Oleh: Robertus Nauw (*)
Pembaca setia
opini harian pagi radar sorong, harian cetak pertama terbesar di sorong raya,
yang budiman tulisan penulis kali ini tidak ada niat mendiskriminasikan apalagi
mengucilkan pihak manapun. Ini kajian kritis dan refleksi atas dinamika
kehidupan di perkotaan di tengah era paling modern. Banyak media yang meliput peristiwa
monumental yang terjadi di kota ini, pasca dilantiknya Walikota dan Wakil Walikota
Sorong periode 2012-2017 Juni tahun lalu. Drs. Ec. Lambert.
Jitmau, MM dan dr. Hj. Pahima Iskandar dilantik sesuai SK Mendagri Nomor 131.91-336/ 2012 tertanggal 14 Mei 2012.
Pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Sorong yang berlangsung dalam Rapat
Paripurna Istimewa DPRD Kota Sorong. ini merupakan hasil Pemilukada Kota
Sorong yang digelar 22 Maret tahun lalu adalah bukti dan kecintaan rakyat akar
rumput, sebut saja pemuda, tukang ojek, sopir, buruh, pedagang, dan sampai ke
pekerja batu, pekerja pasir, kuli bangunan, politisi, pejabat, pengusaha dan
bahkan sebagian besar pegawai negeri sipil dilingkungan pemerintah kota sorong,
sampai ormas dan organisasi kepemudaan, mereka menunjukan bahwa 1 putaran
adalah sebuah harga yang tidak main-main, untuk sebuah loyalitas mereka
kepada Drs. Ec. Lambert. Jitmau,
MM.
Disebut monumental karena hanya dalam
waktu kurang dari tiga bulan berkantor dan menjabat sebagai orang 01 di kota
ini, walikota dan wakil walikota diterpa barmacam badai dan kecaman baik murni dari
masyarakat , maupun oleh boncengan para elit dan oleh lawan politik secara sporadis
dan terstruktur walau masih secara masif, yang tentunya punya target tertentu. Sebut
saja aksi palang memalang yang kemudian menjadi trend di sebagian masyarakay
kota sorong. Seperti pemalangan kantor KPU Kota Sorong, Pemalangan Bandara DO,
Pemalangan SMP Negeri 6 yang nota bene terdapat SMP N 10 Dan juga salah satu
SMK yang masih ngebeng bersama SMP tersebut. Bahkan masih segar dalam ingatan,
walikota sorong dimasa kepemimpinanannya, 2 kali menerima ratusan demonstran dihalaman
kantornya.
Kita berharap dinamika yang menanti
pemimpin baru kita ini, cepat berlalu bahkan kita berdoa agar banyak kasus yang
persoalannya hampir pasti menjurus ke persoalan SARA (Suku Ras dan agama) cepat
ditindak tegas oleh aparat dan juga pemerintah serta tokoh-tokoh masyarakat
agama, masyarakat dan lain sebagainya, untuk menjaga kelangsunan kebersamaan
kita di atas tanah dan negeri mala moi tercinta ini, yang menjadi peryataan penulis
adalah semua kasus ini bukan selesai tanpa upaya dan biaya yang sedikit.
Saya sepakat dengan peryataan walikota
sekelas Drs. Ec. Lambert. Jitmau, MM di beberapa
kesempatan terbuka kepada public, beliau menyampaikan bahwa sebagai pribadi Ia
tidak punya uang, namun sebagai walikota dan pemangku jabatan negara sekela
walikota secara intitusi, kami punya uang. Pernyataan atau statemen di atas
selain alasannya rasional, juga menarik bila dikaitkan dengan fenomena
masyarakat Papua khususnya. Tidak seluruhnya, tapi dalam pengamatan
sehari-hari, dinamana berani mengambil sikat tegas dan tidak mau korbankan satu
pihak dalam hal ini persoalan ganti rugi oleh pemerintah dimasa kepemimpinan
beliau adalah sikap yang patut kita apresiasi. Terlebih beliau sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai yang ilahi, agama/kemanusiaan, serta alam dan
adat
Terlepas dari pendekatan ganti rugi
dan apapun namanya, peroalan yang perlu dikritisi adalah permohonan bantuan
alias proposal baik untuk bantuan pendidikan, pembangunan rumah, renovasi,
pembangunan masjid, gereja, kesulitan ongkos, sakit, keluarga meninggal, uang
seragam buat anak dan lain-lain. Penulis pun berkesimpulan, permohonan bantuan
masyarakat ke kantor-kantor pemerintahan cukup tinggi, baik melalui proposal
maupun Pertanyaannya langsung. Haruskah walikota dan wakilwalikota memakai cara
yang penulis apresiasi di atas untuk kemudian menjawab dinamika seperti ini,
Entah !!
