Selasa, 15 Oktober 2013

l Pasar Mama-Mama Jalan Masuk Mengangkat Ekonomi Orang Papua

(Sebuah Surat Terbuka untuk Gubernur Provinsi Papua)



Penulis : Roberth Jitmau 
 



Sejak dilantik pada 9 April 2013, Bapak selaku Gubernur Papua memasukan program pembangunan pasar Mama-Mama Papua dalam program 100 hari kerja Bapak. Selanjutnya, pada 19 Juli 2013, Bapak telah telah memerintahkan PU Provinsi Papua untuk membentuk tim pembangunan pasar Mama-Mama, namun kenyataannya sampai kini pembangunan pasar tersebut sama sekali belum terealisasi.
Padahal, untuk pembangunan pasar, Pemprov sediri sudah mengalokasikan dana selama 3 tahun APBD secara berturut-turut, yakni Tahun 2010-2011 sebesar 10 Milyard; tahun 2011-2012 sebesar 10 milyard; tahun 2012-2013 sebesar 25 milyard yang dibagi dengan Damri sebesar 15 milyard dan untuk pembangunan pasar Mama-Mama sebesar 10 milyard.
Jadi, total dana pembangunan untuk pasar Mama-Mama adalah 45 milyard yang nasibnya kini tidak jelas, sejalan dengan ketidakjelasan pembangunan pasar bagi Mama-Mama Papua.
Jika ditanya antara kemasan dan substansi, maka saya adalah orang yang memilih keduanya. Saya memilih kemasan-pembangunan pasar secara fisik dan khusus untuk orang asli Papua, sekaligus substansinya, yakni menyangkut pembinaan, pengawasan dan permodalan.
Alasannya: Pertama, secara sosio-antropologis, terkait dengan perkembangan manusia, budaya dagang orang Papua tidak sampai ke tingkat merkatilis, seperti yang dialami oleh suku-suku di Indonesia: Cina, Jawa, Makassar, Aceh atau Melayu.
Kerena itu, mengapa mereka berhasil menguasai pasar di Papua dan banyak melahirkan saudagar-saudagar kaya di Indonesia, sementara sampai saat ini tidak ada satu pun orang Papua yang murni muncul sebagai pengusaha sukses tanpa bantuan pemerintah daerah.
Mama-Mama sebagai pelaku ekonomi di Pasar tradisional yang bisa digolongkan pengusaha murni di sektor UKM ini yang memiliki modal, alat produksi, dan waktu kerja yang mereka atur sendiri, perlu dilindungi karena keberadan mereka di pasar-pasar tradisional mampu merepresentasikan lembaga ketahanan ekonomi orang asli Papua, lembaga ketahanan sosial, sekaligus lembaga ketahanan kultural. Pasar tradisional merupakan representasi dari kultur masyarakat Papua.
Sebagai lembaga ketahanan ekonomi sekaligus ketahanan sosial, pasar tradisional di Papua memiliki jaringan amat luas hingga ke wilayah pedesaan di sekitarnya, yaitu terdiri dari pedagang perantara, produsen hingga petani.
Tetapi, pasar tradisional akan kalah karena memiliki daya tawar yang rendah bila dihadapkan pada pemodal besar atau pasar modern yang memiliki akses langsung pada produsen utama.
Kedua, secara normatif, bahwa Otsus dibuat untuk merekayasa orang Papua (law is a tool for social enginering), karena itu kenapa disebut dengan afirmatif action dimana di dalamnya ada nilai keberpihakan, perlindungan, dan penghormatan.
Otsus ada agar ada transformasi sosial, budaya, dan ekonomi orang Papua. Supaya ada tranformasi dan lompatan orang Papua yang tertinggal dari saudara-saudaranya di wilayah Indonesia yang lain, maka perlu ada tindakan, rekayasa, dan campur tangan pemerintah daerah yang tegas berupa kebijakan yang berani dan revolusiner agar pola perilaku ekonomi orang Papua berubah secara cepat; perilaku konsumtif berubah jadi perilaku hemat, menabung, dan mengakumulasi kapital, serta bila perlu berorientasi money oriented.
