Rabu, 14 Mei 2014

Mahasiswa Memang Penuh Cerita

Oleh: Robertus Nauw 
Menyusuri kota jayapura pagi itu, seakan mengembalikan kenangan lamamu sebagai mahasiswa, apalagi saya hadir ditengah lingkungan seperti arama mahasiswa, sekertariat organisasi mahasiswa dan kos-kosannya teman-teman mahasiswa, siang itu melengkapi keberadaan saya yakni hadir di salah satu lingkungan kampus ternama di kota jayapura (USTJ) untuk membawakan materi gerakan dalam diskusi mereka. Saat itu sebelum materi saya sudah lebih dulu 1 jam di lingkungan kampus, mumpung semua panitia tidak tahu akan identitas diri saya, saya mencoba menilai kehidupan mereka lewat diskusi kecil di antara mereka.

Ketika seorang sahabat yang baru saja menjalani beberapa hari baru sebagai anak kos bercerita tentang harga maka siangnya serta kekuatannya menahan lapar, saya tertawa. Terulang ingatan pernah mengalami sindroma serupa. Nikmatnya bercinta tak sebanding dengan nikmatnya tahan lapar Bahkan ada salah satu asrama mahasiswa, yg dalam dinding kamarnya bertuliskan, Belajarla seolah esok pagi engkau mati. Membuat saya sedikit miris memaknai hal ini.


 Antara kreatif atau mencoba melihat jauh ke dalam isi hati para mahasiswa dan mahasiswi yang memang menjalani hidup secara “prihatin”.  Banyak kasus dalam mengiring hidup semasa menuntut ilmu mulai dari peras kawan lain, antar dagu cek jatwal kegiatan, semua punya alasan yakni 

untuk menghemat uang bulanan yang masih ditanggung orang tua atau terpaksa berpuasa jelang “tanggal tua”, menjadi pendorong utama banyak mahasiswa sering mendadak pelit pada diri sendiri dan kawan lain. Bahkan untuk sekedar mengeluarkan satu lembar uang ribuan dari dompet, mahasiswa kadang berhitung berulang kali lebih dulu.

Hal itu bisa diihat seperti banyak kawan yang mendadak menjadi pribadi yang pelit. Menjadi sangat perhitungan dalam memilih tempat makan. Sering menghitung-hitung dulu berapa yang akan dibayar jika makan di warung ternama, atau di warung dekat kampus, atau di warung dekat kos. Atau harus parkir menyapa gorengan terdekat yang selama ini ikut menyambung hidup.

Banyak mahasiswa berkunjung ke toko buku hanya untuk baca karena pelit, bahkan tidak segan-segan ada yang nekat mencuri

Sekali lagiSelain mahasiswa yang biaya hidup, SPP dan uang buku masih tercover
tak terlalu pusing menjaga lalu lintas dompet saja yang berani membeli walau itu senilai 30 ribu sampai 70 ribu, tentang buku-buku motifasi, puisi dan buku kumpulan kata bikak.

Menghemat uang bulanan memang bisa dilakukan dengan mengendalikan diri terhadap pemenuhan hobi seperti mengoleksi buku, jalan-jalan hingga “prihatin” menentukan menu makan sehari-hari.

Bagi mahasiswa, terutama yang menyandang status perantauan, terlebih lagi yang mengandalkan biaya pendidikan dari Beasiswa “Orang Tua”, hidup prihatin mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus ditempuh jika tak ingin merana. 

Sehingga mereka berpikir ektra seperti uang makan/jajan. dan pos lain yang perlu disiasati dengan berhemat seperti uang buku, hingga gaya hidup, biaya olah raga. 

Mayum seorang sahabat yang saya kenal saat berkunjung ke kos anjungan sorong, beberapa minggu lalu, sebelumnya mengatakan, “nasib mahasiswa sorong di kota jayapura terbilang, memprihatinkan karena tidak ada perhatian yang berarti dari pemerintah daerah asal mereka.” 

Memasak sendiri dengan memanfaatkan dapur di rumah kos atau membawa peralatan masak sederhana ke dalam kamar kos juga mengasikan. Ada beberapa rumah kos yang menyediakan dapur bersama untuk penghuninya. Dan saya beruntung tinggal di rumah kos yang pemiliknya mempersilakan dapur utama rumahnya untuk digunakan oleh anak-anak kos. Teman-teman saya pun sering memanfaatkannya untuk membuat sarapan pagi atau makan malam sederhana seperti nasi goreng, roti bakar atau mie rebus.

Ada juga yang memilih membeli kompor, alat penanak nasi berukuran kecil untuk ditaruh di kamarnya. Dispenser, raicuker dan cara ini diyakini bisa menghemat pengeluaran makan karena mereka hanya perlu membeli lauk atau sayur pelengkap.

sebuah warung sudut kawasan kampus USTJ jayapura yang menjadi tempat sarapan & makan siang favorit mahasiswa harganya yang murah & enak, Beberapa makanan instan dalam kemasan seperti mie instan, bubur instan dan aneka minuman instan, juga dapat menjadi pilihan untuk menghemat uang makan dan ongkos taksi dan buat biaya tugas. Meski harganya murah mulai dari 13 ribu sampai 17 ribu, sampai harga 1000 (gorengan) dan mengenyangkan namun makanan instan seperti ini perlu dibatasi karena kurang baik bagi tubuh jika dikonsumsi terus menerus. 

