Oleh: Robertus Nauw
Menyusuri
kota jayapura pagi itu, seakan mengembalikan kenangan lamamu sebagai mahasiswa,
apalagi saya hadir ditengah lingkungan seperti arama mahasiswa, sekertariat
organisasi mahasiswa dan kos-kosannya teman-teman mahasiswa, siang itu
melengkapi keberadaan saya yakni hadir di salah satu lingkungan kampus ternama
di kota jayapura (USTJ) untuk membawakan materi gerakan dalam diskusi mereka.
Saat itu sebelum materi saya sudah lebih dulu 1 jam di lingkungan kampus,
mumpung semua panitia tidak tahu akan identitas diri saya, saya mencoba menilai
kehidupan mereka lewat diskusi kecil di antara mereka.
Ketika
seorang sahabat yang baru saja menjalani beberapa hari baru sebagai anak kos
bercerita tentang harga maka siangnya serta kekuatannya menahan lapar, saya
tertawa. Terulang ingatan pernah mengalami sindroma serupa. Nikmatnya
bercinta tak sebanding dengan nikmatnya tahan lapar Bahkan
ada salah satu asrama mahasiswa, yg dalam dinding kamarnya bertuliskan, Belajarla
seolah esok pagi engkau mati. Membuat
saya sedikit miris memaknai hal ini.
Antara kreatif atau mencoba melihat jauh ke
dalam isi hati para mahasiswa dan mahasiswi yang memang menjalani hidup secara
“prihatin”. Banyak kasus dalam mengiring
hidup semasa menuntut ilmu mulai dari peras kawan lain, antar dagu cek jatwal
kegiatan, semua punya alasan yakni
untuk menghemat uang bulanan yang
masih ditanggung orang tua atau terpaksa berpuasa jelang “tanggal tua”, menjadi
pendorong utama banyak mahasiswa sering mendadak pelit pada diri sendiri dan
kawan lain. Bahkan untuk sekedar mengeluarkan satu lembar uang ribuan dari
dompet, mahasiswa kadang berhitung berulang kali lebih dulu.
Hal itu bisa diihat seperti banyak
kawan yang mendadak menjadi pribadi yang pelit. Menjadi sangat perhitungan
dalam memilih tempat makan. Sering menghitung-hitung dulu berapa yang akan
dibayar jika makan di warung ternama, atau di warung dekat kampus, atau di
warung dekat kos. Atau harus parkir menyapa gorengan terdekat yang selama ini
ikut menyambung hidup.
Banyak mahasiswa berkunjung ke toko buku
hanya untuk baca karena pelit, bahkan tidak segan-segan ada yang nekat mencuri
Sekali lagiSelain mahasiswa yang biaya hidup, SPP
dan uang buku masih tercover
tak terlalu pusing menjaga lalu lintas
dompet saja yang berani membeli walau itu senilai 30 ribu sampai 70 ribu,
tentang buku-buku motifasi, puisi dan buku kumpulan kata bikak.
Menghemat uang bulanan memang bisa
dilakukan dengan mengendalikan diri terhadap pemenuhan hobi seperti mengoleksi
buku, jalan-jalan hingga “prihatin” menentukan menu makan sehari-hari.
Bagi mahasiswa, terutama yang
menyandang status perantauan, terlebih lagi yang mengandalkan biaya pendidikan
dari Beasiswa “Orang Tua”, hidup prihatin mau tidak mau, suka atau tidak suka,
harus ditempuh jika tak ingin merana.
Sehingga mereka berpikir ektra seperti
uang makan/jajan. dan pos lain yang perlu disiasati dengan berhemat seperti
uang buku, hingga gaya hidup, biaya olah raga.
Mayum seorang sahabat yang saya kenal
saat berkunjung ke kos anjungan sorong, beberapa minggu lalu, sebelumnya mengatakan, “nasib mahasiswa
sorong di kota jayapura terbilang, memprihatinkan karena tidak ada perhatian
yang berarti dari pemerintah daerah asal mereka.”
