Selasa, 03 September 2013

Masyarakat Bukan Tameng Pejabat!


Oleh : Roberthus Nauw

“Sudah seperti sebuah kutukan bagi para elit Di Indonesia, lebih kusus di provinsi Papua dan Papua Barat yakni jadi pemimpin (pejabat) baru masuk penjara, jelas berbedah dengan pemimpin papua sejati, masuk penjara dulu baru jadi pemimpin”
Hal itu telah dan sedang marak terjadi, dalam pemberitaan media lokal di Papua Barat 1 bulan terakhir ramai membahas aksi demo tandingan dalam hal menolong para elit yang disangkakan dalam kasus-kasus korupsi dan kasus lainya. Pemberitaan tersebut memang bukan barang baru yang patut dirisaukan, di era sedemokrasi dan keterbukaan seperti ini, lebih khusus di Provinsi Papua Barat. Pasalnya, berita aksi demo tandingan telah terjadi yang kesekian kali, masih dalam ingatan tahun lalu demo tandingan di Pengadilan Tinggi Negeri Manokwari Senin (5/9) terkait sidang mantan bupati di Papua Barat, yang tersangkut kasus narkoba di Pengadilan Negeri Manokwari, yang berakhir dengan kericuhan antar pendukung. Dan juga aksi demo tandingan antar kedua kubu pro dan kontra yang menyoal pesta demoktarasi di negeri ra bobot (Maybrat) yang menjadi polemik di masyarakat hingga saat ini, adalah bukti bahwa penyesatan kepada akar rumput itu tidak perlu ada, cukup para pejabat yang jujur bangun masyarakat itu sendiri.
Menyoal proses demokrasi di papua barat, apa memang benar mungkin satu-satunya jalan, dan cara yang dipakai dalam suksesi kepentingan elit adalah mengobok-obok demokrasi seperti yang telah dan sedang terjadi dalam aksi-aksi tandingan. Jika aksi itu murni bernuansa politik yang begitu sangat kental, maka masyarakat patut curigai nuansa memecah belah sebagian kalangan elit, yang motifnya  membuat kekacauan dan kebingungan di masyarakat terbukti benar. Lihat saja aksi demo tandingan (mendukung dan menolak) oleh sebagaian masyarakat dan mahasiswa di beberapa kabupaten di Provinsi Papua Barat yang menamakan diri sebagai forum-forum ikatan tertentu, sangat mungkin mereka ini telah diobok-obok melalui berbagai cara sekedar refleksi saja tanpa menyebut beberapa kasusnya, selain memberi dukungan mendukung dan menolak bukan karena kesadaran politik sebagai kelompok presur namun karena kelompok-kelompok ini telah terkontaminasi dengan Politik uang (money politic) dan bergaining politik. Sehingga memberi makna kebablasan demokrasi.
Terkait dengan lahirnya berbagai macam komunitas yang mengatasnamakan mahasiswa masyarakat dan suku tertentu “saat para elitnya ada dalam masa pace klik. Menunjukan realitas seperti ini, bukan hal yang tabu karena banyak mahasiswa yang telah melacurkan intelektual mereka, dalam politik praktis dan terlebih harga diri diperjual belikan atau dikomersialisasikan demi uang hanya untuk kepentingan politik tertentu, adalah bukti bahwa mahasiswa sebagai masyarkat terdidik ternyata bisa dikendalikan oleh kepentingan politik sekelompok elit, kalau mahasiswa saja demikian, bagaimana dengan akar rumputya sendiri!
Kepentingan tertentu di atas, sangat boleh jadi berjalan sukses karena ditopang dua hal; (Money Politik, dan Pengaruh bergaining atau kontrak politik diantara elit tersebut). Telah berhasil melumpuhkan mahasiswa dan masyarakat yang sejatinya sebagai kelompok penekan pemerintah. Namun sayang, konspirasi elit dan kelompok kepentingan lainnya berhasil dalam mengobok-obok mahasiswa, yang bangga dengan status mayarakat terdidiknya untuk kemudian omong kosong besar.
Mahasiswa melupakan bahwa, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dapat dibuktikan secara akal dan terdistribusi di lapangan kemasyarakatan, pemerintahan serta institusi sosial. Tingkatan pendidikan yang lebih tinggi pastinya harapan kita bersama, bahwa landasan keilmuan bagi setiap kita yang disebut sebagai mahasiswa sudah semakin kokoh. Untuk menahan serta menjadi filter kekuatan intelektual negatif, yang masuk dalam pemikiran setiap mahasiswa,  nyatanya telah terabaikan oleh mahasiswa.
Demokrasi di Papua Barat sangat khas, sehingga semua orang mestinya perlu menahan diri dan tunduk pada aturan politik yang berlaku. Betul demokrasi membolehkan siapapun untuk membela diri, namun tetap tidak meninggalkan kebingungan di masyarakat itu sendiri. Mengingat gesekan antar masyarakat terdidik dan masyarakat akar rumput antar dua kepentingan, sangat rawan memicu polemik dan berpotensi konflik antar masyarakat di akar rumput yang pro dan kontra.