Namun sekali lagi demi hidup di rantauan dengan biaya ortu, biarkan saja perut yang atur kataku dalam hati sat nikmati nasih telur sedikit prekedel jagung dan kuku bima susu yang harganya mencapai Rp.20.000,- walau jatah makan siang dan ongkos transport saya sudah ditanggung aktivis mahasiswa ustj dari himpunan jurusan teknik sipil dan planologi fakultas FTSP, karena saya salah satu pemateri dalam acara diskusi public siang itu (10/5/14), tidak mengurangi hobi saya sebagai cerpenis yang sudah mendapat bahan untuk menulis. 

Yang saya amati Ternyata Jalinlah pertemanan dan persahabatan. selain mendukung kuliah ternyata bisa juga dimanfaatkan untuk membantu hidup irit. Setidaknya beberapa teman mengakui dan mengalaminya. Bukan rahasia lagi kalau dalam kehidupan kampus sering terbentuk grup-grup kecil di mana mahasiswa yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal akan cenderung mengelompok untuk urusan apapun. 

Di sinilah manfaat itu sering dirasakan. Bukan berarti adanya kelompok membuat mahasiswa bisa seenaknya meminjam uang kepada teman, bagaimanapun kebiasaan meminjam uang adalah sesuatu yang kurang baik dan merugikan diri sendiri. Tapi harus diakui bahwa dalam sebuah geng mahasiswa selalu ada satu atau beberapa orang yang suka mentraktir temannya. Manfaat ini makin terasa jika ada mahasiswa berotak encer berteman baik dengan mahasiswa yang kecerdasannya pas-pasan tapi keuangannya lancar. Namun sekali lagi ini bukan alasan untuk  memilih – memilih teman apalagi memanfaatkan orang lain. 

“topic yang siang itu menjadi bahan diskusi mahasiswa sebelum memulai materi serius dalam diskusi siang itu adalah. Apa beda mahasiswa dan tukang ojek? Ternyata banyak mahasiswa menjawab kalau tukang ojek jari uang, mahasiswa cari ilmu, ada yang bilang tukang ojek makannya nasi ayam, mahasiswa mahanya nasi supermi, ada yang bilang mahasiswa tidak ada uang, tukang ojek banyak uang, bahkan ada yang bilang tukang ojek banyak uang tapi mereka tidak mabuk, sedangkan mahasiswa sudah tidak ada uang (patungan) namun mereka tukang mabuk.” Diskusi kecil ini member banyak manfaat terantung yang mau memaknainya. Namun menurut saya

“Soala apa perbedaan mahasiswa dengan tukang ojek, itu hanya soal tertip adminstrasinya, yakni terdaftar di suatu perguruan tinggi. Kalau tukang ojek juga terdaftar berarti sama juga haknya sebagai mahasiswa begitupun sebaliknya.” 

Soal puasa saya jagokan mahasiswa:
mahasiswa bisa diandalkan soal puasaa, selain  dalam urusan memperkuat ibadah, beberapa teman mahasiswi di kampus ternyata menjadikan puasa Senin-Kamis sebagai bagian kebiasaan dan upaya menghemat uang taksi dan uang buat tugas. Terutama bagi yang kampusnya lumayan jauh dari kampus.

Menghemat uang makan bulanan juga dapat direncanakan sedari awal dengan memilih kos yang tidak terlalu mahal. Namun biasanya kos-kos dengan harga miring letaknya agak jauh dengan kampus sehingga pengeluaran untuk transportasi perlu dipertimbangkan dan bersepeda menjadi pilihan banyak mahasiswa saat ini. 

Memilih kos murah juga berarti harus siap hidup dengan kondisi fasilitas yang terbatas karena tidak semua rumah kos memiliki suasana lingkungan yang nyaman dan bersih. Seperti yang terlihat di kos adik saya di seputaran kamkei marten luter. 8 kamar kos 1 rungan tidur tanpa dapur, dengan jumlah penghuni lebih dari 26 orang hanya antri untuk mandi, cuci dan kakus (MCK). Namun sekali agi ini soal irit. 

Bahkan beberapa topik yang hangat didiskusikan beberapa kaum pria soal Pengendalian diri dalam bentuk lain juga perlu dipertimbangkan oleh mahasiswa yang ingin belajar bijak mengelola keuangannya. Mungkin terdengar aneh dan ketinggalan zaman, namun menahan godaan untuk berpacaran di bangku kuliah sedikit banyak bisa membantu mahasiswa berhemat. Tentu bukan berarti menolak jodoh jika memang datang di bangku kuliah. Terbukanya wawasan dan pergaulan membuat kita bisa berjumpa dengan banyak orang termasuk mungkin belahan jiwa. 

Tapi bukan rahasia lagi karena faktor gengsi atau yang lainnya, banyak mahasiswa yang berpacaran dengan memaksakan kondisi diri sendiri terutama kondisi keuangan. Meski banyak juga yang bisa mengelola hubungan dengan memaksimalkan sisi baik dan sehat untuk mendukung kuliah. Namun jika yang terjadi sebaliknya, berpacaran hanya membuat seorang mahasiswa menjadi lebih boros, hal itu pantas dipertimbangkan. “wah jadi ingat, tugas penelitian saya (wajah mahasiswa yang rusak sebelah) yang dipublikasi di madding kampus waktu semasa kuliah STIKOM Muhammadiyah Jayapura 2009 lalu” 

Sebuah nasihat bijak berkata : “Tak usah takut terlihat miskin karena hanya orang yang tidak takut terlihat miskin yang akan merasakan banyak manfaat hidup dibanding mereka yang ingin terlihat kaya padahal tidak punya alias tergantung di milik orang”

Sulitkah mungkin iya, tapi nyatanya banyak mahasiswa yang sanggup menjalaninya. Dan meski berhemat, bukan alasan untuk tak bisa berbagi. Walau berhemat bukan berarti kikir dan tidak menghargai diri…hahahaa……menjadi mahasiswa memang penuh cerita. (*)