Selasa, 03 September 2013

Generasi Papua Dalam Tradisi Orang Berilmu


Oleh: Robertus Nauw


Mark Twain tidak sedang menggigau, apalagi berfantasi. dia mengatakan yang sesungguhnya “Bisa dibayangkan betapa gelapnya dunia ini tanpa ada sinar matahari, dan betapa buramnya suatu bangsa tanpa ada pers yang bebas” (Media Insan Cita, 34 2009)  Pers adalah senjata yang paling tajam diantara yang tajam, lewat pers masyarakat dicerahkan, lewat pers pula masyarakat disadarkan.  Sebagai masyarakat kampus, penulis sangat berterima kasih kepada, seluruh media yang ada di papua. lihat dari berbagai slogan yang ada di masyarakat sendiri seperti pers atau media adalah punya rakyat, pers adalah penyambung lidah masyarakat, dan pers adalah mata dan hati masyarakat, ini pertanda bahwa pers sudah mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat luas, terutama akar rumput.
Sebab aktivitas menulis dan membaca boleh dikata sebagai sejarah peradaban, manusia menganalisis fakta-fakta masa lalu sebagai dalil, pijakan dan bahan dasar untuk merencanakan hari esok dan menciptakan masa depan. keuntungan orang yang banyak membaca, ia dapat mencerna secara sistematis setiap dinamika sosial dimasyarakat dan dipetakan dalam tulisan baik itu soal ekonomi politik, budaya sastra, dan perundang-undangan hingga spiritual. Sebab pesan-pesan Tuhan pun, hanya sampai pada akal manusia karena ditulis sehingga dapat dibaca.
Kita sering dengar berbagai jargon tentang membaca dan menulis seperti buku adalah jendela dunia, menjelajah buku membuka mata dunia, buku adalah gudang ilmu, Perpustaan adalah paru-parunya pendidikan, aku bicara karena aku menulis. Bahkan membaca pun sendiri miliki jargon klasik “Banyak Baca, Banyak Tau” itu berarti tidak banyak membaca konseksuensi logis, tidak tau! Bayangkan betapa mudah dan murahnya ilmu pengetahuan sebenarnya bagi mereka yang banyak membaca, karena mahal itu sebenarnya hanya biaya pendidikannya!
Semua berpulang pada niat tulus, mau membaca dan menulis atau tidak tergantung pilihan kita yang mau berproses mencari kebenaran dan kepuasan hati (berdialog dan diskusi dengan jiwa). Dengan buku, majalah, dan koran  banyak hal positif akan kita dapat seperti pesan-pesan kebaikan yang ditinggalkan di pikiran kita, pesan kemanusiaan, moralitas, ketakwaan, ilmu dan pengetahuan. Banyak generasi yang tidak membaca telah membiarkan dirinya musnah dalam hegemoni serba instan yang dibangun oleh pemimpin kita sendiri. Tuk itu, “jangan menyesal karena kita tidak tahu, tapi menyesalah mengapa kita tidak membaca” Karena Membaca merupakan proses berpikir dan bernalar dan memberikan makna kepada simbol-simbol visual.
Secara sempit, membaca sebagai pengenalan simbol-simbol tertulis. Pengertian yang agak luas, yaitu proses memasukkan makna kata-kata dan frasa penyusun bacaan di satu pihak, dan proses pemaduan berbagai unsur makna menjadi satu kesatuan ide. Untuk memberikan reaksi kritis-kreatif terhadap bacaan dalam menemukan signifikasi, nilai, fungsi dan hubungan isi bacaan itu dengan suatu masalah kehidupan yang lebih luas serta dampak dari masalah yang dipaparkan pengarang. karena pada dasarnya dalam membaca, pembaca adalah pihak yang aktif bukan pasif.
Realita Saat Ini
Budaya membaca dan menulis di Kota Sorong sangat memprihatinkan, bahkan berada di bawah titik nadir namun tetap tidak ada langka kongkrit untuk mencegah hal ini, keterpurukan generasi saat ini, terkesan ada semacam proses pembiaran. Baik dinas terkait dan pemimpinnya terlanjur membentuk generasi lebih menggemari budaya belanja ketimbang budaya membaca dan menulis. Mereka lebih suka membangun mall-mall dengan begitu megahnya dari pada membangun gelanggang remaja, tempat generasi muda penerus bangsa ini berkarya. Atau sebuah Perpustakaan Umum Daerah untuk pusat belajar masayarakat.  Penulis pun melihat ini satu kejahatan besar yang dilakukan oleh dinas terkait sebagai otak dari mafia pedidikan itu sediri, jika kejanggalan ini dilakukan secara sadar. Alasannya dinas terkait membangun pendidikan di daerah ini cenderung orientasinya lebih soal provit dan pencitraan semata ketimbang membangun sumber daya manusia generasi muda di kota ini untuk 20 tahun mendatang.
