Rabu, 16 Oktober 2013

Mahasiswa Idealis



Oleh: Robertus Nauw
Sejak diwacanakan pada  akhir tahun 2008 di kampus saya, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura-Papua, banyak rekan-rekan mahasiswa yang  bertanya dan habis hanya sebatas di bangku diskusi, soal setiap dinamikan dan proses politik kampus yang telah dan sedang berjalan. Pertanyaanya berkisar pada, Apa sebenarnya peran mahasiswa sebagai agen perubahan dan agen kontrol sosial. Kedua fungsi yang hakekatnya menguras pikiran dan perasaan para aktivis mahasiswa. Masih segar dalam ingatan saat diskusi ringan, bersama saudara Ketua Senat periode 2007-2008 Syaifudin M Songyanan, diskusi yang membahas seputar realita saat itu bahwa mahasiswa (STIKOM) sudah tidak idealis, apatis, dan kapitalis. 
 Memang agak susah mencerna istilah-istilah yang semuanya berakhiran is itu. Namun sekedar iseng karna acap kali diteriaki dalam diskusi dam demonstran dengan istilah-istilah serba is, dimulai dari kamus besar bahasa indonesia ada lima kata yang berhubugan dengan kata idealis: ide, ideal, idealis, idealisme, idealistis. Kelimanya mempunyai induk kata bernama Ide, yang artinya gagasan atau pikiran, kemudian berkembang menjadi ideal: gagasan atau pikiran yang diinginkan, lalu idealis yang lebih kepada orang yang mempunyai gagasan atau pikiran itu, dan berkembang lagi menjadi idealisme: sebuah faham filsafat yang menganggap bahwa gagasan atau pikiran yang dinginkan tersebut merupakan hal yang benar, terakhir idalistis yang lebih menekankan kepada kata sifat untuk menuju ideal atau sifat menuju yang dicita citakan.
Merujuk arti kata di kamus itu, kiranya sedikit janggal bila kawan saya yang bilang bahwa “sekarang ini mahasiswa sudah tidak idealis.” Karna jika demikian arti pernyataan itu adalah: “sekarang ini mahasiswa sudah bukan orang yang memiliki gagasan dan pikiran. Atau bisa di artikan mahasiswa sekarang sudah tidak punya cita cita yang dinginkan.” Pertanyaan kemudian, benarkah demikian? Setiap manusia pasti punya ide (gagasan atau pikiran) dan pasti Ide itu suatu hal yang di cita-citakan (Ideal). Pun halnya dengan mahasiswa, sebagai manusia yang telah diberi kesempatan untuk belajar diperguruan tinggi tentunya mahasiswa mempunyai cita cita yang diinginkan atau gagasan dan pikiran.
Gagasan dan cita cita tersebut bisa sangat beragam bentuknya, salah satu contohnya adalah bila kita mengikuti misi yang dibuat oleh universitas, mahasiswa diharapkan dapat menyelesaikan studinya tepat waktu dan mempunyai indeks prestasi akademik yang sesuai standar. Hal ini samahalnya dengan keinganina dari orang tua dan keluarga kita, orang tua pasti akan mengharapkan anaknya dapat lulus tepat waktu dan kemudian bisa bekerja dengan penghasilan yang cukup. Tentu akan beragam hasilnya jika, setiap kepala mahasiswa di beri pertanyaan itu. Ada mahasiswa yang kuliah karena ingin cepat selesai, ada yang ingin bekerja dengan gaji yang layak, ada yang sekedar menuruti kemauan orang tua, dan lain sebagainya.
Artinya, kita yang mengugat banyaknya mahasiswa yang tidak idealis. Berarti sedang menyempitkan makna kata idealis itu sendiri, karna tidak setiap mahasiswa langsung setuju dengan makna idealis diskusi kami. Buntut penyempitan makna inilah yang kemudian memunculkan kelompok-kelompok dikalangan mahasiswa, yang selanjutnya melahirkan istilah, mahasiswa idealis dan mahasiswa apatatis. “Mahasiswa idealis adalah mereka yang kleim diri mereka benar, berjiwa besar, dan berjuang membawa perubahan demokrasi di kampus. sedangkan mahasiswa apatis adalah mereka yang masa bodoh, mahasiswa rumahan yang penurut dan penjilat di kalangan mahasiswa serta sengaja di buat apatis oleh akademisi. Kelompok ini  kemudian saling menjatuhkan satu sama lainnya dan saling acuh tak acuh”. sebuah tulisan yang perna menghiasi majalah dinding BEM STIKOM Muhammadiyah Jayapura yang ditulis oleh Bambang Retop saudara mantan ketua senat (sekarang Presiden Mahasiswa) BEM STIKOM periode 2008-2009.
Contohnya ketika gerakan mahasiswa (demonstrasi) pernah digerakan untuk mengkanter kebijakan lembaga tentang tingginya biaya pendidikan, kejelasan sumber-sumber biaya siswa bagi mahasiswa dan penerapan teknologi komunikasi yang sempat terjadi detlog dan berakhir dengan penyelesaian secara persuasif antara pihak lembaga dan pihak BEM. Kalangan yang menyebut dirinya idealis mengklim bahwa penyebab adanya detlog dalam gerakan mahasiswa yang berakhir pesuasif  adalah karena mahasiswa telah kehilangan jati dirinya sebagai social control dan agent of change. Sedangkan di warung kampus, para-para pinang,  atau di pojok gedung kuliah, model mahasiswa seksi, dan gaya berbusana terkini serta berbagai hal yang tidak membangun karakter mahasiswa menjadi topik obrolan.
Terlepas dari konflik yang terjadi, saya sependapat dengan pernyataan  pemateri (Kamris, 2008) dalam sebuah diskusi ilmiah Upgreding pengurus senat yang dilakukan BEM dimana ia mengatakan perbedaan yang terjadi dalam sebuah kehidupan organisasi adalah hal yang wajar, dan dinamika  (perbeadaan) ini harus kita melihatnya sebagai sesuatu yang positif karena sesungguhnya hanya perbedaan kawan berpikir. Menurut saya tak perlu ada sebutan sebutan seperti mahasiswa idealis dan lain sebagainya karena ukuran idealis atau ideal berbeda antar satu orang dengan orang yang lainya, ideal menurut saya belum tentu ideal menurut teman saya.
Akan tetapi yang terpenting tentang kata idealis adalah konsistensi, sejauh mana mahasiswa tersebut konsisiten dengan gagasannnya yang dianggapnya benar. Bila seorang mahasiswa menggangap bahwa berorganisasi, atau aktif dalam memperjuangkan nasib mahasiswa dan rakyat tanpa pamrih itu dianggapnya benar atau ideal maka ia akan melakukan hal tersebut sepenuh hati, tanpa harus merubah tujuannya walaupun banyak hal yang memaksanya untuk berubah. Dan bila seorang mahasiswa menganggap bahwa gaya hidup apatis itu sesuai dengan gagasan dan ideal menurut dia, kita tak perlu menaruh mereka di garis tidak idealis, karena sekali lagi ideal menurut kita belum tentu ideal menurut orang lain. SEMOGA