Oleh: Robertus Nauw
Pembaca setia opini majalah selangkah.com
yang budiman, dalam artikel kali ini Penulis tidak mau berpolemik tentang
wacana gagalnya Pemberlakuan UU.No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua,
yang sudah 12 tahun diimplementasikan guna menyelesaikan masalah yang dihadapi
oleh masyarakat asli Papua. Sekalipun semangat pembangunan itu didasarkan pada
UU. NO 21 tahun 2001, penduduk Papua masih tetap penduduk miskin. Dimana dalam tahun 2003, BPS Propinsi Papua
melaporkan bahwa 80% dari 2.469.785 Penduduk Papua adalah penduduk miskin
secara nasional. Setelah beberapa tahun kemudian tahun 2007, BPS Propinsi Papua
mengatakan bahwa 81,52% rakyat miskin di Papua. dan Data BPS Pusat tahun
2011 menunjukkan bahwa Propinsi Papua (37,53%) dari 2.851.999 jiwa penduduk
Papua dan Papua Barat (35,71%) paling tinggi tingkat kemiskinan secara nasional
dari seluruh Propinsi di Indonesia. Kedua Propinsi ini paling termiskin di
seluruh Indonesia. Meskipun dana trilyun rupiah dikucurkan ke Propinsi Papua
dan Papua Barat, orang asli Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan (dikutip dari Papua Road Map Show).
Tidak bisa disangkal atas realita, kita
tidak boleh manipulasi kenyataan hidup masyarakat, memang masyarakat asli Papua
mengalami keterpurukan dan kemiskinan. Dengan segala kekayaan alam yang
melimpah hanya menjadi objek, sementara penduduknya urutan pertama termiskin.
Masyarakat mengalami kehilangan hak-hak dasar, krisis nilai-nilai budaya akibat
pengaruh luar dan kehilangan tempat-tempat sakral di Papua. Lebih jauh, mereka
hanya berada dalam substansi kemiskinan dan keterpurukkan. Entah karena 12 tahun Otsus Papua dirasa
gagal, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY. Kembali menerbitkan
Instruksi Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di
Propinsi Papua dan Papua Barat. Kemudian Instruksi Presiden (Inpres) ini
menjadi peraturan Presiden SBY No.66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatakan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Namun menurut sebagian tokoh papua
ekstrim kanan dan para elit lokal Papua, sebenarnya resep manjur
mensejahterakan rakyat papua lewat pemekaran wilayah.
Kemiskinan
Sebagai Isu Pemekaran
Pemekaran wilayah saat ini adalah
isu primadona, namun yang menjadi perhatian penulis adalah pemekaran Provinsi
Papua Barat Daya (PBD) atau apapun namanya kelak yang telah dan sedang
diperjuangkan enam tahun terakhir, dimana diskursus politiknya mempunyai tujuan
utama untuk Percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua Barat yang
rentang kendali pemerintahannya jauh sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat yang bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kesehatan
yang buruk.
Pemekaran PBD telah lama menjadi obrolan
warung kopi di kalangan masyarakat. Lalu, mengapa kita perlu mengulas wacana
ini? Pertama, ini realitas politik lokal yang penuh sejarah, emosional dan
mitos yang melatarinya. Dan Kedua, isu pemekaran di wilayah Papua Barat semua
kontroversi tapi tetap dibutuhkan karena faktual. Bagi sebagian para elit
Politik pemekaran wilayah direpresentasikan sebagai satu-satunya alternatif
terbaik yang mampu menjawab keterpurukan masyarakat, untuk bangkit dari
kubangan penderitaan, terlepas dari penyakit demokratisasi yakni suburnya
sentimen emosional dan primordialisme di era informasi dan keterbukaan saat ini.
Lihat saja “Dualisme Tim Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya” yang saat ini
sebagi isu hangat untuk diperbincangkan, dan dinamika ini termasuk berhasil
membingungkan akar rumput, bahkan para elit belum keluar dari dinamika ini,
yang terjadi saat ini tambahan 1 tim deklarasi baru (Provinsi Sorong Raya) itu
berarti ada 3 tim pemekaran yang sama-sama memperjuangkan 1 Provinsi di 1 Kota
Sorong. Sebuah fakta terkait kekeliruan yang telah dan sedang
terjadi yan bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu bagi masyarakat kecil, asli
papua yang mendiami wilayah papua barat, sorong raya, dan sekitarnya.
