Oleh: Robertus nauw
Semoga kamu dalam keadaan terenyum ketika membaca surat
ini. Karena surat ini tidak akan rela kalau kamu dalam keadaan murung. Tapi aku
yakin kamu tidak seperti yang kukawatirkan. Kamu tahu keyakinanku sangat
beralasan karena senyum manismu yang manja tidak akan pernah usang ditelan
waktu. Senyum manismu juga akan menambah suasana yang cerah dan indah ini.
Dimana kamu sedang membuka lembaran demi lembaran surat ku ini.
Sudah lama aku ingin mengirim surat kepadamu walau hanya
satu paragraf atau satu bait kata. Sudah lama aku merenung dengan perasaan tak
terucap karena tidak percayakan diri. Kadang aku juga bergumam dengan diriku
sendiri, apa yang harus aku lakukan ketika keberanian tidak pernah hinggap?
Lama kumenunggu jawab. Sementara kata jawab yang kunanti tidak pernah muncul.
Semuanya seperti misteri dan makin menambah tumpukan pertanyaan yang kian
menumpuk.
Walaupun aku menemukan selah jawab, tapi aku kadang masih
saja ragu apakah mungkin kalau aku mengirimkan surat padamu bisa dibaca dengan
penuh ikhlas dan perasaan berbunga-bunga di istanamu yang tak tersentuh? Dalam
hayal aku makin ragu akan hal itu. Sudah pasti hal ini makin menjadi beban yang
selalu menghimpit diriku. Lama-kelamaan himpitan beban perasaan ini terakumulasi
dan tidak bisa lagi aku tampung dalam memoriku. Ketika semuanya berat. Nafas ku
terengah, akalku juga sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sekali lagi
hanya menambah peliknya beban hidupku.
***
Ketika aku sadar bahwa ini semua harus aku emban.
Semangatku tumbuh lagi ketika aku mengimajinasikan kamu. Lantas aku teringan
akan ingatan masa lalu. Disitu aku masih teringat sepenggal kata-kata dalam
bait bukumu, diary yang tanpa sengaja kutemui di kuburan buku, ya itulah kesan
pertama rumaha mu dimataku yang jauh dari keramaian dan kunjungan
sahabat-sahabat setia yang merindukanmu “Perpustakaan Kota Jayapura” sebuah
arel buku fiksi (Novel) yang hening dengan kebisuan, memanggil namaku dalam
kemayaan tanpa dibatasi ruang dan waktu. Kujejakan langkah kakiku mengunjungimu
kala kau mengusik ketenangku, waktuku teregut olehmu seakan tak ada yang bisa
membebaskan aku dalam penjara hatimu.
Dalam Novel “Kapas-Kapas Di langit” kau titipkan sepenggal
bait yang indah nan sungguh sempurna. Hingga sekarang masih aku ingat dan akan
selalu aku ingat, untuk selamanya. Karena sepotong bait itu pula yang mematriku
agar aku tetap tegar walaupun sebenarnya diriku sudah rapuh.
Kamu mungkin sangat penasaran apa isi bait itu? Baik lah
akan aku lantunkan sendiri. Penggalan bait yang kamu tulis itu kira-kira
seperti ini “Banyak kata telah terucap, banyak kata telah kita jalani, banyak
waktu telah bergulir, kita akan selalu bersama…..” sambungan dari kata itu
kurang lebih berbunyi “Perjalanan hidup laksana sebuah bahtera yang menyeruak
diantara nuansa-nuansa kehidupan, kadang kita terseruak aral yang melintang
juga kendala yang menghadang. Namun.…..kita mesti tegarkan diri memastikan arah
langkah tuk membangun hari esok dengan pasti bersama misteri”. Sekali lagi paragraf
itu seperti menjadi simantik, dan rima dalam diri agar aku tetap tegar menerima
dan jalani sisa hidupku.
Jalanan aku sandarkan cita-cita sebab di rumah tak ada
yang memahami, masa depanku akan sirna seiring pudarnya waktu dan debu jalanan
yang berserakan, kalau musafir selalu berkelana mencari peraduan. Aku hanya
lelaki kabut yang selalu dirundung duka, kesuksesan dan kebahagiaan berlalu
pergi dari relung hati.
Namun semua itu sudah berlalu, biarlah hal ini hidup dalam
hidupku. Tidak seharusnya aku mengingat masa lalu. Karena sejarah masa lalu
tidak akan pernah terulang kembali walaupun dalam satu episode. karena belum
tentu kaupun mengenangnya. Mungkin adegan ini akan berbeda ketika carita dalam
episode ini terjadi dalam cerita sinetron atau telenovela ala Amerika Latin.
