Oleh: Bertha Nengkeula
Seiring mentari mulai tenggelam di balik laut, tampak sosok
perempuan menggenggam erat buku di tangan kiri dan memegang erat seorang anak
di tangan kanan saat melangkah pulang dari arah bibir pantai kampung
malaumkarta, melangkah menuju perkampungan, melangkah pulang dengan nyanyian
rindu akan kampung halaman, beberapa anak meloncat denga riang dalam perjalanan
senja itu. Rupanya mereka usai belajar tambahan (les) di tepi pantai, dengan
wajah gembira sehingga mereka berangkat pulang ke perkampungan pun dengan riang.
Sosok perempuan dengan buku di tangan ini adalah “Bu Guru”
sapaan akrap anak-anak bagi seorang guru honor di desa atau kampung mereka,
yakni ibu Wehelmina Rosita Su, S.Pak, ibu dengan tiga orang anak ini, berdomisili
di kampung Malaumkarta. Setelah menamatkan sekolah dasarnya di Malaumkarta, Ia melanjutkan
sampai sarjana guru agamanya ke Kota Sorong.
Karena merasa peduli pada generasi penerus di kampungnya,
Ia kembali mengabdi dengan menjadi guru honor di SD Negeri 02 Malaumkarta, Kabupaten
Sorong walau dibayar dengan honor kecil sejak 2013 sampai sekarang. Ibu Ros adalah
guru agama Kristen dan guru kesenian di SMP Malaumkarta, namun karena
kekurangan guru kelas di sekolah dasar dan ia dianggap mampu diberikan
kesempatan sebagai guru honor di SD Negeri 02 Malaumkarta.
Terlepas dari tugas beliau sebagai ibu rumah tangga,
tenaga pendidik, bendahara desa, pelatih seni tari di desa, dan juga sebagai pengasuh sekolah minggu di gereja
serta menjabat sebagai relawan pendidikan kampung malaumkarta, tak perna
menyurutkan semangatnya, sebuah rutinitas yang tampak rumit ini dijalaninya
dengan sebuah tanggungjawab yang besar.
Beberapa tahun lalu, perna kepala kampung sedang
berhalangan, Ibu Ros beberapa kali bersama pengurus di desa, mengumpulkan warga
untuk musyawarah. Membahas masalah pendidikan, ekonomi desa dan kerukunan antar
sesama warga. Selain mengajar literasi baca tulis, relawan ini juga mengumpulkan anak-anak dan pemuda di desa ini menjaga
dan melestarikan tarian dan lagu daerah suku mereka yakni suku Moi, hal itu ia
sudah lakukan secara individu sebelum ditunjuk sebagai relawan secara resmi
oleh tim STKIP.
Dengan adanya pencarian relawan pendidikan di desa, sebagai
relawan dirinya mengkordinasikan ke pelatih mentor dan hal ini menjadi
perhatian STKIP dan UNICEF untuk ikut memberI ruang bagi anak-anak dalam
menampilkan bakat meraka dalam hal menari dan menyanyi lagu-lagu adat mereka
dalam, kreasi tarian guna tetap melestarikan budaya suku mereka sebagai wujud
identitas mereka secara sub terkecil secagai orang papua. Bahkan beberapa kali
anak-anak di kampung ini mampu tampil bersama grup tari mereka pentas ke luar daerah.
Jiwa seperti Ibu Ros harus diapresiasi, Ia mampu
mengumpulkan anak-anak yang belum mampu membaca dan menulis dengan baik, bukan cuma
anak-anak kelas awal, tetapi juga mengajar anak-anak SMP yang kesulitan dalam
membaca dan menulis serta memiliki bakat mendorong anak-anak belajar kreasi
lain seperti menari dan menyanyi inilah yang membuat kami pelatih kalster
makbon putuskan pilihan bersama kepala sekolah untuk merekrut beliau sebagai
relawan UNICEF di SD Negeri 02 Malaumkarta, ketika sebagai relawan pendidikan,
untuk membantu program literasi.
Ibu Ros Dimata pimpinan kepala sekolahnya ia termasuk
orang baik, yang ikut membantu Ibu Bunga Walli, Kepala sekolahnya saat ini sebagai
pimpinan saya sangat bangga dan berterima kasih kepadanya, karena menurut
beliau
“Ibu Su sangat
membantu menuntaskan kekurangan baca tulis, kepada anak kelas awal, di kampung
ini” ujar Ibu Walli disela-sela kampanye pendidikan di malaumkarta 9 MEI lalu
Tempat dimana ia memberikan pembelajaran tambahan untuk
besok selalu berganti tergantung kesepakatan anak-anak yang hadir dalam kegiatan
belajar tambahan, kadang di ruang SMP, di rumah ibu ros, di halaman rumah
teman, di bawah pohon bahkan perna belajar di tepi pantai, dan selain
mengajarkan anak-anak untuk musyawarah mufakat, dalam hal memberi pilihan tempat
ia selalu menjelaskan tentang nilai estetika atau keindahan, dalam memilih
lokasi belajar, juga ia memperhatikan sisi ketenangan.
Jika anak-anak sudah bisa membaca dan mengenal huruf,
tentu meringankan beban anak-anak dalam belajar, juga meringankan tugas guru
kelas. Alasan dirinya menanamkan benih kebaikan seperti ini, cuma satu hanya
untuk kesenangan batin.
Sebagai seorang ibu tiga orang anak, bekerja, berkorban, waktu
tenaga dan pikiran tanpa dibayar sepeserpun, namun ia tetap komitmen mengajar.
Karena bangga melihatb anak-anak berhasil membaca dan menulis, Terima kasih
buat Unicef dan STKIP yang mau Menghargai usaha kecil kami dalam memajukan
pendidikan di desa, dsehingga mempekerjakan kami sebagai relawan saja kami
sudah bangga.
“Terima kasih atas program literasi ini, kemampuan anak-anak soal
baca tulis dapat di ukur, apalagi adanya dukungan kehadiran pelatih di lapangan
bersama kami.” Kata Ibu Ros berharap di akhir program ini akan berhasil manis
dan kelak semua metode yang telah ditinggalkan kepada kami sebagai bekal yang
berharga buat generasi emas papua yang diimpikan 50 tahun yang akan datang. Apalagi
perlombaan merangkai kata, kegiatan gambar dan menceritakan gambar, tebak kata
dan baca puisi adalah rangkaian kegiatan pekan gemilang seperti ini mungkin
akan diingat oleh anak-anak sampai mati.