Penulis : Roberth Jitmau

Padahal,
untuk pembangunan pasar, Pemprov sediri sudah mengalokasikan dana selama 3
tahun APBD secara berturut-turut, yakni Tahun 2010-2011 sebesar 10 Milyard;
tahun 2011-2012 sebesar 10 milyard; tahun 2012-2013 sebesar 25 milyard yang
dibagi dengan Damri sebesar 15 milyard dan untuk pembangunan pasar Mama-Mama
sebesar 10 milyard.
Jadi,
total dana pembangunan untuk pasar Mama-Mama adalah 45 milyard yang nasibnya
kini tidak jelas, sejalan dengan ketidakjelasan pembangunan pasar bagi Mama-Mama Papua.
Jika
ditanya antara kemasan dan substansi, maka saya adalah orang yang memilih
keduanya. Saya memilih kemasan-pembangunan pasar secara fisik dan khusus untuk
orang asli Papua, sekaligus substansinya, yakni menyangkut pembinaan,
pengawasan dan permodalan.
Alasannya:
Pertama, secara sosio-antropologis,
terkait dengan perkembangan manusia, budaya dagang orang Papua tidak sampai
ke tingkat merkatilis, seperti yang dialami oleh suku-suku di Indonesia: Cina,
Jawa, Makassar, Aceh atau Melayu.
Kerena itu, mengapa mereka berhasil menguasai
pasar di Papua dan banyak melahirkan saudagar-saudagar kaya di Indonesia,
sementara sampai saat ini tidak ada satu pun orang Papua yang murni muncul
sebagai pengusaha sukses tanpa bantuan pemerintah daerah.
Mama-Mama sebagai pelaku ekonomi di Pasar tradisional yang bisa digolongkan
pengusaha murni di sektor UKM ini yang memiliki modal, alat produksi, dan waktu
kerja yang mereka atur sendiri, perlu dilindungi karena keberadan mereka di
pasar-pasar tradisional mampu merepresentasikan lembaga ketahanan ekonomi
orang asli Papua, lembaga ketahanan sosial, sekaligus lembaga ketahanan
kultural. Pasar tradisional merupakan representasi dari kultur masyarakat
Papua.
Sebagai
lembaga ketahanan ekonomi sekaligus ketahanan sosial, pasar tradisional di
Papua memiliki jaringan amat luas hingga ke wilayah pedesaan di sekitarnya,
yaitu terdiri dari pedagang perantara, produsen hingga petani.
Tetapi,
pasar tradisional akan kalah karena memiliki daya tawar yang rendah bila
dihadapkan pada pemodal besar atau pasar modern yang memiliki akses langsung
pada produsen utama.
Kedua, secara normatif,
bahwa Otsus dibuat untuk merekayasa orang Papua (law is a tool for social enginering), karena itu kenapa disebut
dengan afirmatif action dimana di dalamnya
ada nilai keberpihakan, perlindungan, dan penghormatan.
Otsus
ada agar ada transformasi sosial, budaya, dan ekonomi orang Papua. Supaya ada
tranformasi dan lompatan orang Papua yang tertinggal dari saudara-saudaranya di
wilayah Indonesia yang lain, maka perlu ada tindakan, rekayasa, dan campur
tangan pemerintah daerah yang tegas berupa kebijakan yang berani dan
revolusiner agar pola perilaku ekonomi orang Papua berubah secara cepat;
perilaku konsumtif berubah jadi perilaku hemat, menabung, dan mengakumulasi kapital,
serta bila perlu berorientasi money oriented.
Tindakan
ini bukan mustahil tidak bisa dilakukan mengingat pemerintah Malaysia dulu
melakukan hal serupa agar secara ekonomi orang Melayu bisa sejajar dengan orang
China. Otsus menyediakan ruang untuk melakukan itu.
UU
Otsus adalah produk diskriminasi, namun positif ke dalam bagi orang Papua untuk
mengejar ketertinggalannya. Dan, demi harmonisasi dalam kehidupan bernegara,
maka harus ada keadilan dan pemerataan secara ekonomi, walau mereka yang lain
harus disingkirkan.
Sekarang
tinggal Bapak Gubernur dan mereka yang ada di DPR Papua, apakah berani
melahirkan Perdasi/Perdasus untuk melindungi orang asli Papua, ataukah tetap
bermental feodal dengan meminta petunjuk ke Jakarta?
Saya
yakin, dengan kecerdasan Bapak dan situasi politik Papua saat ini, Bapak bisa
melakukan kebijakan apa saja yang bersifat revolusioner untuk melindungi orang
Papua asli Papua. Perlu Bapak Gubernur tahu, bahwa pasar tidak selamanya bebas.
Dan, uang harus diatur agar uang tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang,
sementara yang lain miskin karena tidak memiliki uang. Pasar harus diintervensi dan diatur.
