Kamis, 04 Juni 2015

BAHAYA LATEN "PEMALANGAN" BERKEDOK SARA ANCAM SORONG

Sorong, Jubi – Para pemecah batu di kawasan belakang Pasar Bersama Kota Sorong Papua Barat menyayangkan lambannya proses penanganan kisruh pemecah batu dan kelompok yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat di kawasan tersebut, yang telah berlangsung selama 10 tahun terakhir.

“Proyek masyarakat pekerja pemecah batu di lokasi GOR Sorong, yang dipalang sampai dengan hari ini, sudah satu tahun dua bulan masyarakat sudah tidak bekerja akibat situasi dan ketidak nyaman ini,” ujar Ketua Lembaga Intelektual Tanah Papua Kota Sorong, Robertus Nauw Kepada Jubi, Kamis (4/6/2015).
Menurut Nauw, kronologis pemalangan ini sendiri tidak masuk akal, mengingat lokasi proyek yang sudah digarap sejak akhir1962 ini adalah tanah sah milik warga, dikelola puluhan tahun sebelum warga pengungsi menempati daerah itu.

Menurut Robertus Nauw, masyarakat pemecah batu tidak pernah bemasalah dengan pemerintah, apalagi pihak non Papua di lokasi tersebut, justru sebaliknya pihak Malibela dan kerabatnya yang mengaku sebagai pemilik tanah yang secara terorganisir melakukan hal-hal tidak wajar.

“Hingga kini, belum ada penjelasan kepada masyarakat pekerja, terutama posisi kepemilikan tanah adat. Setidaknya pihak LMA Malamoi secara adat bersama pemerintah harus membuktikan kepemilikan tanah sekitar Pasar Bersama, apakah milik keluarga Malibela walau memiliki ras campuran dan menggunakan keret atau marga ibunya,” ujar Nauw.
Header advertisement
Sementara itu mewakili para pemecah Batu, Benoni Nakon mengatakan mereka menyarankan pihak Polresta dan pihak Wali Kota Sorong menyelesaikan dulu persoalan internal antara keluarga Malibela sebagai pemilik tanah adat di lokasi Pasar Bersama antara pemerintah dan pemilik tanah adat karena pasar kini tidak diurus.

“Kenapa harus memanfaatkan isu SARA atau kriminal murni pada 21 April 2014 lalu, untuk palang lokasi dan dilakukan tengah malam pukul 23.30 WIT lokasi di RT 03, RW 05 Kelurahan Malabutor Distrik Sorong Manoi Kota Sorong. Saat itu sekelompok massa bertindak secara babi buta membakar 20 rumah gudang penyimpanan alat-alat kerja serta kayu bakar milik 52 kepala keluarga di lokasi itu” ujarnya.

Menurut Benoni Nakon, sebenarnya ini masalah mereka, karena tidak ditanggapi oleh pemerintah, keluarga Malibela mencoba melibatkan kerabat mereka dari garis keturunan ayahnya untuk pamalangan ini.
Warga sudah dua kali mendatangi kantor Wali Kota Sorong, lalu bertemu pihak distrik, Lurah, LMA, dan Polresta Sorong. Namun persoalan utama masyarakat tidak dibahas , yang dibahas pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah adat.

“Hal ini jelas merugikan masyarakat. Jadi pemerintah tolong tegas dalam menyelesaikan masalah ini, karena masyarakat juga telah membayar secara adat kepada pihak lembaga adat Malamoi dengan kain timur 46 potomg, kain kepala seharga 60 juta rupiah, dan uang tunai Rp 12 juta, disaksikan oleh pihak LMA,” ujar Robertus Nauw.

Sepengetahuannya, pihak LMA telah melakukan pembagian batas tanah garapan antara masyarakat pekerja pemecah batu gunung dengan pihak pemerintah Kota Sorong untuk digunakan pembangunan Pasar Bersama.

“Sudah jelas tapal batasnya, masyarakat miliki hak penuh untuk tanah di wilayah gunung, sedangkan keluarga Malibela dan pihak pemerintah miliki tanah di lokasi pasar, jadi jangan mencaplok dan melarang aktivitas warga disana,” ujar Nauw.
\
Menurutnya, kerugian masyarakat seperti rumah, kayu bakar dan tanaman jangka panjang yang ditebang dan dibakar setahun lalu, jika ditotalkan mencapai Rp 400 juta. namun masyarakat tidak menuntut ganti rugi ke pemerintah, tetapi masyarakat pemecah batu justru ikut memfasilitasi pemerintah dan pihak polres dengan memberikan uang sebesar Rp 10 juta dari total Rp 25 juta yang dijanjikan untuk mengurus kasus ini.

“Jadi tolong pemerintah serius, apalagi pelaku pemilik tanah (Almarhum Nyong Malibela) akhir tahun 2014 lalu ditemukan tewas, ini jelas berbahaya karena pihak polres dan pihak wali kota harus melihat hal ini secara serius, agar bisa meminimalisir prasangka buruk kepada para pekerja,” ujar Nauw. Ia berharap, Kapolda Papua Barat segera memfasilitasi masalah ini.(Niko MB).

sumber: (http://tabloidjubi.com/2015/06/06/pemkot-dan-polres-sorong-kota-dinilai-lamban-tangani-kisruh-pemecah-batu/)