Hari ini kita tidak usa tutup mata, apalagi munafik soal sejuta dinamika saat ini yang melilit generasi muda di kota sorong, yang lebih bangga mengoleksi HP keluaran terbaru, fashion, pergi ke tempat-tempat hiburan dan dunia gemerlap (dugem) yang lengkap dengan tawarannya. Ketimbang membeli buku, koran dan majalah. Mereka lebih memilih hiburan dari pada habiskan waktu membaca di perpustakaan atau di toko buku. Sungguh ironis nasib sebuah generasi karena telah dan sedang terjebak dalam hegemoni yang dibangun oleh pemimpin-pemimpin kita sendiri.
Yang menjadi Indikartor kurangnya minat baca dan menulis dikalangan generasi muda saat ini adalah: Pertama, hampir perpustakaan disekolah-sekolah atau di kampus-kampus yang kurang diminati generasi muda, membuat perpustakaan di lembaga ini ibarat gudang buku, dan tidak lebih dari kuburan yang menyeramkan, karena semua referensi saat ini kerja di om Google.
Kedua, kurangnya kontrol sosial yang dimotori oleh generasi muda (mahasiswa) dalam presur setiap kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil. Padahal di Kota Sorong sendiri terdapat banyak Universitas dan puluhan Sekolah Tinggi yang mendidik manusia menjadi cerdas, namun kenyataannya lembaga pendidikan ini malah dituding sebagai pelacur intelektual, lebih khusus di Papua Barat. karena ompong dalam hal presus kebijakan pemerintah, masa kota tidak punya perpustakaan umum daerah kota sorong. Padahal 15 tahun  menjabat kepala dinas pendidikan, adalah sebuah ukuran yang luar biasa.
            Indikator Ketiga, lemahnya kesadaran generasi muda (mahasiswa dan pelajar) dalam hal menulis itu bisa dilihat dalam forum-forum pemuda seputar dunia menulis seperti, yang peulis temukan pada Forum Lingkar Pena (FLP) cabang profinsi Papua Barat, hampir dipastikan tidak ada generasi papua yang ikut belajar di sana, padahal forum ini berpotensi melahirkan penulis-penulis muda di Indonesia, dan juga minim kegiatan lomba karya tulis ilmiah ditingkat mahasiswa, adalah sebuah langkah mundur bagi pemuda.
Berikut lemahnya dukungan media lokal, baik itu cetak maupun elektronik dalam mendidik generasi muda lewat konten-konten berita yang memberi ruang lebih, kepada generasi muda sebagai ciri khas kaum pemikir dan pembelajar, untuk mencurahkan pikiran atau pendapat. Namun soal peran media, bukan tidak ada sama sekali. Hanya saja, media seperti ini dapat dihitung dengan jari. Sudah sepatutnya generasi muda harus meninggalkan (tidak usah membaca) media yang tidak mendidik dan beralih ke media yang memberikan ruang untuk generasi muda. Sebut saja membaca harian terbesar pertama di Kota Sorong (Radar Sorong) yang selama ini menyediakan konten bagi rakyat untuk ikut berpendapat, yang berikut penulis suport rencana lomba menulis jurnalistik tingkat SMA dan Sederajat dalam rangka memperingati HUT Rasor, penulis dengan keyakinan yang sungguh niat mulia seperti ini memberi ruang kepada para pelajar guna membangun diri guna memberi pemuda Tradisi Sebagai Orang Berilmu bagi generasi muda di tanah papua tercinta ini. Semua belum terlambat, jika kita kembali ke hukum alam seperi Pemikiran Karl Max “Keadaan Yang Menciptakan Kesadaran” (F. Magnis-Suseno, 2009), ini yang sedang dilakukan oleh media lokal sekelas Harian Pagi Radar Sorong, untuk menumbuhkan minat menulis bagi generasi.
Mulailah rajin membaca dan menulis, kurangi budaya konsumtif atau hedonis. Bagi generasi muda yang kleim diri mereka sebagai masyarakat terdidik dan penerus, jika ingin wujutkan masa depan Papua Barat yang cerdas, sejahtera harus mulai dengan membaca dan menulis agar kita maju sejajar dengan daerah lain di indonesia tercinta ini. Budayakan membaca dan menulis sebagai kebutuhan generasi muda sebab membaca dan menulis merupakan tradisi dari orang-orang berilmu. SEMOGA

* Penulis Adalah Anggota Devisi Kaderisasi Forum Lingkar Pena Cabang Papua Barat