Untuk
itulah masyarakat memerlukan negara dan pemerintah agar menjadi wasit di setiap
aspek kehidupan -tak terkecuali- juga pasar. Pasar harus diintervensi agar ada
keadilan antara mereka yang lemah, yang diwakili oleh para pedagang
tradisional dan kelompok yang kuat, yakni pedang ritel, hypermaket,
supermarket, minimarket dan toko modern lainnya.
Itulah
mengapa
di dalam konstitusi negara kita, yakni pasal 27 dan 33 UUD 1945, telah
menegaskan bahwa untuk mencegah agar ekonomi negara kita tidak dikuasai
oleh
sekelompok orang, maka pemerintah perlu ikut campur tangan agar ada
keadilan
dan pemerataan ekonomi. Pemerintah kemudian mengatur secara lebih tegas
lagi
di dalam Pepres Nomor 112 Tahun 2007 tentang Pembagian Usaha Antara
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, dan diikuti
dengan Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisioanal,
Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Dengan
demikian, maka pembangunan pasar Mama-Mama tidak boleh diletakan dalam relasi
politik, namun harus dipandang dari sisi ekonomi kerakyatan yang bernafaskan
Pancasila dan Otsus bagi orang asli Papua. Perlu Bapak Gubernur ketahui bahwa
dengan lahirnya peraturan ini, maka beberapa daerah di Indonesia sudah
mengambil tindakan tegas untuk melindungi para pedagang tradisionalnya. Pemkot
Denpasar: mengeluarkan larangan untuk ijin pendirian toko modern; Pemkab
Indaramayu dan Pemkot Solo, Yogyakarta: mengeluarkan larangan yang sama untuk
izin pendirian minimarket; Pemkot Sukabumi: membatasi jumlah pendirian
minimarket di wilayahnya; Pemkab Bantul: menolak pendirian Mall dengan
Peraturan Bupati Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penataan Toko Modern di Kabupaten Bantul.
Pertanyaannya
adalah jika daerah-daerah ini, yang hanya berpegang pada otonomi daerah,
berani dan tegas membuat Perda untuk melindungi pedagang tradionalnya,
bagaimana dengan Papua yang memiliki Otonomi Khusus?
Perdasus
bahkan Perda di tingkat kabupten/Kota pun sampai saat ini belum ada yang dibuat
untuk mengatur nasib Mama-Mama ini.
Ketiga, secara realitas.
Jika pedagang tradisional di daerah lain harus berhadapan dengan kapitalisme
pertokoan modern, nasib Mama-Mama di Papua lebih mengenaskan lagi karena
mereka berhadapan dengan pedagang pendatang dan pertokoan modern yang mulai
tumbuh subur di beberapa Kota besar di Papua -yang juga menjual komoditas yang
dijual oleh Mama-Mama. Kita saksikan saja, pinang dan sagu saat ini tidak saja
dimonopoli oleh orang Papua. Juga komoditas lokal lainnya.
Coba,
kita ke Pasar Prahara, Kabupaten Jayapura, pinang dan sagu tidak lagi dijual
oleh orang Papua saja. Di Jayapura saja ada dua belas pertokoan modern yang
menjual komoditas yang dijual oleh Mama-Mama, dan empat ratusan lebih gerobak
motor yang mengangkut komoditas yang sama ke gang-gang dan pemukiman padat
penduduk.
Dampaknya kini pasar-pasar sepi pengunjung akibat mereka yang berduit
lebih memilih berbelanja di mall-mall, Hypermarket, Ramayana, Argo, dll.
Sementara warga kebanyakan sudah berbelanja langsung di depan rumah, daripada
mereka harus ke pasar-pasar.
Akibatnya,
kami sendiri mendapat keluhan di beberapa pasar-pasar di Jayapura, seperti Pasar
Mama-Mama Papua di Jln Percetakan Kota Jayapura, Pasar Hamadi, Yotefa, Ekspo-
Waena, dan Pasar Prahara Kabupaten Jayapura.
Bapak Gubernur yang mulia, saya
yakin jeritan Mama-Mama ini pasti dialami oleh seluruh Mama-Mama di tanah
Papua, jika tidak ada kebijakan yang tegas untuk melindungi mereka.
Kita
tidak perlu ragu terhadap Mama-Mama kita dan pedagang asli Papua lainnya.
Perlu ada optimisme. Apa yang dilakukan oleh Muhamad Yunus di Bangladesh, bisa
menjadi referensi untuk kita bisa mendesain, dan merekayasa Mama-Mama dan
pedagang asli Papua lainnya agar mereka bisa maju.
Kemauan dan kerja keras Mama-Mama dan pedagang asli Papua lainya untuk survive dan bertahan hidup dengan
terus berjualan untuk membantu ekonomi keluarga adalah modal utama yang bisa
dijadikan pintu masuk oleh pemerintah untuk membantu mereka.