Namun menurut penulis, lebih bijak kalau
walikota jangan ciptakan apalagi menumbuhkan dan terus memeliharan ciri
ketergantungan masyarakat pada pemerintah yang relatif tinggi seperti ini,
terutama di era yang katanya, paling kaya ini (era Otsus). Banyak cerita yang
sudah lumrah di Papua, terutama di daerah lama, otonom baru dan daerah sekitar.
“Orang asli Papua kini sudah banyak meninggalkan kebun dan betternaknya
dikampung-kampung”. “Mereka tidak lagi berkebun dan beternak karena ada dana
Respek yang turun tiap tahun” “Masyarakat kampung tidak lagi makan ubi tapi
mereka makan mie instan, sarden, paha ayam, paha jawa, sontoloyo dan lain
sebagainnya saat dana Respek turun” Pernyataan
ini disampaikan oleh Co-Founder Lakeda Institute, Papua di jayapura belum lama
ini.
Pernyataan
di atas, sebenarnya tidaklah salah. Akan tetapi, yang perlu kita telusuri lebih
dalam adalah tentang mengapa Orang Asli Papua (OAP) yang sebelumnya hanya
mengenal, menogok sagu, nelayan, bercocok tanam, beternak, bertani dan berburu,
tiba-tiba mengalami penggeseran. Menurut hemat saya, perilaku dan pola hidup
OAP yang sudah berubah signifikan tersebut terjadi hanya karena implementasi
program pemerintah yang kelihatannya tidak mendidik dan memberdayakan.Janganlah heran, jika saat ini banyak
masyarakat yang kelihatannya hidup hanya bergatung dari belas kasih pemerintah,
padahal Idealnya, penyelenggaraan program pemerintah harus bersifat
memberdayakan bukan memanjakan atau pun membuat masyarakat hidup tergantung
pada pemerintah semata.
Untuk keluar
dari masalah ini:
Pertama,
Pemerintah
dalam hal ini yang menduduki kepala bidang di beberapa SKPD yang ada jangan
berpangku kaki, ibarat tuan besar. lakukan apa yang menjadi pelayanan kepada
masyarakat, jangan sampai pemerintahan ini tidak benar karena diduduki oleh
orang-orang yang tidak benar dalam bekerja dan minim peyanannya
kepadamasyarakat.
Kedua, Makelar
Bantuan proposal diwilayah kota sorong harus ditertipkan
Ketiga,
pemerintah
perlu menciptakan iklim pembangunan ekonomi masyarakat yang cerdas tanpa
bersinggungan dengan mental meminta-minta.
Penulis yakin dengan
visi ini hendaknya tidak ada warga Kota yang merasa dianaktirikan dan dianakemaskan
dan tidak perduli, tetapi menjadi warga yang baik dan berusaha untuk mencapai
kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama dalam rangka membebaskan masyarakat dari belenggu Kebodohan, Kemiskinan, Keterbelakangan dan
Kesehatan Yang Rendah tentunya dengan misi meningkatnya
pengembangan sosial dan meningkatnya
kualitas sumber daya manusia. So kalau tidak yah.... siap-siap kehilangan kepercayaan,
simpati dan empati dari 46.774 suara dari berbagai golongan yang 1
putaran kemarin mengantarkan beliau duduk sebagai pimpinan pemerintahan untuk
melayani rakyat baik orang asli papua, dan anak bangsa lainnya yang hidup di atas
tanah moi papua tercinta. SEMOGA
(*)
Penulis adalah mantan relawan PSCS Kota Jayapura-Papua