Minggu, 13 Oktober 2013

Jalan Terjal Demokrasi Di Papua

Oleh: Robertus Nauw

Pembaca setia opini majalah selangkah.com yang budiman, dalam artikel kali ini Penulis tidak mau berpolemik tentang wacana gagalnya Pemberlakuan UU.No.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yang sudah 12 tahun diimplementasikan guna menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh masyarakat asli Papua. Sekalipun semangat pembangunan itu didasarkan pada UU. NO 21 tahun 2001, penduduk Papua masih tetap penduduk miskin.  Dimana dalam tahun 2003, BPS Propinsi Papua melaporkan bahwa 80% dari 2.469.785 Penduduk Papua adalah penduduk miskin secara nasional. Setelah beberapa tahun kemudian tahun 2007, BPS Propinsi Papua mengatakan bahwa 81,52%  rakyat miskin di Papua. dan Data BPS Pusat tahun 2011 menunjukkan bahwa Propinsi Papua (37,53%) dari 2.851.999 jiwa penduduk Papua dan Papua Barat (35,71%) paling tinggi tingkat kemiskinan secara nasional dari seluruh Propinsi di Indonesia. Kedua Propinsi ini paling termiskin di seluruh Indonesia. Meskipun dana trilyun rupiah dikucurkan ke Propinsi Papua dan Papua Barat, orang asli Papua masih hidup di bawah garis kemiskinan (dikutip dari Papua Road Map Show).
Tidak bisa disangkal atas realita, kita tidak boleh manipulasi kenyataan hidup masyarakat, memang masyarakat asli Papua mengalami keterpurukan dan kemiskinan. Dengan segala kekayaan alam yang melimpah hanya menjadi objek, sementara penduduknya urutan pertama termiskin. Masyarakat mengalami kehilangan hak-hak dasar, krisis nilai-nilai budaya akibat pengaruh luar dan kehilangan tempat-tempat sakral di Papua. Lebih jauh, mereka hanya berada dalam substansi kemiskinan dan keterpurukkan.         Entah karena 12 tahun Otsus Papua dirasa gagal, Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan SBY. Kembali menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan di Propinsi Papua dan Papua Barat. Kemudian Instruksi Presiden (Inpres) ini menjadi peraturan Presiden SBY No.66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatakan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Namun menurut sebagian tokoh papua ekstrim kanan dan para elit lokal Papua, sebenarnya resep manjur mensejahterakan rakyat papua lewat pemekaran wilayah.
 
