Oleh :
Roberthus Nauw
“Sudah seperti sebuah kutukan bagi para elit Di
Indonesia, lebih kusus di provinsi Papua dan Papua Barat yakni jadi pemimpin (pejabat)
baru masuk penjara, jelas berbedah dengan pemimpin papua sejati, masuk penjara
dulu baru jadi pemimpin”
Hal itu
telah dan sedang marak terjadi, dalam pemberitaan media lokal di Papua Barat 1
bulan terakhir ramai membahas aksi demo tandingan dalam hal menolong para elit yang
disangkakan dalam kasus-kasus korupsi dan kasus lainya. Pemberitaan tersebut
memang bukan barang baru yang patut dirisaukan, di era sedemokrasi dan
keterbukaan seperti ini, lebih khusus di Provinsi Papua Barat. Pasalnya, berita
aksi demo tandingan telah terjadi yang kesekian kali, masih dalam ingatan tahun
lalu demo tandingan di Pengadilan Tinggi Negeri Manokwari Senin (5/9) terkait sidang
mantan bupati di Papua Barat, yang tersangkut kasus narkoba di Pengadilan
Negeri Manokwari, yang berakhir dengan kericuhan antar pendukung. Dan juga aksi
demo tandingan antar kedua kubu pro dan kontra yang menyoal pesta demoktarasi
di negeri ra bobot (Maybrat) yang menjadi polemik di masyarakat hingga saat
ini, adalah bukti bahwa penyesatan kepada akar rumput itu tidak perlu ada,
cukup para pejabat yang jujur bangun masyarakat itu sendiri.
Menyoal
proses demokrasi di papua barat, apa memang benar mungkin satu-satunya jalan,
dan cara yang dipakai dalam suksesi kepentingan elit adalah mengobok-obok
demokrasi seperti yang telah dan sedang terjadi dalam aksi-aksi tandingan. Jika
aksi itu murni bernuansa politik yang begitu sangat kental, maka masyarakat patut
curigai nuansa memecah belah sebagian kalangan elit, yang motifnya membuat kekacauan dan kebingungan di
masyarakat terbukti benar. Lihat saja aksi demo tandingan (mendukung dan
menolak) oleh sebagaian masyarakat dan mahasiswa di beberapa kabupaten di Provinsi
Papua Barat yang menamakan diri sebagai forum-forum ikatan tertentu, sangat
mungkin mereka ini telah diobok-obok melalui berbagai cara sekedar refleksi
saja tanpa menyebut beberapa kasusnya, selain memberi dukungan mendukung dan
menolak bukan karena kesadaran politik sebagai kelompok presur namun karena
kelompok-kelompok ini telah terkontaminasi dengan Politik uang (money politic)
dan bergaining politik. Sehingga memberi makna kebablasan demokrasi.
Terkait
dengan lahirnya berbagai macam komunitas yang mengatasnamakan mahasiswa
masyarakat dan suku tertentu “saat para elitnya ada dalam masa pace klik. Menunjukan
realitas seperti ini, bukan hal yang tabu karena banyak mahasiswa yang telah
melacurkan intelektual mereka, dalam politik praktis dan terlebih harga diri
diperjual belikan atau dikomersialisasikan demi uang hanya untuk kepentingan
politik tertentu, adalah bukti bahwa mahasiswa sebagai masyarkat terdidik
ternyata bisa dikendalikan oleh kepentingan politik sekelompok elit, kalau
mahasiswa saja demikian, bagaimana dengan akar rumputya sendiri!
Kepentingan
tertentu di atas, sangat boleh jadi berjalan sukses karena ditopang dua hal;
(Money Politik, dan Pengaruh bergaining atau kontrak politik diantara elit
tersebut). Telah berhasil melumpuhkan mahasiswa dan masyarakat yang sejatinya
sebagai kelompok penekan pemerintah. Namun sayang, konspirasi elit dan kelompok
kepentingan lainnya berhasil dalam mengobok-obok mahasiswa, yang bangga dengan
status mayarakat terdidiknya untuk kemudian omong kosong besar.
Mahasiswa
melupakan bahwa, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dapat dibuktikan secara
akal dan terdistribusi di lapangan kemasyarakatan, pemerintahan serta institusi
sosial. Tingkatan pendidikan yang lebih tinggi pastinya harapan kita bersama,
bahwa landasan keilmuan bagi setiap kita yang disebut sebagai mahasiswa sudah
semakin kokoh. Untuk menahan serta menjadi filter kekuatan intelektual negatif,
yang masuk dalam pemikiran setiap mahasiswa, nyatanya telah terabaikan oleh mahasiswa.
Demokrasi di
Papua Barat sangat khas, sehingga semua orang mestinya perlu menahan diri dan
tunduk pada aturan politik yang berlaku. Betul demokrasi membolehkan siapapun
untuk membela diri, namun tetap tidak meninggalkan kebingungan di masyarakat
itu sendiri. Mengingat gesekan antar masyarakat terdidik dan masyarakat akar
rumput antar dua kepentingan, sangat rawan memicu polemik dan berpotensi
konflik antar masyarakat di akar rumput yang pro dan kontra.