Memasak sendiri dengan memanfaatkan
dapur di rumah kos atau membawa peralatan masak sederhana ke dalam kamar kos
juga mengasikan.
Ada beberapa rumah kos yang menyediakan dapur bersama untuk penghuninya. Dan
saya beruntung tinggal di rumah kos yang pemiliknya mempersilakan dapur utama
rumahnya untuk digunakan oleh anak-anak kos. Teman-teman saya pun sering
memanfaatkannya untuk membuat sarapan pagi atau makan malam sederhana seperti
nasi goreng, roti bakar atau mie rebus.
Ada juga yang memilih membeli kompor, alat
penanak nasi berukuran kecil untuk ditaruh di kamarnya. Dispenser, raicuker dan
cara ini diyakini bisa menghemat pengeluaran makan karena mereka hanya perlu
membeli lauk atau sayur pelengkap.
sebuah warung sudut kawasan kampus USTJ
jayapura yang menjadi tempat sarapan & makan siang favorit mahasiswa harganya
yang murah & enak, Beberapa makanan instan dalam kemasan seperti mie
instan, bubur instan dan aneka minuman instan, juga dapat menjadi pilihan untuk
menghemat uang makan dan ongkos taksi dan buat biaya tugas. Meski harganya
murah mulai dari 13 ribu sampai 17 ribu, sampai harga 1000 (gorengan) dan
mengenyangkan namun makanan instan seperti ini perlu dibatasi karena kurang
baik bagi tubuh jika dikonsumsi terus menerus.
Namun sekali lagi demi
hidup di rantauan dengan biaya ortu, biarkan saja perut yang atur kataku dalam
hati sat nikmati nasih telur sedikit prekedel jagung dan kuku bima susu yang
harganya mencapai Rp.20.000,- walau jatah makan siang dan ongkos transport saya
sudah ditanggung aktivis mahasiswa ustj dari himpunan jurusan teknik sipil dan
planologi fakultas FTSP, karena saya salah satu pemateri dalam acara diskusi
public siang itu (10/5/14), tidak mengurangi hobi saya sebagai cerpenis yang
sudah mendapat bahan untuk menulis.
Yang saya amati Ternyata Jalinlah pertemanan dan persahabatan.
selain mendukung kuliah ternyata bisa juga dimanfaatkan untuk membantu hidup
irit. Setidaknya beberapa teman mengakui dan mengalaminya. Bukan rahasia lagi
kalau dalam kehidupan kampus sering terbentuk grup-grup kecil di mana mahasiswa
yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal akan cenderung mengelompok untuk
urusan apapun.
Di sinilah manfaat itu sering dirasakan. Bukan berarti adanya
kelompok membuat mahasiswa bisa seenaknya meminjam uang kepada teman,
bagaimanapun kebiasaan meminjam uang adalah sesuatu yang kurang baik dan
merugikan diri sendiri. Tapi harus diakui bahwa dalam sebuah geng mahasiswa
selalu ada satu atau beberapa orang yang suka mentraktir temannya. Manfaat ini
makin terasa jika ada mahasiswa berotak encer berteman baik dengan mahasiswa
yang kecerdasannya pas-pasan tapi keuangannya lancar. Namun sekali lagi ini
bukan alasan untuk memilih – memilih teman apalagi memanfaatkan orang
lain.
