Rabu, 04 September 2013

SELALU MEMUJA "PUJA" MU


                                                   Oleh: Robertus nauw

Semoga kamu dalam keadaan terenyum ketika membaca surat ini. Karena surat ini tidak akan rela kalau kamu dalam keadaan murung. Tapi aku yakin kamu tidak seperti yang kukawatirkan. Kamu tahu keyakinanku sangat beralasan karena senyum manismu yang manja tidak akan pernah usang ditelan waktu. Senyum manismu juga akan menambah suasana yang cerah dan indah ini. Dimana kamu sedang membuka lembaran demi lembaran surat ku ini.
Sudah lama aku ingin mengirim surat kepadamu walau hanya satu paragraf atau satu bait kata. Sudah lama aku merenung dengan perasaan tak terucap karena tidak percayakan diri. Kadang aku juga bergumam dengan diriku sendiri, apa yang harus aku lakukan ketika keberanian tidak pernah hinggap? Lama kumenunggu jawab. Sementara kata jawab yang kunanti tidak pernah muncul. Semuanya seperti misteri dan makin menambah tumpukan pertanyaan yang kian menumpuk.
Walaupun aku menemukan selah jawab, tapi aku kadang masih saja ragu apakah mungkin kalau aku mengirimkan surat padamu bisa dibaca dengan penuh ikhlas dan perasaan berbunga-bunga di istanamu yang tak tersentuh? Dalam hayal aku makin ragu akan hal itu. Sudah pasti hal ini makin menjadi beban yang selalu menghimpit diriku. Lama-kelamaan himpitan beban perasaan ini terakumulasi dan tidak bisa lagi aku tampung dalam memoriku. Ketika semuanya berat. Nafas ku terengah, akalku juga sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sekali lagi hanya menambah peliknya beban hidupku.
***
Ketika aku sadar bahwa ini semua harus aku emban. Semangatku tumbuh lagi ketika aku mengimajinasikan kamu. Lantas aku teringan akan ingatan masa lalu. Disitu aku masih teringat sepenggal kata-kata dalam bait bukumu, diary yang tanpa sengaja kutemui di kuburan buku, ya itulah kesan pertama rumaha mu dimataku yang jauh dari keramaian dan kunjungan sahabat-sahabat setia yang merindukanmu “Perpustakaan Kota Jayapura” sebuah arel buku fiksi (Novel) yang hening dengan kebisuan, memanggil namaku dalam kemayaan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kujejakan langkah kakiku mengunjungimu kala kau mengusik ketenangku, waktuku teregut olehmu seakan tak ada yang bisa membebaskan aku dalam penjara hatimu.
Dalam Novel “Kapas-Kapas Di langit” kau titipkan sepenggal bait yang indah nan sungguh sempurna. Hingga sekarang masih aku ingat dan akan selalu aku ingat, untuk selamanya. Karena sepotong bait itu pula yang mematriku agar aku tetap tegar walaupun sebenarnya diriku sudah rapuh.
Kamu mungkin sangat penasaran apa isi bait itu? Baik lah akan aku lantunkan sendiri. Penggalan bait yang kamu tulis itu kira-kira seperti ini “Banyak kata telah terucap, banyak kata telah kita jalani, banyak waktu telah bergulir, kita akan selalu bersama…..” sambungan dari kata itu kurang lebih berbunyi “Perjalanan hidup laksana sebuah bahtera yang menyeruak diantara nuansa-nuansa kehidupan, kadang kita terseruak aral yang melintang juga kendala yang menghadang. Namun.…..kita mesti tegarkan diri memastikan arah langkah tuk membangun hari esok dengan pasti bersama misteri”. Sekali lagi paragraf itu seperti menjadi simantik, dan rima dalam diri agar aku tetap tegar menerima dan jalani sisa hidupku.
Jalanan aku sandarkan cita-cita sebab di rumah tak ada yang memahami, masa depanku akan sirna seiring pudarnya waktu dan debu jalanan yang berserakan, kalau musafir selalu berkelana mencari peraduan. Aku hanya lelaki kabut yang selalu dirundung duka, kesuksesan dan kebahagiaan berlalu pergi dari relung hati.
Namun semua itu sudah berlalu, biarlah hal ini hidup dalam hidupku. Tidak seharusnya aku mengingat masa lalu. Karena sejarah masa lalu tidak akan pernah terulang kembali walaupun dalam satu episode. karena belum tentu kaupun mengenangnya. Mungkin adegan ini akan berbeda ketika carita dalam episode ini terjadi dalam cerita sinetron atau telenovela ala Amerika Latin.
Tapi cerita ini bukan cerita seperti di film, cerita ini adalah cerita yang akan selalu bersambung tanpa ada titik akhir. Yang kalah selalu menikmati pahitnya kekalahan dan yang menang akan selau menikmati manisnya kemenangan. Begitu juga dengan diriku selama ini tidak pernah berakhir dengan kemenangan atau kisah yang indah. Perjalanan hidup ku selalu saja diakhiri dengan tetesan air yang bening, yang menetes dengan hangat di pipiku, itu pertanda aku gagal dan harus menerima pahitnya hidup.
Memang dalam hidup kita harus menerima semua ini. Tidak selamanya dalam hidup ini berjalan dengan roda keadilan. Dan sebaliknya roda ini akan terus berputar pada porosnya. Kita hanya pasrah ketika apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan apa yang kita idamkan, ibarat dunia ide tidak sejalan dengan realitas. Begitulah dinamika dalam hidup. Penuh dengan warna-warni. Kadang harus ada yang dikorbankan demi sebuah kemenangan. Itulah hidup, dimulai dengan membunuh....tuk itu selalu siap bersaing. Bukankah demikian!
***