Tapi cerita ini bukan cerita seperti di film, cerita ini
adalah cerita yang akan selalu bersambung tanpa ada titik akhir. Yang kalah
selalu menikmati pahitnya kekalahan dan yang menang akan selau menikmati
manisnya kemenangan. Begitu juga dengan diriku selama ini tidak pernah berakhir
dengan kemenangan atau kisah yang indah. Perjalanan hidup ku selalu saja
diakhiri dengan tetesan air yang bening, yang menetes dengan hangat di pipiku,
itu pertanda aku gagal dan harus menerima pahitnya hidup.
Memang dalam hidup kita harus menerima semua ini. Tidak
selamanya dalam hidup ini berjalan dengan roda keadilan. Dan sebaliknya roda
ini akan terus berputar pada porosnya. Kita hanya pasrah ketika apa yang kita
harapkan tidak sesuai dengan apa yang kita idamkan, ibarat dunia ide tidak
sejalan dengan realitas. Begitulah dinamika dalam hidup. Penuh dengan
warna-warni. Kadang harus ada yang dikorbankan demi sebuah kemenangan. Itulah
hidup, dimulai dengan membunuh....tuk itu selalu siap bersaing. Bukankah demikian!
***
Aku kadang tidak menyadari arti penting dari dinamika
ini. Aku hanya menginginkan indahnya saja. Sementara rotasi waktu telah
menggelinding. Aku hanya terpaku dengan perasaan bimbang tidak tahu apa yang
harus diperbuat. Diam dan hanya diam. Untung ada yang menegurku ketika aku
hampir terjerumus kerimba belantara, bahwa aku sudah melangkah jauh dan dari
langkah itu ternyata aku kehilangan arah.
Begitulah pergumulan hidupku, melawan ketidak beranian
dalam diriku, mencari orang lain yag bukan dirimu, dia yang selalu ku sebut
dalam tidurku dan dalam setiap mimpi malamku. Dia yang selalu aku puja bersama
waktu, memilikimu adalah keingianan hati terdalamku, namun bagaimana
mengungkapkannya adalah kelemahanku.
Aku pun kemudian sadar bahwa apa yang selam ini aku
lakukan bukanlah ingin membuka lembaran sejarah masa lalu. Apalagi untuk
mengingat romantisme yang dulu pernah kita bangun bersama. Kita sudah sepakat
itu sudah berlalu. Sekali lagi tidak. Kamu tahu kan? Lama aku menanti
keberanian untuk menulis dengan perasaan kalut. Sampai fakta sadarkan aku.
Aku harap kamu tidak salah menduga tentang aku saat
membaca surat ini. Anggaplah hal ini hanyalah kegalauan seorang penghianat yang
hianati kekasihnya. Padahal dia sampai sekarang masih mencintainya dan akan selalu
mencintainya. Seperti Romeo dan Juliet yang mengisahkan kisah cinta sejati.
Tapi kisah cinta kita berbeda. Kisah cinta kita disatukan hanya karena waktu
dan akan segera hilang pula juga karena waktu. Andaikan kisah cinta kita
ditasbihkan dengan perasaan saling memiliki dan mencintai, suasananya tentu
akan berbeda. Itulah bedanya antara fiksi dengan dunia nyata. Sungguh sangat
paradogks.
***
Sekali lagi aku berharap kamu tidak salah menduga tentang
aku saat ini. Jujur aku katakan kepadamu surat ini tidak mempunyai maksud
apa-apa, tidak pula membawa misi, hanya perasaan galau dan gamang. Apalagi
diartikan untuk mengganggu kemesraan kamu yang sekarang sedang kamu rajut
bersama para penghuni surgamu. Sedikit pun aku tidak punya perasaan itu.
Sebaliknya, aku justru merasa bangga kamu bisa mendapatkan pasangan yang lebih
ideal. Aku juga sangat senang ketika kamu juga merasakan kesenangan yang sedang
kamu pupuk bersama saat ini. Keberanianku mengirimkan surat ini hanyalah untuk
meringankan—syukur-syukur bisa menghilangkan—beban berat sejak kita tidak
bersama lagi. Semoga kamu maklum atas diriku.
Lelah memang ketika aku harus berfatamorgana atau
berkamuflase dengan perasaan yang selalu menyeruak di hati. Aku sudah muak
dengan perasaan ini semua. Aku bertekad untuk segera mengakhiri semua perasaan
aku tentang kamu. Tapi itulah yang terjadi dalam lubuk hatiku, ternyata tidak
bisa dibingkai hanya dengan sebuah janji. Janji yang hanya membuat hatiku makin
terluka. Luka dan terus akan luka. aku menyesal tidak memilikimu, tidak
memujamu seperti ysng dulu
Kadang aku sangat marah dengan perjalanan waktu yang
selalu berdetak tanpa mengenal lelah. Karena waktu pulalah kamu harus
meninggalkan aku. Kamu pun tahu bahwa keputusan itu tidak aku inginkan, meski
aku harus menyadari bahwa aku pun tidak bisa mengelak dengan keputusan itu.