“topic yang siang itu
menjadi bahan diskusi mahasiswa sebelum memulai materi serius dalam diskusi
siang itu adalah. Apa beda mahasiswa dan tukang ojek? Ternyata banyak mahasiswa
menjawab kalau tukang ojek jari uang, mahasiswa cari ilmu, ada yang bilang tukang
ojek makannya nasi ayam, mahasiswa mahanya nasi supermi, ada yang bilang
mahasiswa tidak ada uang, tukang ojek banyak uang, bahkan ada yang bilang
tukang ojek banyak uang tapi mereka tidak mabuk, sedangkan mahasiswa sudah
tidak ada uang (patungan) namun mereka tukang mabuk.” Diskusi kecil ini member
banyak manfaat terantung yang mau memaknainya. Namun menurut saya
“Soala apa perbedaan
mahasiswa dengan tukang ojek, itu hanya soal tertip adminstrasinya, yakni
terdaftar di suatu perguruan tinggi. Kalau tukang ojek juga terdaftar berarti
sama juga haknya sebagai mahasiswa begitupun sebaliknya.”
Soal
puasa saya jagokan mahasiswa:
mahasiswa bisa diandalkan soal puasaa,
selain dalam urusan memperkuat ibadah, beberapa teman mahasiswi di kampus
ternyata menjadikan
puasa Senin-Kamis sebagai bagian kebiasaan dan upaya menghemat uang taksi dan
uang buat tugas. Terutama bagi yang kampusnya lumayan jauh dari kampus.
Menghemat uang
makan bulanan juga dapat direncanakan sedari awal dengan memilih kos yang tidak
terlalu mahal. Namun biasanya kos-kos dengan harga miring letaknya agak
jauh dengan kampus sehingga pengeluaran untuk transportasi perlu
dipertimbangkan dan bersepeda menjadi pilihan banyak mahasiswa saat ini.
Memilih kos murah juga
berarti harus siap hidup dengan kondisi fasilitas yang terbatas karena tidak
semua rumah kos memiliki suasana lingkungan yang nyaman dan bersih. Seperti
yang terlihat di kos adik saya di seputaran kamkei marten luter. 8 kamar kos 1
rungan tidur tanpa dapur, dengan jumlah penghuni lebih dari 26 orang hanya
antri untuk mandi, cuci dan kakus (MCK). Namun sekali agi ini soal irit.
Bahkan beberapa topik yang
hangat didiskusikan beberapa kaum pria soal Pengendalian diri dalam bentuk lain
juga perlu dipertimbangkan oleh mahasiswa yang ingin belajar bijak mengelola
keuangannya. Mungkin terdengar aneh dan ketinggalan zaman, namun menahan godaan untuk berpacaran di
bangku kuliah sedikit banyak bisa membantu mahasiswa berhemat.
Tentu bukan berarti menolak jodoh jika memang datang di bangku kuliah.
Terbukanya wawasan dan pergaulan membuat kita bisa berjumpa dengan banyak orang
termasuk mungkin belahan jiwa.
Tapi bukan rahasia lagi
karena faktor gengsi atau yang lainnya, banyak mahasiswa yang berpacaran dengan
memaksakan kondisi diri sendiri terutama kondisi keuangan. Meski banyak juga
yang bisa mengelola hubungan dengan memaksimalkan sisi baik dan sehat untuk
mendukung kuliah. Namun jika yang terjadi sebaliknya, berpacaran hanya membuat
seorang mahasiswa menjadi lebih boros, hal itu pantas dipertimbangkan. “wah
jadi ingat, tugas penelitian saya (wajah mahasiswa yang rusak sebelah) yang
dipublikasi di madding kampus waktu semasa kuliah STIKOM Muhammadiyah Jayapura
2009 lalu”
Sebuah nasihat bijak berkata : “Tak usah takut terlihat miskin karena
hanya orang yang tidak takut terlihat miskin yang akan merasakan banyak manfaat
hidup dibanding mereka yang ingin terlihat kaya padahal tidak punya alias
tergantung di milik orang”.
Sulitkah mungkin iya, tapi nyatanya
banyak mahasiswa yang sanggup menjalaninya. Dan meski berhemat, bukan alasan
untuk tak bisa berbagi. Walau berhemat bukan berarti kikir dan tidak menghargai
diri…hahahaa……menjadi mahasiswa memang penuh cerita. (*)