Tindakan ini bukan mustahil tidak bisa dilakukan mengingat pemerintah Malaysia dulu melakukan hal serupa agar secara ekonomi orang Melayu bisa sejajar dengan orang China. Otsus menyediakan ruang untuk melakukan itu.
UU Otsus adalah produk diskriminasi, namun positif ke dalam bagi orang Papua untuk mengejar ketertinggalannya. Dan, demi harmonisasi dalam kehidupan bernegara, maka harus ada keadilan dan pemerataan secara ekonomi, walau mereka yang lain harus disingkirkan.
Sekarang tinggal Bapak Gubernur dan mereka yang ada di DPR Papua, apakah berani melahirkan Perdasi/Perdasus untuk melindungi orang asli Papua, ataukah tetap bermental feodal dengan meminta petunjuk ke Jakarta?
Saya yakin, dengan kecerdasan Bapak dan situasi politik Papua saat ini, Bapak bisa melakukan kebijakan apa saja yang bersifat revolusioner untuk melindungi orang Papua asli Papua. Perlu Bapak Gubernur tahu, bahwa pasar tidak selamanya bebas. Dan, uang harus diatur agar uang tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang, sementara yang lain miskin karena tidak memiliki uang. Pasar harus diintervensi dan diatur.
Untuk itulah masyarakat memerlukan negara dan pemerintah agar menjadi wasit di setiap aspek kehidupan -tak terkecuali- juga pasar. Pasar harus diintervensi agar ada keadilan antara mereka yang lemah, yang diwakili oleh para pedagang tradisional dan kelompok yang kuat, yakni pedang ritel, hypermaket, supermarket, minimarket dan toko modern lainnya.
Itulah mengapa di dalam konstitusi negara kita, yakni pasal 27 dan 33 UUD 1945, telah menegaskan bahwa untuk mencegah agar ekonomi negara kita tidak dikuasai oleh sekelompok orang, maka pemerintah perlu ikut campur tangan agar ada keadilan dan pemerataan ekonomi. Pemerintah kemudian mengatur secara lebih tegas lagi di dalam Pepres Nomor 112 Tahun 2007 tentang Pembagian Usaha Antara Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, dan diikuti dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53 Tahun 2008 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisioanal, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Dengan demikian, maka pembangunan pasar Mama-Mama tidak boleh diletakan dalam relasi politik, namun harus dipandang dari sisi ekonomi kerakyatan yang bernafaskan Pancasila dan Otsus bagi orang asli Papua. Perlu Bapak Gubernur ketahui bahwa dengan lahirnya peraturan ini, maka beberapa daerah di Indonesia sudah mengambil tindakan tegas untuk melindungi para pedagang tradisionalnya. Pemkot Denpasar: mengeluarkan larangan untuk ijin pendirian toko modern; Pemkab Indaramayu dan Pemkot Solo, Yogyakarta: mengeluarkan larangan yang sama untuk izin pendirian minimarket; Pemkot Sukabumi: membatasi jumlah pendirian minimarket di wilayahnya; Pemkab Bantul: menolak pendirian Mall dengan Peraturan Bupati Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penataan Toko Modern di Kabupaten Bantul.
Pertanyaannya adalah jika daerah-daerah ini, yang hanya berpegang pada otonomi daerah, berani dan tegas membuat Perda untuk melindungi pedagang tradionalnya, bagaimana dengan Papua yang memiliki Otonomi Khusus?
Perdasus bahkan Perda di tingkat kabupten/Kota pun sampai saat ini belum ada yang dibuat untuk mengatur nasib Mama-Mama ini.