Pemerintah
tidak perlu ragu tentang jiwa enterpreneur mereka. Bayangkan, Mama-Mama
penjual ikan asar ada yang bisa berjualan sampai puluhan tahun. Begitu juga
dengan Mama-Mama penjual pinang, sayur, buah, dan bumbu-bumbuan yang bisa
dijumpai di pasar-pasar di kota Jayapura. Pemerintah tinggal butuh sentuhan
kecil yang tepat, terukur, dan terencana, maka saya yakin Mama-Mama dan
pedagang asli Papua lainnya bisa maju.
Saya
ingin mencontohkan empat orang Mama-Mama saat ini yang berjualan di pasar
sementara Mama-Mama di Jalan Percetakan Kota Jayapura. Dulu sebelum ada pasar,
Mama Bonsapia dan Mama Sawen adalah dua orang Mama-Mama yang setiap malam
tidur di emperan Toko di Jalan Irian Kota Jayapura untuk menjajakan pinang satu tumpuk
di atas meja ukuran 1x1,75 m, hanya untuk mendapatkan keuntungan yang hanya
berkisar dari 300 ribu - 500 ribu.
Kini,
dengan ada pasar, kedua Mama ini sudah bisa membuka warung makan makanan khas
Papua, membeli kulkas, menjual dan menjajakan kopi, minuman ringan, indomie
rebus serta pulsa. Sedangkan Mama Adii dan Antoh, yang dulunya hanya berjualan
buah di depan Galael dan sayur di Ampera, kini mengisi dagangannya dengan
berbagai jenis bumbu-bumbu dapur, telur, tahu, ayam, minyak kelapa, bawang
putih dan merah secara kiloan. Perubahan ini tentunya secara otomatis menaikan
omzet mereka.
Mengapa
perlu ada pasar khusus?
Bapak
Gubernur yang baik, ada beberapa nilai yang menjadi dasar perjuangan SOLPAP
untuk mendorong agar ada pembangunan pasar permanen bagi Mama-Mama dan
pedagang Papua lainnya:
Nilai
Yuridis Formal-Otonomi Khusus Papua: Proteksi hak-hak orang asli Papua
di dalam UU Otsus lewat Afirmative Action
di dalam bidang ekonomi. Karena itu, melihat kondisi yang dialami Mama-Mama di mana
mereka berjualan di trotoar, di atas aspal, di emperan toko, di pingir jalan
raya, dan pasar-pasar umum pemerintah yang becek, bau, dan pengap, dan resiko
ketersingkiran yang akan dialami, maka maka harus ada pasar khusus untuk
mereka.
Nilai
filosofis: Pentingnya pasar permanen agar eksistensi orang asli
Papua di atas tanahnya sendiri tidak tercabut dari berbagai segi, salah satunya
adalah pasar khusus sebagai wadah bagi Mama-Mama dan pedagang Papua untuk bisa
mengekspesikan segala kemampuan yang dimiliki melalui kreativitas dan inovasi
dalam bidang ekonomi agar mereka tidak tergeser secara langsung dalam interaksi
ekonomi dengan pedagang dari luar.
Sosial
kultural:
Mengingat budaya dagang belum dimiliki orang Papua, khususnya Mama-Mama dan
pedagang Papua lainnya yang sedang menggeluti dunia ini, maka keberadaan pasar
khusus bagi mereka bisa menjadi sarana tranformasi secara perlahan-lahan agar
pola berdagang Mama-Mama dan pedagang Papua lainnya bisa berubah dari pola
pikir, tingkah laku dalam berusaha, dan beorientasi pada keuntungan ekonomi.
Ekonomi:
Mengingat Mama-Mama harus bersaing dengan pedagang "amber" atau pendatang,
serta pedagang-pedagang berskala modern, maka kehadiran pasar khusus dapat
menciptakan keadilan ekonomi bagi Mama-Mama dan Pedagang Papua lainnya sebagai
pedagang tradisional.
Pendidikan:
Adanya pasar permanen dan khusus dapat menjadi sarana bagi pemerintah untuk
melakukan pelatihan, pembinaan, pengawasan dan agar orang asli Papua dapat
berdagang secara profesioanal dan terampil seperti para pendatang dari luar.
Nilai
pariwisata: Kekhasan dan kekhususan Papua tidak hilang karena
pasar khusus dan permanen dapat menjadi sarana untuk menunjukan kepada dunia
luar bahwa kebudayaan Papua tidak hilang akibat serbuan migrasi yang gencar
mengalir ke Papua. Pasar ini nantinya juga memiliki nilai turisme yang dapat
menambah devisa bagi Pemerintah Provinsi Papua dan Pemkot Jayapura.
