebagai agen perubahan
dan agen kontrol sosial. Kedua fungsi yang hakekatnya menguras pikiran dan perasaan para aktivis
mahasiswa.
Masih segar dalam ingatan saat diskusi ringan, bersama saudara Ketua Senat periode 2007-2008
Syaifudin M Songyanan, diskusi yang membahas seputar
realita saat itu bahwa mahasiswa (STIKOM) sudah tidak idealis, apatis, dan
kapitalis.
Memang agak susah mencerna istilah-istilah yang semuanya
berakhiran is itu. Namun sekedar iseng karna acap kali diteriaki dalam diskusi
dam demonstran dengan istilah-istilah serba is, dimulai dari kamus besar bahasa
indonesia ada lima kata yang berhubugan dengan kata idealis: ide, ideal,
idealis, idealisme, idealistis. Kelimanya mempunyai induk kata bernama Ide,
yang artinya gagasan atau pikiran, kemudian berkembang menjadi ideal: gagasan
atau pikiran yang diinginkan, lalu idealis yang lebih kepada orang yang mempunyai
gagasan atau pikiran itu, dan berkembang lagi menjadi idealisme: sebuah faham
filsafat yang menganggap bahwa gagasan atau pikiran yang dinginkan tersebut
merupakan hal yang benar, terakhir idalistis yang lebih menekankan kepada kata
sifat untuk menuju ideal atau sifat menuju yang dicita citakan.
Merujuk arti kata di
kamus itu, kiranya sedikit janggal bila kawan saya yang bilang bahwa “sekarang
ini mahasiswa sudah tidak idealis.” Karna jika demikian arti pernyataan itu
adalah: “sekarang ini mahasiswa sudah bukan orang yang memiliki gagasan dan
pikiran. Atau bisa di artikan mahasiswa sekarang sudah tidak punya cita cita
yang dinginkan.” Pertanyaan kemudian, benarkah demikian? Setiap manusia pasti
punya ide (gagasan atau pikiran) dan pasti Ide itu suatu hal yang di cita-citakan (Ideal). Pun halnya dengan mahasiswa, sebagai
manusia yang telah diberi kesempatan untuk belajar diperguruan tinggi tentunya
mahasiswa mempunyai cita cita yang diinginkan atau gagasan dan pikiran.
Gagasan dan cita cita
tersebut bisa sangat beragam bentuknya, salah satu contohnya adalah bila kita
mengikuti misi yang dibuat oleh universitas, mahasiswa diharapkan dapat
menyelesaikan studinya tepat waktu dan mempunyai indeks prestasi akademik yang
sesuai standar. Hal ini samahalnya dengan keinganina dari orang tua dan
keluarga kita, orang tua pasti akan mengharapkan anaknya dapat lulus tepat
waktu dan kemudian bisa bekerja dengan penghasilan yang cukup. Tentu akan
beragam hasilnya jika, setiap kepala mahasiswa di beri pertanyaan itu. Ada mahasiswa
yang kuliah karena ingin cepat selesai, ada yang ingin bekerja dengan gaji yang
layak, ada yang sekedar menuruti kemauan orang tua, dan lain sebagainya.
Artinya, kita yang
mengugat banyaknya mahasiswa yang tidak idealis. Berarti sedang menyempitkan
makna kata idealis itu sendiri, karna tidak setiap mahasiswa langsung setuju
dengan makna idealis diskusi kami. Buntut penyempitan makna inilah yang
kemudian memunculkan kelompok-kelompok dikalangan mahasiswa, yang selanjutnya
melahirkan istilah, mahasiswa idealis dan mahasiswa apatatis. “Mahasiswa
idealis adalah mereka yang kleim diri mereka benar, berjiwa besar, dan berjuang
membawa perubahan demokrasi di kampus. sedangkan mahasiswa apatis adalah mereka
yang masa bodoh, mahasiswa rumahan yang penurut dan penjilat di kalangan
mahasiswa serta sengaja di buat apatis oleh akademisi. Kelompok ini kemudian saling menjatuhkan satu sama lainnya
dan saling acuh tak acuh”. sebuah tulisan yang perna menghiasi majalah dinding BEM
STIKOM Muhammadiyah Jayapura yang ditulis oleh Bambang Retop saudara mantan
ketua senat (sekarang Presiden Mahasiswa) BEM STIKOM periode 2008-2009.
Contohnya ketika
gerakan mahasiswa (demonstrasi) pernah digerakan untuk mengkanter kebijakan
lembaga tentang tingginya biaya pendidikan, kejelasan sumber-sumber biaya siswa
bagi mahasiswa dan penerapan teknologi komunikasi yang sempat terjadi detlog
dan berakhir dengan penyelesaian secara persuasif antara pihak lembaga dan
pihak BEM. Kalangan yang menyebut dirinya idealis mengklim bahwa penyebab adanya
detlog dalam gerakan mahasiswa yang berakhir pesuasif adalah karena mahasiswa telah kehilangan jati
dirinya sebagai social control dan agent of change. Sedangkan di warung kampus,
para-para pinang, atau di pojok gedung
kuliah, model mahasiswa seksi, dan gaya berbusana terkini serta berbagai hal
yang tidak membangun karakter mahasiswa menjadi topik obrolan.
Terlepas dari konflik
yang terjadi, saya sependapat dengan pernyataan
pemateri (Kamris, 2008) dalam sebuah diskusi ilmiah Upgreding pengurus senat yang dilakukan BEM dimana ia mengatakan perbedaan yang
terjadi dalam sebuah kehidupan organisasi adalah hal yang wajar, dan
dinamika (perbeadaan) ini harus kita
melihatnya sebagai sesuatu yang positif karena sesungguhnya hanya perbedaan
kawan berpikir. Menurut saya tak perlu ada sebutan sebutan seperti mahasiswa
idealis dan lain sebagainya karena ukuran idealis atau ideal berbeda antar satu
orang dengan orang yang lainya, ideal menurut saya belum tentu ideal menurut
teman saya.
Akan tetapi yang
terpenting tentang kata idealis adalah konsistensi, sejauh mana mahasiswa
tersebut konsisiten dengan gagasannnya yang dianggapnya benar. Bila seorang
mahasiswa menggangap bahwa berorganisasi, atau aktif dalam memperjuangkan nasib
mahasiswa dan rakyat tanpa pamrih itu dianggapnya benar atau ideal maka ia akan
melakukan hal tersebut sepenuh hati, tanpa harus merubah
tujuannya walaupun banyak hal yang memaksanya untuk berubah. Dan bila seorang mahasiswa menganggap bahwa gaya
hidup apatis itu sesuai dengan gagasan dan ideal menurut dia, kita tak perlu
menaruh mereka di garis tidak idealis, karena sekali lagi ideal menurut kita
belum tentu ideal menurut orang lain. SEMOGA