Ketiga, secara realitas. Jika pedagang tradisional di daerah lain harus berhadapan dengan kapitalisme pertokoan modern, nasib Mama-Mama di Papua lebih mengenaskan lagi karena mereka berhadapan dengan pedagang pendatang dan pertokoan modern yang mulai tumbuh subur di beberapa Kota besar di Papua -yang juga menjual komoditas yang dijual oleh Mama-Mama. Kita saksikan saja, pinang dan sagu saat ini tidak saja dimonopoli oleh orang Papua. Juga komoditas lokal lainnya.
Coba, kita ke Pasar Prahara, Kabupaten Jayapura, pinang dan sagu tidak lagi dijual oleh orang Papua saja. Di Jayapura saja ada dua belas pertokoan modern yang menjual komoditas yang dijual oleh Mama-Mama, dan empat ratusan lebih gerobak motor yang mengangkut komoditas yang sama ke gang-gang dan pemukiman padat penduduk.
Dampaknya kini pasar-pasar sepi pengunjung akibat mereka yang berduit lebih memilih berbelanja di mall-mall, Hypermarket, Ramayana, Argo, dll. Sementara warga kebanyakan sudah berbelanja langsung di depan rumah, daripada mereka harus ke pasar-pasar.
Akibatnya, kami sendiri mendapat keluhan di beberapa pasar-pasar di Jayapura, seperti Pasar Mama-Mama Papua di Jln Percetakan Kota Jayapura, Pasar Hamadi, Yotefa, Ekspo- Waena, dan Pasar Prahara Kabupaten Jayapura.
Bapak Gubernur yang mulia, saya yakin jeritan Mama-Mama ini pasti dialami oleh seluruh Mama-Mama di tanah Papua, jika tidak ada kebijakan yang tegas untuk melindungi mereka.
Kita tidak perlu ragu terhadap Mama-Mama kita dan pedagang asli Papua lainnya. Perlu ada optimisme. Apa yang dilakukan oleh Muhamad Yunus di Bangladesh, bisa menjadi referensi untuk kita bisa mendesain, dan merekayasa Mama-Mama dan pedagang asli Papua lainnya agar mereka bisa maju.
Kemauan dan kerja keras Mama-Mama dan pedagang asli Papua lainya untuk survive dan bertahan hidup dengan terus berjualan untuk membantu ekonomi keluarga adalah modal utama yang bisa dijadikan pintu masuk oleh pemerintah untuk membantu mereka.
Pemerintah tidak perlu ragu tentang jiwa enterpreneur mereka. Bayangkan, Mama-Mama penjual ikan asar ada yang bisa berjualan sampai puluhan tahun. Begitu juga dengan Mama-Mama penjual pinang, sayur, buah, dan bumbu-bumbuan yang bisa dijumpai di pasar-pasar di kota Jayapura. Pemerintah tinggal butuh sentuhan kecil yang tepat, terukur, dan terencana, maka saya yakin Mama-Mama dan pedagang asli Papua lainnya bisa maju.
Saya ingin mencontohkan empat orang Mama-Mama saat ini yang berjualan di pasar sementara Mama-Mama di Jalan Percetakan Kota Jayapura. Dulu sebelum ada pasar, Mama Bonsapia dan Mama Sawen adalah dua orang Mama-Mama yang setiap malam tidur di emperan Toko di Jalan Irian Kota Jayapura untuk menjajakan pinang satu tumpuk di atas meja ukuran 1x1,75 m, hanya untuk mendapatkan keuntungan yang hanya berkisar dari 300 ribu - 500 ribu.
Kini, dengan ada pasar, kedua Mama ini sudah bisa membuka warung makan makanan khas Papua, membeli kulkas, menjual dan menjajakan kopi, minuman ringan, indomie rebus serta pulsa. Sedangkan Mama Adii dan Antoh, yang dulunya hanya berjualan buah di depan Galael dan sayur di Ampera, kini mengisi dagangannya dengan berbagai jenis bumbu-bumbu dapur, telur, tahu, ayam, minyak kelapa, bawang putih dan merah secara kiloan. Perubahan ini tentunya secara otomatis menaikan omzet mereka.
