Rabu, 01 Juni 2016

Bahasa-Bahasa Sosialis Generasi Muda Papua Terkini



(Catatan Pdt. Benny Giay)

Majalah Beko - Berikut catatan Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Pdt. Benny Giay yang diliris di dinding Facebook-nya, Senin (25/4).

Beberapa tahun belakangan ini, para mahasiswa / pemuda Papua mulai beranikan diri gunakan bahasa-bahasa baru untuk menjelaskan pandangan politik dan masalah yang menyekitari dirinya. Mereka memliki websites sendiri dan ungkapan bahasa-bahasa sendiri, seperti proletariat, kapitalis, buruh, sosialis, atau gunakan ‘Lenin’ untuk nama account Facebook, dll.

Media sosial mereka gunakan untuk perkenalkan diri dan semangatnya. Apakah yang sedang terjadi di sini? Siapa mereka ini? Apa agendanya?

Pertama: Saya kira, kita harus lihat posisi sosial mereka yang wacanakan istilah-istilah itu. Mereka yang mulai gunakan kata-kata itu adalah anak muda; yang lahir & besar di masyarakat Papua yang sudah jadi korban dari kebijakan daerah operasi militer (DOM) tahun 1980-an; yang belakangan menemukan dirinya masih ditawan sistem yang telah memenjarakan generasi Papua sebelumnya.

Walaupun mereka ini punya harapan pada akhir 1990-an, bahwa "semua akan berakhir dengan reformasi & dengan lahirnya PDP (Presidium Dewan Papua)". Tetapi, yang terjadi selanjutnya, setelah konggres dan PDP yang tamat riwayatnya. Sehingga, Papua memasuki tahun 2000 & selanjutnya berhadapan kembali dengan tembok Berlin militerisme yang sama. Bintang Kejora belum bersinar. Papua masih di bawah Firaun Indonesia modern.

Kedua: Dalam konteks itu, kelompok pemuda ini keluar dengan wacana dan bahasa seperti begitu, tetapi mereka tidak sendiri. Ada kelompk kedua: kelompok Sion Kids yang dipimpin Marten Su. Marten Su dari kelompok ini terkena umpan Intel Kopasus yang ganggu dirinya, dkk lewat "sebuah diktat". Diktat ini, kata kelompok ini, bongkar "pembohongan yang dilakukan oleh gereja sepanjang sejarah".

Gereja di mata kelompok Marten Su dkk, selama ini membohongi umatnya dengan mengembangkan ajaran yang keluar dari "akar Yahudian-nya”. Sehingga, Sion Kids terpanggil siasati kebohongan gereja tadi. Mereka ini pegang ajaran "siapa berkati Israel akan diberkati”. “Supaya dibimbing Tuhan ke tanah pembebasan, bangsa Papua harus kembali ke akar ke-Yahudian Agama Kristen,” kata pengikut Sion Kids.

Dalam semangat ini kelompok ini mulai gunakan "Salom Elohim" untuk menyapa Allah di gereja dan di masyarakat. Mereka mengaku "Yesus tidak bangkit". Mereka (kelompok ini) minta bangsa Papua harus ganti BK "Bendera Bintang Kejora" dengan "Bintang Daud", simbol Negara Yahudi modern.

Ketiga: Hanya saja, kelompok ini sama dengan kelompok sebelumnya (kelompok sosialis), dalam arti tidak punya dasar pengetahuan Alkitab atau marxis atau Alkitab. Apa yang disuarakan mereka hanya pengetahuan awam atau anak SMA (untuk gagasan tentang sosialis atau marxis) dan Alkitab (bagi kaum Sion Kids yang termakan umpan dari pensiunan kopasus tadi).

Keempat: Sepak terjang kedua kelompok di atas ini sebenarnya hanya melanjutkan dinamika generasi sebelumnya yang siasati tembok Berlin kekerasan tahun-tahun 1970-an & 1980-an dengan cara menghidupkan kembali aspek-aspek tertentu dari pandangan agama asli Melanesia, teristimewa harapan-harapan "jaman bahagia" dalam asli agama Pasifik; agama yang sudah ada sebelum kontak dengan dunia luar dan berinteraksi dengan agama Kristen. Artinya, gerakan generasi tahun 1970-an & 1980-an menyikapi kekerasan negara dekade itu jadikan "agama Melanesia" tadi sebagaimana dilansir Peter Worsley: "The Trumpet Shall Sound" atau Peter Lawrence: "The Road Belong Cargo" dan atau "koreri" yang ditulis Dr. Kamma, utusan Injil Belanda yang berkarya di tanah Papuan tahun-tahun 1950-an.

Kongkritnya, kelompok yang mendahului ke-2 kelompok tadi ialah gerakan Mesianis atau gerakan "jaman bahagia" dengan agenda kesejahteraan dan politik pembebasan Papua; yang kongkritnya bisa kita lihat di Abepura di awal tahun 1990-an, dengan hadirnya kelompok baru dengan semangat untuk rebut PT Freeport dan bagi semua hasilnya kepada masyarakat secara free; tanpa pandang bulu.

Kelima: Sepak terjang ketiga kelompok tadi dalam sejarah Papua sejak 1970-an berperan sebagai "penyemangat politik atau penggembira atau penghambat (khusus Marten Su) bagi faksi-faksi perjuangan OPM. Disebut "penghambat" kalangan pemuda lantaran Marten Su yang terbakar kaum fundamentalis Injili (yang barangkali bekerja sama dengan intel Indonesia) & digiring kaum Ortodox Yahudi mengajak para mahasiswa simpatisan Papua Merdeka untuk ganti bendera "Bintang Kejora" dengan "Bendera Bintang Daud".

Pertanyaannya: Apakah benar kelompok anak muda tadi berbau sosialis? Apa pijakannya? Jawabnya tidak. Mereka tidak ke mana-mana. Mereka masih di Papua. Ideologi mereka untuk Papua baru "berangkat dari agama Melanesia Papua" yang dalam berbahasa Biak "koreri", yang berarti: “makan di satu piring" atau dalam bahasa Damal & Amungme: "Hai", artinya hidup bersama di "jaman bahagia".

Kesimpulannya: Apa yang mendasari perjuangan kelompok tadi, tidak lain dari "freedom dreams" (impian pembebasan) yang menurut Robbin Kelly, sejarawan kulit hitam Amerika: "freedom dreams" yang berakar dalam agama & mitologi Papua dan Pasifik.

(AP)


Catatan: Ini pendapat pribadi penulis yang tidak perlu di tanggapi oleh komunitas sion kids center of papua, anggap saja mereka tidak paham tentang 
Sion, Yerusalem dan Israel