Kemiskinan Sebagai Isu Pemekaran
            Pemekaran wilayah saat ini adalah isu primadona, namun yang menjadi perhatian penulis adalah pemekaran Provinsi Papua Barat Daya (PBD) atau apapun namanya kelak yang telah dan sedang diperjuangkan enam tahun terakhir, dimana diskursus politiknya mempunyai tujuan utama untuk Percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua Barat yang rentang kendali pemerintahannya jauh sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kesehatan yang buruk.
Pemekaran PBD telah lama menjadi obrolan warung kopi di kalangan masyarakat. Lalu, mengapa kita perlu mengulas wacana ini? Pertama, ini realitas politik lokal yang penuh sejarah, emosional dan mitos yang melatarinya. Dan Kedua, isu pemekaran di wilayah Papua Barat semua kontroversi tapi tetap dibutuhkan karena faktual. Bagi sebagian para elit Politik pemekaran wilayah direpresentasikan sebagai satu-satunya alternatif terbaik yang mampu menjawab keterpurukan masyarakat, untuk bangkit dari kubangan penderitaan, terlepas dari penyakit demokratisasi yakni suburnya sentimen emosional dan primordialisme di era informasi dan keterbukaan saat ini. Lihat saja “Dualisme Tim Pemekaran Provinsi Papua Barat Daya” yang saat ini sebagi isu hangat untuk diperbincangkan, dan dinamika ini termasuk berhasil membingungkan akar rumput, bahkan para elit belum keluar dari dinamika ini, yang terjadi saat ini tambahan 1 tim deklarasi baru (Provinsi Sorong Raya) itu berarti ada 3 tim pemekaran yang sama-sama memperjuangkan 1 Provinsi di 1 Kota Sorong. Sebuah fakta terkait kekeliruan yang telah dan sedang terjadi yan bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu bagi masyarakat kecil, asli papua yang mendiami wilayah papua barat, sorong raya, dan sekitarnya.
Untuk Direnungkan
Menurut penulis memang ini hanya diskusi di kalangan elit dan dilarang untuk di besar-besarkan sampai ke akar rumput, karena hal ini (dualisme tim pemekaran) sama dengan kita membangun dikotomi yang tidak mendidik. Kalangan elit sendiri lupa dikotomi dualisme tim pemekaran menjadi isu yang dipertentangkan. Namun di kalangan akar rumput, 3 tim pemekaran yakni Tim A versus Tim B dan Tim C adalah konsumsi politik yang menarik diperbincangkan di seantero Tanah Papua (Papua dan Papua Barat). Di kalangan masyarakat kecil, berita ini adalah cerita sehari-hari masyarakat.
Menyamakan dualisme pemikiran dalam panitia pemekaran wilayah, di tingkat elit kelak tidak dibantah, tapi di lapisan bawah hal itu menjadi buah bibir yang umum dan terbantahkan. Dari isu itu, tampaknya isu ketidak berdayaan masyarakat adalah kampanye yang paling menarik. Untuk menghadirkan sebuah daerah otonom baru. Apa karena, masyarakat kecil telah lama di identikan dengan kaum yang tertinggal, terbelakang dan tidak mampu dalam berbagai bidang pembangunan? Stigma ini menyakitkan dan tidak mengenakan. Sehingga untuk membantahnya, para elit tampil dan membuktikannya dengan cara terus berjuang menghadirkan provinsi baru sebagai jawaban atas penderitaan ini.
Mencermati kontestasi (politik) terkini, nampaknya dualisme tim pemekaran yang mayoritas dihuni oleh anak negeri sendiri, nampaknya akan terpecah belah. Saat ini saja, politik klaim dengan mengaku paling benar antara tim pemekaran mulai ramai diperdebatkan. Dan jelas membuat dilema di kalangan masyarakat, sehingga kira-kira siapa sesungguhnya figur yang paling benar mewakili personifikasi politik masyarakat akar rumput dalam kasus ini?  Seharusnya dualisme tim pemekaran Provinsi Papua Barat Daya enam tahun terakhir ini, harus menjadi pelajaran berharga. Dalam hal menguji peta soliditas politik orang Papua Barat Daya, yang komplit dalam konteks kesamaan sejarah tapi tumbang dalam primordialisme, dan kepentingan elit lainnya.
Mengingat suara mayoritas para elit ternyata dalam urusan politik (pemekaran wilayah) sangat sulit di satukan dengan sentimen-sentimen di atas.  Di luar analisis itu, dualisme tim pemekaran dan tambahan tim pemekaran yang membuktikannya. Siapa diantara mereka yang sesungguhnya mempersonifikasikan hasrat, moral dan jiwa kepada masyarakat dengan memberikan pendidikan politik yang mendidik kepada masyarakat maka ia layak berjuang dan menjawabnya dengan komitmen dan perbuatan konkrit.
Saran Penulis Pertama, biarkan kekacauan dan gesekan ini berada di tingkat para elit dan pengikutnya yang rata-rata kaum terdidik. Alasannya dengan begitu akan semakin jelas potret wajah para elit yang berusaha mengejar kekuasaan atau apa namanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok,  dan memperjelas potensi konflik seperti sikap pro dan kontra sebenarnya hanya dikalangan elit dan pengikutnya.
Kedua, Para elit harus membangun rasa persaudaraan, kebersamaan, rasa tanggung jawab dan memiliki rakyat. agar kegiatan pemekaran “demi kesejahteraan rakyat” tidak hanya sebatas wacana. Model seperti ini dibiarkan. Bukan tidak mungkin, ketika provinsi ini hadir pejabat tetap sebagai penguasa uang dan berfoya-foya dengan kekayaan yang ada, sedangkan masyarakat pengusa hak ulayat tergantung pada hasil-hasil kebun sebagai penyambung hidup sampai mati. 
Ketiga, Apapun namanya yang disengketa, asal jangan sampai jatuhnya korban. Ini yang memjadi perhatian kita bersama, mengingat semua fundamen politik itu membayangkan sebuah hasrat terselenggaranya kesejahteraan umum dan terbangunnya keadaban publik, tahun ini Papua ada dalam tahun politik, segala sesuatu bisa terjadi. SEMOGA

(*) Penulis adalah mantan relawan PSCS Kota Jayapura Papua, tinggal di Kota Sorong