Aku kadang tidak menyadari arti penting dari dinamika ini. Aku hanya menginginkan indahnya saja. Sementara rotasi waktu telah menggelinding. Aku hanya terpaku dengan perasaan bimbang tidak tahu apa yang harus diperbuat. Diam dan hanya diam. Untung ada yang menegurku ketika aku hampir terjerumus kerimba belantara, bahwa aku sudah melangkah jauh dan dari langkah itu ternyata aku kehilangan arah.
Begitulah pergumulan hidupku, melawan ketidak beranian dalam diriku, mencari orang lain yag bukan dirimu, dia yang selalu ku sebut dalam tidurku dan dalam setiap mimpi malamku. Dia yang selalu aku puja bersama waktu, memilikimu adalah keingianan hati terdalamku, namun bagaimana mengungkapkannya adalah kelemahanku.
Aku pun kemudian sadar bahwa apa yang selam ini aku lakukan bukanlah ingin membuka lembaran sejarah masa lalu. Apalagi untuk mengingat romantisme yang dulu pernah kita bangun bersama. Kita sudah sepakat itu sudah berlalu. Sekali lagi tidak. Kamu tahu kan? Lama aku menanti keberanian untuk menulis dengan perasaan kalut. Sampai fakta sadarkan aku.
Aku harap kamu tidak salah menduga tentang aku saat membaca surat ini. Anggaplah hal ini hanyalah kegalauan seorang penghianat yang hianati kekasihnya. Padahal dia sampai sekarang masih mencintainya dan akan selalu mencintainya. Seperti Romeo dan Juliet yang mengisahkan kisah cinta sejati. Tapi kisah cinta kita berbeda. Kisah cinta kita disatukan hanya karena waktu dan akan segera hilang pula juga karena waktu. Andaikan kisah cinta kita ditasbihkan dengan perasaan saling memiliki dan mencintai, suasananya tentu akan berbeda. Itulah bedanya antara fiksi dengan dunia nyata. Sungguh sangat paradogks.
***
Sekali lagi aku berharap kamu tidak salah menduga tentang aku saat ini. Jujur aku katakan kepadamu surat ini tidak mempunyai maksud apa-apa, tidak pula membawa misi, hanya perasaan galau dan gamang. Apalagi diartikan untuk mengganggu kemesraan kamu yang sekarang sedang kamu rajut bersama para penghuni surgamu. Sedikit pun aku tidak punya perasaan itu. Sebaliknya, aku justru merasa bangga kamu bisa mendapatkan pasangan yang lebih ideal. Aku juga sangat senang ketika kamu juga merasakan kesenangan yang sedang kamu pupuk bersama saat ini. Keberanianku mengirimkan surat ini hanyalah untuk meringankan—syukur-syukur bisa menghilangkan—beban berat sejak kita tidak bersama lagi. Semoga kamu maklum atas diriku.
Lelah memang ketika aku harus berfatamorgana atau berkamuflase dengan perasaan yang selalu menyeruak di hati. Aku sudah muak dengan perasaan ini semua. Aku bertekad untuk segera mengakhiri semua perasaan aku tentang kamu. Tapi itulah yang terjadi dalam lubuk hatiku, ternyata tidak bisa dibingkai hanya dengan sebuah janji. Janji yang hanya membuat hatiku makin terluka. Luka dan terus akan luka. aku menyesal tidak memilikimu, tidak memujamu seperti ysng dulu
Kadang aku sangat marah dengan perjalanan waktu yang selalu berdetak tanpa mengenal lelah. Karena waktu pulalah kamu harus meninggalkan aku. Kamu pun tahu bahwa keputusan itu tidak aku inginkan, meski aku harus menyadari bahwa aku pun tidak bisa mengelak dengan keputusan itu. Karena ketika kita bersama juga tidak ada jalan paksaan, penuh kesadaran. Ketika sekarang menjadi seperti saat ini kita pun harus rela. Ini sudah menjadi keputusan, siapapun tidak boleh membantah. Jangankan aku orang lain pun tidak. Inilah yang sampai sekarang aku tidak mengerti. Mengapa semua berjalan begitu cepat?.
            Mungkin saat ini yang tersisah hanyalah kebencian dan kemarahan yang selalu kau peragakan kepadaku. Kamu selalu menebarkan senyum tatkala aku melihatmu atau tuk sekedar menyapamu tapi disitu kamu juga menebar dendam yang sulit aku padamkan walau hanya dengan segelas air. Aku akui susah menebak tentang kamu. Kadang kamu ramah, kadang juga sebaliknya kamu sangat bengis. Kadang pemurah, tapi kadang kamu sangat pemarah. Kadang kamu menampakkan sikap lembutmu, namun sebentar kemudian kamu tampakkan kebencian mu.
Hal itu tidak akan berjalan selamanya. Dalam hidup ada siklus. Siang dan malam, hitam dan putih, rindu dan benci, cinta dan cita hanyalah persoalan waktu, keduanya akan bersama ketika asa menderma menjadi mahkota. Meski demikian, sikap-sikap seperti di atas itulah yang membuat aku tidak bosan akan kamu. Walaupun sering kamu sakiti, aku anggap itu hal biasa dalam bercinta, aku sadar akan hal itu.
Namun haruskan semua kebencian cinta harus ditimpakan ke padaku. Tidak henti-hentinya kebencian cinta terus menghimpit diriku. Lantas aku bertanya mengapa semua ini harus menimpa diriku? Apakah ini yang disebut pengorbanan? Tidak, tidak mungkin. Karmahkah? Atau aku memang ditakdirkan untuk selalu menerima pahitnya cinta dan hidup? Sukar menemukan jawabannya. Percuma aku harus menghayalkan semua ini. Toh, yang terjadi memang demikian.
            Mungkin saatnya bagi diriku untuk segera bangkit dari hayal panjang yang selama ini memenjaraku dari kenistaan. Saatnya aku melupakan mimpi kelam kisah hidupku. Aku harap kamu mampu membantu aku mengatasi ini semua. Entah dengan doa atau dengan kata tak terucap.
***

