Nama
saya Saidah Merin, anak papua moi asal kampung asbaken, slama ini ku jalani hari dengan
senang hati, di kampung pesisir distrik makbon. Sebuah kampung yang terletak
jauh dari keramaian dan bisingnya kota, kehidupan di kampung ini sangat tentram
kebersamaan antar warga baik muslim papua dan Kristen papua di sini sangat
harmonis. Lihat saja musola dan gereja di kampung kami berdiri berdampingan, memberi
symbol keharmonisan dijaga secara alami oleh kicauan burung dan deruhnya ombak serta
di jaga oleh gugusan gunung menjadi teman di kesunyian terlepas dari tradisi
leluhur dan tetuah adat dalam menjaga kampung halaman ini.
Di kampung
halaman kami ada beberapa fasilitas pelayanan publik yang parah seperti pustu yang tidak ada obat dan tenaga medis, terlepas
dari itu lembaga agama sangat kuat, salah satunya lembaga gereja Kristen injili
di tanah papua, jemaat Ebenhaezer yang memiliki
satu-satunya sekolah binaan di desa kami. Yakni SD YPK Ebenhaezer Asbaken,
sekolah dimana aku duduk sebagai murit kelas satu.
Saya
bersyukur pelayanan di sekolah kami tidak senasib dengan pos pelayanan
kesehatan pembantu (pustu), karena sekolah kami sudah ada perbaikan gedung
sudah dua tahun ini, yang tadinya sekolahku kena banjir saat musim penghujan
dan longsoran tanah dari gunung sejak ferbuari 2014 silam.
Di sekolah
inilah anak satu-satunya di keluarga, yang hanya hidup bersama nenek dan mama sejak
diterlantarkan oleh ayah sejak kecil, tidak mengurung niatku untuk menimbah
ilmu, siswa kelas satu (1) yang baru beranjak ke kelas dua (2) ini tetap tabah menjalani hidup walau orang tua bekerja di kebun dengan
menogok sagu dan nelayan, untuk menyekolahkan aku.
Rata-rata
masyarakat di kampung tdak mempunyai pengahsilan, yang tetap hanyalah
mengharapkan hasil kebun dan laut, terkadang mama ikut kerja jika ada proyek
buruh di kampung. Entah, kapan kehidupan ekonomi di kampungku akan maju, namun
aku tidak pantang menyerah untuk tetap terus sekolah, untuk mengejar
cita-citaku, aku ingin menjadi suster supaya kelak bisa membantu warga di sini
sekaligus bisa menambah perekonomian keluaragaku.
Tantangan
terberat di sekolah kami adalah efek gunung merah, di balik sekolah gunung yang
selalu longsor kala hujan, hal ini yang membuat guruh menjadi susah karena
rumah guru sering kemasukan matrial akibat
longsor dan masuk ke dalam rumah guru.
Hal ini yang membuat warga ikut
prihatin dan mencari solusi untuk selesaikan masalah ini, keputusan sementara guru-guru
direlokasi tinggal di rumah warga, ada tiga guruh di kampungku dan mereka semua
tinggal satu rumah dengan kepala sekolah, “kami bersyukur masih ada guru yang betah
tinggal di kampung dan mau mengajari kami membaca, menulis dan berhitung.” Kata
ibunda Merin
Sementara
itu menurut beberapa orangtua siswa dalam beberapa kesempatan yang kami dengar,
anak-anak mereka di rumah juga sudah semakin rajin belajar dan bersemangat
untuk sekolah “Sa pu anak pulang dari sekolah itu macam trada beban, mereka
selalu semangat menyanyi eja huruf dan banyak bercerita setelah sekolah di sini menajdi target program baca
tulis dari UNICEF.” Ujar ibu merin
Sebagai
orangtua kita harus syukuri itu karena
lewat tangan-tangan mereka, sehingga anak-anak belajar dengan cara yang menarik.
Sebagai orang tua kita selalu berdoa semoga anak-anak kami kelak bisa baca,
tulis dan menghiitung supaya mereka rajin belajar, agar kelak kita usahakan
mereka harus terus sekolah sampai ke perguruan tinggi.
Kami
tidak perna menyerah sebelum cita-cita
ini tercapai, karena bangun papua sudah tidak ada cara lain, kita bangun
harapan agar anak-anak harus sekolah.
Informasi Penulis:
Nama : Sarjono
Nomor HP : 085197197442
Alamat email :