Untuk
Direnungkan
Menurut penulis memang ini hanya diskusi
di kalangan elit dan dilarang untuk di besar-besarkan sampai ke akar rumput,
karena hal ini (dualisme tim pemekaran) sama dengan kita membangun dikotomi
yang tidak mendidik. Kalangan elit sendiri lupa dikotomi dualisme tim pemekaran
menjadi isu yang dipertentangkan. Namun di kalangan akar rumput, 3 tim pemekaran
yakni Tim A versus Tim B dan Tim C adalah konsumsi politik yang menarik
diperbincangkan di seantero Tanah Papua (Papua dan Papua Barat). Di kalangan
masyarakat kecil, berita ini adalah cerita sehari-hari masyarakat.
Menyamakan dualisme pemikiran dalam panitia
pemekaran wilayah, di tingkat elit kelak tidak dibantah, tapi di lapisan bawah
hal itu menjadi buah bibir yang umum dan terbantahkan. Dari isu itu, tampaknya
isu ketidak berdayaan masyarakat adalah kampanye yang paling menarik. Untuk
menghadirkan sebuah daerah otonom baru. Apa karena, masyarakat kecil telah lama
di identikan dengan kaum yang tertinggal, terbelakang dan tidak mampu dalam
berbagai bidang pembangunan? Stigma ini menyakitkan dan tidak mengenakan.
Sehingga untuk membantahnya, para elit tampil dan membuktikannya dengan cara
terus berjuang menghadirkan provinsi baru sebagai jawaban atas penderitaan ini.
Mencermati kontestasi (politik) terkini,
nampaknya dualisme tim pemekaran yang mayoritas dihuni oleh anak negeri
sendiri, nampaknya akan terpecah belah. Saat ini saja, politik klaim dengan
mengaku paling benar antara tim pemekaran mulai ramai diperdebatkan. Dan jelas
membuat dilema di kalangan masyarakat, sehingga kira-kira siapa sesungguhnya
figur yang paling benar mewakili personifikasi politik masyarakat akar rumput
dalam kasus ini? Seharusnya dualisme tim
pemekaran Provinsi Papua Barat Daya enam tahun terakhir ini, harus menjadi
pelajaran berharga. Dalam hal menguji peta soliditas politik orang Papua Barat
Daya, yang komplit dalam konteks kesamaan sejarah tapi tumbang dalam
primordialisme, dan kepentingan elit lainnya.
Mengingat suara mayoritas para elit
ternyata dalam urusan politik (pemekaran wilayah) sangat sulit di satukan
dengan sentimen-sentimen di atas. Di
luar analisis itu, dualisme tim pemekaran dan tambahan tim pemekaran yang
membuktikannya. Siapa diantara mereka yang sesungguhnya mempersonifikasikan
hasrat, moral dan jiwa kepada masyarakat dengan memberikan pendidikan politik
yang mendidik kepada masyarakat maka ia layak berjuang dan menjawabnya dengan
komitmen dan perbuatan konkrit.
Saran Penulis Pertama, biarkan kekacauan dan gesekan ini berada di tingkat para
elit dan pengikutnya yang rata-rata kaum terdidik. Alasannya dengan begitu akan
semakin jelas potret wajah para elit yang berusaha mengejar kekuasaan atau apa
namanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok,
dan memperjelas potensi konflik seperti sikap pro dan kontra sebenarnya
hanya dikalangan elit dan pengikutnya.
Kedua,
Para elit harus membangun rasa persaudaraan, kebersamaan,
rasa tanggung jawab dan memiliki rakyat. agar kegiatan pemekaran “demi
kesejahteraan rakyat” tidak hanya sebatas wacana. Model seperti ini dibiarkan.
Bukan tidak mungkin, ketika provinsi ini hadir pejabat tetap sebagai penguasa
uang dan berfoya-foya dengan kekayaan yang ada, sedangkan masyarakat pengusa
hak ulayat tergantung pada hasil-hasil kebun sebagai penyambung hidup sampai
mati.
Ketiga,
Apapun namanya yang disengketa, asal jangan sampai jatuhnya korban. Ini yang
memjadi perhatian kita bersama, mengingat semua fundamen politik itu membayangkan sebuah hasrat terselenggaranya
kesejahteraan umum dan terbangunnya keadaban publik, tahun ini Papua ada dalam
tahun politik, segala sesuatu bisa terjadi. SEMOGA
(*) Penulis adalah
mantan relawan PSCS Kota Jayapura Papua, tinggal di Kota Sorong