Keberadan
pasar nantinya: Bapak Gubernur yang baik, seperti yang sudah kami
jelaskan berkali-kali di atas, bahwa semata-mata kami menginginkan pasar ini
agar ada proteksi dan keberpihakan kepada Mama-Mama kita dan pedagang Papua
lainnya.
Pasar
harus dibangun, dan tetap berlokasi di DAMRI agar bisa menolong para pembatik,
pengrajin, usaha warung, salon, dan para pedagang Papua lainya yang tidak bisa
mengakses ruko di pusat Kota, karena harga jual dan sewa yang mahal. Jika
dibangun, kami minta pasar ini dikelola oleh Pemprov Papua sebagai
tanggungjawab pelaksana Pemerintahan di Papua.
Perlu
juga Bapak ketahui bahwa SOLPAP bukanlah organisasi ekonomi yang bisa
mengelola pasar. SOLPAP hanya wadah solidaritas dari LSM, Pers, Gereja,
Mahasiswa, Pemuda, Organisasi Perempuan, dan individu-individu yang bersolider
untuk kondisi ketidakadilan yang dialami oleh Mama-Mama dan Pedagang Papua
lainnya.
Jika sudah dikelola oleh pemerintah, sebaiknya pasar berbentuk
Perusahaan Daerah (PD). Karena dengan bentuk PD, bagian-bagian di dalam PD bisa
dibentuk untuk melakukan pembinaan langsung kepada Mama-Mama Papua.
Belajar
dari
PD pasar di Solo dan Klaten, bagian di dalam PD bisa diisi dengan
unit-unit, seperti unit pelatihan, pembinaan dan pengawasan, unit
penataan dan
manejeman, unit permodalan, unit promosi usaha, dan unit kebersihan. Ada
seribu
lebih pedagang asli Papua yang terdiri Mama-Mama yang tersebar di kota
Jayapura.
Mereka
ini terdiri dari para pembetik, para seniman ukir, lukisan kulit kayu, salon,
warung makan, dan kerajinan tangan yang pernah didata oleh SOLPAP dan
diserahkan kepada Kepala Cipta Karya PU Provinsi Papua untuk kepentingan desain
pembangunan pasar permanen.
Tentang
desain pasar, SOLPAP tidak menginginkan desain pasar yang berlantai lima atau
enam. Cukup empat lantai dengan fungsi, lantai pertama untuk jualan basah
seperti sayur-sayuran, buah- buahan, ikan, dll. Sedangkan lantai dua digunakan
untuk jualan kering, seperti warung makan, kerajinan tangan, salon, batik, dll.
Lantai tiga untuk aula pertemuan, bank, puskemas, dan PAUD untuk tempat belajar
anak Mama-Mama pasar. Sedangkan lantai empatnya digunakan untuk parkiran di
Pasar sekaligus terintegrasi untuk parkiran di Kota Jayapura agar mengurangi
kemacetan.
Terakhir, Bapak tidak perlu
ragu terhadap sumbangan dari pasar ini terhadap pendapatan asli daerah (PAD),
jika jumlah penjual seperti yang kami data di atas, maka perhitungnya adalah
kalau setiap lima hari para penjual ditarik retribusi sekitar 3 ribu rupiah,
maka selama 1 tahun pasar Mama-Mama akan mampu menyumbang total 1 milyard
kepada pemerintah daerah.
Sedangkan
estimasi penghitungan PU tentang delapan ratus kendaraan yang bisa parkir di
pasar ini, setiap tahun dengan karcis 1000 rupiah untuk roda dua dan 2000
rupiah untuk roda empat, maka total yang juga akan disumbangkan adalah 756 juta
rupiah.
Sedangkan
estimasi penghitungan PU tentang delapan ratus kendaraan yang bisa parkir di
pasar ini, setiap tahun dengan karcis 1000 rupiah untuk roda dua dan 2000
rupiah untuk roda empat, maka total yang juga akan disumbangkan adalah 756 juta
rupiah.
Di
akhir surat ini, kami
hanya mau menyentil Bapak, kalau di Jogjakarta terkenal dengan pasar
Beringharjo, di Solo terkenal dengan Pasar Klewer, maka sudah saatnya di Papua
terkenal dengan Pasar Mama-Mama Papua. Semoga.... Tuhan memberkati!.
Roberth Jitmau adalah sekretaris Solidaritas Mama-Mama Pedagang Asli Papua (SOLPAP).
Surat ini juga sudah diserahkan kepada Gubernur Papua melalui Ketua Sinode GIDI
dan ditandatangani langsung oleh Koordinator SOLPAP, Pdt. Dora Balubun, S.Th
sumber: http://majalahselangkah.com/content/pasar-mama-mama-jalan-masuk-mengangkat-ekonomi-orang-papua, Senin, 14 Oktober 2013 18:52