Mengapa perlu ada pasar khusus?
Bapak Gubernur yang baik, ada beberapa nilai yang menjadi dasar perjuangan SOLPAP untuk mendorong agar ada pembangunan pasar permanen bagi Mama-Mama dan pedagang Papua lainnya:
Nilai Yuridis Formal-Otonomi Khusus Papua: Proteksi hak-hak orang asli Papua di dalam UU Otsus lewat Afirmative Action di dalam bidang ekonomi. Karena itu, melihat kondisi yang dialami Mama-Mama di mana mereka berjualan di trotoar, di atas aspal, di emperan toko, di pingir jalan raya, dan pasar-pasar umum pemerintah yang becek, bau, dan pengap, dan resiko ketersingkiran yang akan dialami, maka maka harus ada pasar khusus untuk mereka.
Nilai filosofis: Pentingnya pasar permanen agar eksistensi orang asli Papua di atas tanahnya sendiri tidak tercabut dari berbagai segi, salah satunya adalah pasar khusus sebagai wadah bagi Mama-Mama dan pedagang Papua untuk bisa mengekspesikan segala kemampuan yang dimiliki melalui kreativitas dan inovasi dalam bidang ekonomi agar mereka tidak tergeser secara langsung dalam interaksi ekonomi dengan pedagang dari luar.
Sosial kultural: Mengingat budaya dagang belum dimiliki orang Papua, khususnya Mama-Mama dan pedagang Papua lainnya yang sedang menggeluti dunia ini, maka keberadaan pasar khusus bagi mereka bisa menjadi sarana tranformasi secara perlahan-lahan agar pola berdagang Mama-Mama dan pedagang Papua lainnya bisa berubah dari pola pikir, tingkah laku dalam berusaha, dan beorientasi pada keuntungan ekonomi.
Ekonomi: Mengingat Mama-Mama harus bersaing dengan pedagang "amber" atau pendatang, serta pedagang-pedagang berskala modern, maka kehadiran pasar khusus dapat menciptakan keadilan ekonomi bagi Mama-Mama dan Pedagang Papua lainnya sebagai pedagang tradisional.
Pendidikan: Adanya pasar permanen dan khusus dapat menjadi sarana bagi pemerintah untuk melakukan pelatihan, pembinaan, pengawasan dan agar orang asli Papua dapat berdagang secara profesioanal dan terampil seperti para pendatang dari luar.
Nilai pariwisata: Kekhasan dan kekhususan Papua tidak hilang karena pasar khusus dan permanen dapat menjadi sarana untuk menunjukan kepada dunia luar bahwa kebudayaan Papua tidak hilang akibat serbuan migrasi yang gencar mengalir ke Papua. Pasar ini nantinya juga memiliki nilai turisme yang dapat menambah devisa bagi Pemerintah Provinsi Papua dan Pemkot Jayapura.
Keberadan pasar nantinya: Bapak Gubernur yang baik, seperti yang sudah kami jelaskan berkali-kali di atas, bahwa semata-mata kami menginginkan pasar ini agar ada proteksi dan keberpihakan kepada Mama-Mama kita dan pedagang Papua lainnya.
Pasar harus dibangun, dan tetap berlokasi di DAMRI agar bisa menolong para pembatik, pengrajin, usaha warung, salon, dan para pedagang Papua lainya yang tidak bisa mengakses ruko di pusat Kota, karena harga jual dan sewa yang mahal. Jika dibangun, kami minta pasar ini dikelola oleh Pemprov Papua sebagai tanggungjawab pelaksana Pemerintahan di Papua.