Sudalah, ambisi politik yang bermuara pada kekuasaan tidak boleh melahirkan kecemasan meluas. Kalaupun sampai hal ini yang terjadi, intrik politik dan potensi konflik diyakini akan membayangi proses lahirnya pemimpin yang sungguh-sugguh benar. Gesekan kepentingan yang pada gilirannya merugikan stabilitas keamanan, telah membuat masyarakat ragu bahwa aksi-aksi murahan seperti ini, tidak terlepas dari intrik money politic. Bahkan, ambisi politik diyakini bisa menjadi pemicu konflik di masyarakat. Akibatnya, masyarakat pun potensial tercemar, sebenarnya tugas dari pada masyarakat yang mengaku masyarakat terdidik, bukan malah sebaliknya ikut menumbuh suburkan perpecahan dan konflik yang sudah ada.
Berbicara soal konflik, sebenarnya semua lahir akibat biasnya komunikasi, konsep politik dan konflik dalam pandangan publik cenderung mengalami pergeseran yang amat luas, dan itu adalah tugas kita semua sebagai kaum terpelajar. Mengingat demokrasi yang dilakoni para elite dan pengikutnya, cenderung melahirkan suhu panas. Terlebih, tarik ulur kepentingan dikipasi oleh para elite politik dan pengikutnya di akar rumput. Bahkan, konflik dan money politic sudah menjadi bagian keraguan publik.
Fakta ini hedaknya jangan dibiarkan tumbuh oleh para elite, jika ingin politisi dan pejabat tetap dihargai. ''Mari kelola pemeritahan dengan hati nurani. Jauhkan intrik money politic demi lahirnya pemimpin ideal, yang bekerja dengan jujur di tanah ini'' Ternyata money politic merupakan racun yang menyesatkan masyarakat. Ingat konflik dimasyarakat tetap merugikan masyarakat akar rumput. Untuk itu, mahasiswa dan masyarakat benar-benar bisa mengelola haknya dengan baik, agar tak sampai menggadaikan nurani. Agar jangan lagi ada ketergantungan masyarakat pada pemerintah, terlebih ketergantungan pada belas kasihan para elit politik, yang menebar kebencian pada masyarakat itu sendiri.
Dilain pihak, mencermati aksi demo pro dan kontra terkait kasus-kasus besar di Papua Barat, mulai dari kasus korupsi kasus yang melilit anggota DPRD Provinsi Papua Barat, PLTD Kab Raja Ampat, Kasus Dana Pelantikan Walikota Sorong, dugaan kasus penucian uang salah satu oknum bupati dan lain sebagainya.
Penulis memilahnya sebagai berikut. Pertama, pejabat memang kadang langsung bersentuhan langsung dengan masyarakat secara otomatis akan bersinggungan dengan risiko politik itu sendiri. ''Target politik itu sendiri mengandung potensi konflik,'' Dalam hal ini, elite politik di daerah memiliki peluang menebar potensi konflik untuk mencapai tujuannya. Dengan memasang target yang ideal, para elite lalu meracuni masyarakat dengan janji-janji. Dalam kondisi begini, seorang elit secara tak langsung telah menjadi sumber konflik. ''Elit yang tak sadar akan potensi dirinya cenderung akan melakukan pengelolaan opini yang melebar. Pembiasan potensi diri ini juga ikut memicu koflik,'' Celakanya, ketika ambisi alite ini didukung secara babi buta oleh mahasiswa dan mayarakat (pegikutnya) masing-masing. Dukungan yang tak memperhatikan kaidah dan aturan potensial melahirkan pembiasan, pendukungnya akan melakukan pemaksaan kehendak dan intimidasi, ini merupakan sisi negatif dari upaya mencapai target politik.
Masyarakat dan alite harus memiliki kesetaraan pemahaman dalam mengelola target pemerintahan yakni, mensejahterakan rakyat. Jangan sampai karena dorongan emosi, segala aturan dilabrak dan etika dikesampingkan. Dalam konteks ini, sosialisasi dan koordinasi penting untuk dibangun dan untuk meminimalkan potensi konflik, ini perlu ada kerelaan dan kebersamaan untuk mengedepankan kepentingan yang lebih, atau kepentingan banyak orang ketimbang kepentingan oknum pejabat.
Jika hal ini tidak di rekonstruksi ulang oleh masyarakat dan mahasiswa, bukan tidak mungkin semarak aksi demo tandingan di Papua Barat, dalam hal membela kepentingan elit tertentu akan membawa korban pada masyarakat. Sehingga pesan penulis bagi para elit, stop profokasi masyarakat karena Masyarakat Bukan Tameng Pejabat. Kalau niat hati ingin bantu masyarakat, jangan ikut mecuri secara halus sehingga para elit ini tidak disebut maling, hal yang sulit dibenarkan mengingat tujuan elit benar benar, namun cara salah tetap salah.  SEMOGA

(*) Penulis adalah mantan relawan PSCS Jayapura-Papua