Sudalah, ambisi
politik yang bermuara pada kekuasaan tidak boleh melahirkan kecemasan meluas.
Kalaupun sampai hal ini yang terjadi, intrik politik dan potensi konflik
diyakini akan membayangi proses lahirnya pemimpin yang sungguh-sugguh benar.
Gesekan kepentingan yang pada gilirannya merugikan stabilitas keamanan, telah
membuat masyarakat ragu bahwa aksi-aksi murahan seperti ini, tidak terlepas
dari intrik money politic. Bahkan, ambisi politik diyakini bisa menjadi pemicu
konflik di masyarakat. Akibatnya, masyarakat pun potensial tercemar, sebenarnya
tugas dari pada masyarakat yang mengaku masyarakat terdidik, bukan malah
sebaliknya ikut menumbuh suburkan perpecahan dan konflik yang sudah ada.
Berbicara
soal konflik, sebenarnya semua lahir akibat biasnya komunikasi, konsep politik
dan konflik dalam pandangan publik cenderung mengalami pergeseran yang amat
luas, dan itu adalah tugas kita semua sebagai kaum terpelajar. Mengingat demokrasi
yang dilakoni para elite dan pengikutnya, cenderung melahirkan suhu panas.
Terlebih, tarik ulur kepentingan dikipasi oleh para elite politik dan pengikutnya
di akar rumput. Bahkan, konflik dan money politic sudah menjadi bagian keraguan
publik.
Fakta ini
hedaknya jangan dibiarkan tumbuh oleh para elite, jika ingin politisi dan
pejabat tetap dihargai. ''Mari kelola pemeritahan dengan hati nurani. Jauhkan
intrik money politic demi lahirnya pemimpin ideal, yang bekerja dengan jujur di
tanah ini'' Ternyata money politic merupakan racun yang menyesatkan masyarakat.
Ingat konflik dimasyarakat tetap merugikan masyarakat akar rumput. Untuk itu,
mahasiswa dan masyarakat benar-benar bisa mengelola haknya dengan baik, agar
tak sampai menggadaikan nurani. Agar jangan lagi ada ketergantungan masyarakat
pada pemerintah, terlebih ketergantungan pada belas kasihan para elit politik,
yang menebar kebencian pada masyarakat itu sendiri.
Dilain
pihak, mencermati aksi demo pro dan kontra terkait kasus-kasus besar di Papua Barat,
mulai dari kasus korupsi kasus yang melilit anggota DPRD Provinsi Papua Barat, PLTD
Kab Raja Ampat, Kasus Dana Pelantikan Walikota Sorong, dugaan kasus penucian
uang salah satu oknum bupati dan lain sebagainya.
Penulis memilahnya
sebagai berikut. Pertama, pejabat
memang kadang langsung bersentuhan langsung dengan masyarakat secara otomatis
akan bersinggungan dengan risiko politik itu sendiri. ''Target politik itu
sendiri mengandung potensi konflik,'' Dalam hal ini, elite politik di daerah
memiliki peluang menebar potensi konflik untuk mencapai tujuannya. Dengan
memasang target yang ideal, para elite lalu meracuni masyarakat dengan
janji-janji. Dalam kondisi begini, seorang elit secara tak langsung telah
menjadi sumber konflik. ''Elit yang tak sadar akan potensi dirinya cenderung akan
melakukan pengelolaan opini yang melebar. Pembiasan potensi diri ini juga ikut
memicu koflik,'' Celakanya, ketika ambisi alite ini didukung secara babi buta
oleh mahasiswa dan mayarakat (pegikutnya) masing-masing. Dukungan yang tak
memperhatikan kaidah dan aturan potensial melahirkan pembiasan, pendukungnya akan
melakukan pemaksaan kehendak dan intimidasi, ini merupakan sisi negatif dari
upaya mencapai target politik.
Masyarakat dan
alite harus memiliki kesetaraan pemahaman dalam mengelola target pemerintahan
yakni, mensejahterakan rakyat. Jangan sampai karena dorongan emosi, segala
aturan dilabrak dan etika dikesampingkan. Dalam konteks ini, sosialisasi dan
koordinasi penting untuk dibangun dan untuk meminimalkan potensi konflik, ini
perlu ada kerelaan dan kebersamaan untuk mengedepankan kepentingan yang lebih,
atau kepentingan banyak orang ketimbang kepentingan oknum pejabat.
Jika hal ini
tidak di rekonstruksi ulang oleh masyarakat dan mahasiswa, bukan tidak mungkin semarak
aksi demo tandingan di Papua Barat, dalam hal membela kepentingan elit tertentu
akan membawa korban pada masyarakat. Sehingga pesan penulis bagi para elit,
stop profokasi masyarakat karena Masyarakat Bukan Tameng Pejabat. Kalau niat
hati ingin bantu masyarakat, jangan ikut mecuri secara halus sehingga para elit
ini tidak disebut maling, hal yang sulit dibenarkan mengingat tujuan elit benar
benar, namun cara salah tetap salah. SEMOGA
(*) Penulis adalah mantan relawan PSCS Jayapura-Papua