            Semoga di jalanan (rumah baruku) ini aku menemukan identitasku kembali yang sekian lama terombang-ambing. Kiranya banyak hal yang pernah kita alami bersama yang tidak luput dari salah. Kesalahan sekecil apapun dari aku kiranya kamu bisa memaafkanku. Sehingga beban ini tidak lagi berat untuk saya bawa kemana-mana.
            Rangkaian kata dari surat ini hanya satu, bahwa aku harus segera mengucapkan selamat kepadamu. Sekali lagi aku mohon maaf jika ada kesalahan atau dendam yang sampai saat ini masih kamu pelihara kala menolakmu, mohon maaf. Semoga kamu juga dalam keadaan tersenyum ketika menutup surat ini. Oh, ya. Ini ada bingkisan. Aku merasa sangat dihargai kalau kamu sudi memengambil pemberian ini.
Sepenggal pesan “banyak kata telah terucap, banyak kata telah kita jalani, banyak waktu telah bergulir, kita akan selalu bersama. perjalanan hidup laksana sebuah bahtera yang menyeruak diantara nuansa kehidupan, kadang kita terseruak aral yang melintang juga kendala yang menghadang. Namun, kita mesti tegarkan diri memastikan arah langkah tuk membangun hari esok dengan pasti bersama misteri hidup”. Aku tak butuh iba dan nasehatmu. Sana pergi aku mampu jalani hidup dengan caraku sendiri dari aku penggemar beratmu, pesan luar biasa dari wanita biasa yang inspirasi semua penikmat novel seperti aku ini. Berawal dari iklim badai salju ekstrim yang menimpah eropa, kiev Ukraina dan Bucharest Romania menewaskan lebih dari 700 orang rakyat miskin setiap tahun karena tidak memiliki sistem pemanas yang canggih terlebih mereka terjebak cuaca dingin ekstrim karena tidak perna ikuti informasi perkiraan cuaca kemudian diangkat menjadi sebuah novel terlaris fersi saya yang sajikan dengan tulisan alami yang membawa setiap pembaca terperangkap di dalam dinginnya salju oleh zlatko zandria kovac ferbuari 1998 silam. Sebagai kisah inspirasiku yang membuat aku tak berhenti berharap tuk melalui kerasnya hidup. Terimalah salam ini, pujaan hatiku salam terakhir dari pria yang selalu mengganggu tidurmu.  Aku aka selalu mencintaimu sampai kapanpun. SEMOGA

***