Karena ketika kita bersama juga tidak ada jalan paksaan, penuh kesadaran.
Ketika sekarang menjadi seperti saat ini kita pun harus rela. Ini sudah menjadi
keputusan, siapapun tidak boleh membantah. Jangankan aku orang lain pun tidak.
Inilah yang sampai sekarang aku tidak mengerti. Mengapa semua berjalan begitu
cepat?.
Mungkin saat
ini yang tersisah hanyalah kebencian dan kemarahan yang selalu kau peragakan
kepadaku. Kamu selalu menebarkan senyum tatkala aku melihatmu atau tuk sekedar
menyapamu tapi disitu kamu juga menebar dendam yang sulit aku padamkan walau hanya
dengan segelas air. Aku akui susah menebak tentang kamu. Kadang kamu ramah,
kadang juga sebaliknya kamu sangat bengis. Kadang pemurah, tapi kadang kamu
sangat pemarah. Kadang kamu menampakkan sikap lembutmu, namun sebentar kemudian
kamu tampakkan kebencian mu.
Hal itu tidak akan berjalan selamanya. Dalam hidup ada
siklus. Siang dan malam, hitam dan putih, rindu dan benci, cinta dan cita
hanyalah persoalan waktu, keduanya akan bersama ketika asa menderma menjadi
mahkota. Meski demikian, sikap-sikap seperti di atas itulah yang membuat aku
tidak bosan akan kamu. Walaupun sering kamu sakiti, aku anggap itu hal biasa dalam
bercinta, aku sadar akan hal itu.
Namun haruskan semua kebencian cinta harus ditimpakan ke
padaku. Tidak henti-hentinya kebencian cinta terus menghimpit diriku. Lantas
aku bertanya mengapa semua ini harus menimpa diriku? Apakah ini yang disebut
pengorbanan? Tidak, tidak mungkin. Karmahkah? Atau aku memang ditakdirkan untuk
selalu menerima pahitnya cinta dan hidup? Sukar menemukan jawabannya. Percuma
aku harus menghayalkan semua ini. Toh, yang terjadi memang demikian.
Mungkin
saatnya bagi diriku untuk segera bangkit dari hayal panjang yang selama ini
memenjaraku dari kenistaan. Saatnya aku melupakan mimpi kelam kisah hidupku.
Aku harap kamu mampu membantu aku mengatasi ini semua. Entah dengan doa atau
dengan kata tak terucap.
***
Semoga
di jalanan (rumah baruku) ini aku menemukan identitasku kembali yang sekian
lama terombang-ambing. Kiranya banyak hal yang pernah kita alami bersama yang
tidak luput dari salah. Kesalahan sekecil apapun dari aku kiranya kamu bisa
memaafkanku. Sehingga beban ini tidak lagi berat untuk saya bawa kemana-mana.
Rangkaian
kata dari surat ini hanya satu, bahwa aku harus segera mengucapkan selamat
kepadamu. Sekali lagi aku mohon maaf jika ada kesalahan atau dendam yang sampai
saat ini masih kamu pelihara kala menolakmu, mohon maaf. Semoga kamu juga dalam
keadaan tersenyum ketika menutup surat ini. Oh, ya. Ini ada bingkisan. Aku
merasa sangat dihargai kalau kamu sudi memengambil pemberian ini.
Sepenggal pesan “banyak kata telah terucap, banyak kata
telah kita jalani, banyak waktu telah bergulir, kita akan selalu bersama.
perjalanan hidup laksana sebuah bahtera yang menyeruak diantara nuansa
kehidupan, kadang kita terseruak aral yang melintang juga kendala yang
menghadang. Namun, kita mesti tegarkan diri memastikan arah langkah tuk
membangun hari esok dengan pasti bersama misteri hidup”. Aku tak butuh iba dan
nasehatmu. Sana pergi aku mampu jalani hidup dengan caraku sendiri dari aku
penggemar beratmu, pesan luar biasa dari wanita biasa yang inspirasi semua
penikmat novel seperti aku ini. Berawal dari iklim badai salju ekstrim yang
menimpah eropa, kiev Ukraina dan Bucharest Romania menewaskan lebih dari 700
orang rakyat miskin setiap tahun karena tidak memiliki sistem pemanas yang
canggih terlebih mereka terjebak cuaca dingin ekstrim karena tidak perna ikuti
informasi perkiraan cuaca kemudian diangkat menjadi sebuah novel terlaris fersi
saya yang sajikan dengan tulisan alami yang membawa setiap pembaca terperangkap
di dalam dinginnya salju oleh zlatko zandria kovac ferbuari 1998 silam. Sebagai
kisah inspirasiku yang membuat aku tak berhenti berharap tuk melalui kerasnya
hidup. Terimalah salam ini, pujaan hatiku salam terakhir dari pria yang selalu
mengganggu tidurmu. Aku aka selalu
mencintaimu sampai kapanpun. SEMOGA
***