Perlu juga Bapak ketahui bahwa SOLPAP bukanlah organisasi ekonomi yang bisa mengelola pasar. SOLPAP hanya wadah solidaritas dari LSM, Pers, Gereja, Mahasiswa, Pemuda, Organisasi Perempuan, dan individu-individu yang bersolider untuk kondisi ketidakadilan yang dialami oleh Mama-Mama dan Pedagang Papua lainnya.
Jika sudah dikelola oleh pemerintah, sebaiknya pasar berbentuk Perusahaan Daerah (PD). Karena dengan bentuk PD, bagian-bagian di dalam PD bisa dibentuk untuk melakukan pembinaan langsung kepada Mama-Mama Papua.
Belajar dari PD pasar di Solo dan Klaten, bagian di dalam PD bisa diisi dengan unit-unit, seperti unit pelatihan, pembinaan dan pengawasan, unit penataan dan manejeman, unit permodalan, unit promosi usaha, dan unit kebersihan. Ada seribu lebih pedagang asli Papua yang terdiri Mama-Mama yang tersebar di kota Jayapura.
Mereka ini terdiri dari para pembetik, para seniman ukir, lukisan kulit kayu, salon, warung makan, dan kerajinan tangan yang pernah didata oleh SOLPAP dan diserahkan kepada Kepala Cipta Karya PU Provinsi Papua untuk kepentingan desain pembangunan pasar permanen.
Tentang desain pasar, SOLPAP tidak menginginkan desain pasar yang berlantai lima atau enam. Cukup empat lantai dengan fungsi, lantai pertama untuk jualan basah seperti sayur-sayuran, buah- buahan, ikan, dll. Sedangkan lantai dua digunakan untuk jualan kering, seperti warung makan, kerajinan tangan, salon, batik, dll.
Lantai tiga untuk aula pertemuan, bank, puskemas, dan PAUD untuk tempat belajar anak Mama-Mama pasar. Sedangkan lantai empatnya digunakan untuk parkiran di Pasar sekaligus terintegrasi untuk parkiran di Kota Jayapura agar mengurangi kemacetan.
Terakhir, Bapak tidak perlu ragu terhadap sumbangan dari pasar ini terhadap pendapatan asli daerah (PAD), jika jumlah penjual seperti yang kami data di atas, maka perhitungnya adalah kalau setiap lima hari para penjual ditarik retribusi sekitar 3 ribu rupiah, maka selama 1 tahun pasar Mama-Mama akan mampu menyumbang total 1 milyard kepada pemerintah daerah.
Sedangkan estimasi penghitungan PU tentang delapan ratus kendaraan yang bisa parkir di pasar ini, setiap tahun dengan karcis 1000 rupiah untuk roda dua dan 2000 rupiah untuk roda empat, maka total yang juga akan disumbangkan adalah 756 juta rupiah.
Sedangkan estimasi penghitungan PU tentang delapan ratus kendaraan yang bisa parkir di pasar ini, setiap tahun dengan karcis 1000 rupiah untuk roda dua dan 2000 rupiah untuk roda empat, maka total yang juga akan disumbangkan adalah 756 juta rupiah.
Di akhir surat ini, kami hanya mau menyentil Bapak, kalau di Jogjakarta terkenal dengan pasar Beringharjo, di Solo terkenal dengan Pasar Klewer, maka sudah saatnya di Papua terkenal dengan Pasar Mama-Mama Papua. Semoga.... Tuhan memberkati!. 


Roberth Jitmau adalah sekretaris Solidaritas Mama-Mama Pedagang Asli Papua (SOLPAP). Surat ini juga sudah diserahkan kepada Gubernur Papua melalui Ketua Sinode GIDI dan ditandatangani langsung oleh Koordinator SOLPAP, Pdt. Dora Balubun, S.Th

sumber: http://majalahselangkah.com/content/pasar-mama-mama-jalan-masuk-mengangkat-ekonomi-orang-papua,  Senin, 14 Oktober 2013 18:52