Kamis, 21 November 2013

Orang Asli Papua, Bukan Bangsa Proposal !!


Oleh: Robertus Nauw (*)

Pembaca setia opini harian pagi radar sorong, harian cetak pertama terbesar di sorong raya, yang budiman tulisan penulis kali ini tidak ada niat mendiskriminasikan apalagi mengucilkan pihak manapun. Ini kajian kritis dan refleksi atas dinamika kehidupan di perkotaan di tengah era paling modern. Banyak media yang meliput peristiwa monumental yang terjadi di kota ini, pasca dilantiknya Walikota dan Wakil Walikota Sorong periode 2012-2017 Juni tahun lalu.  Drs. Ec. Lambert. Jitmau, MM dan dr. Hj. Pahima Iskandar dilantik sesuai SK Mendagri  Nomor 131.91-336/ 2012 tertanggal 14 Mei 2012. Pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Sorong yang berlangsung dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kota Sorong.  ini merupakan hasil Pemilukada Kota Sorong yang digelar 22 Maret tahun lalu adalah bukti dan kecintaan rakyat akar rumput, sebut saja pemuda, tukang ojek, sopir, buruh, pedagang, dan sampai ke pekerja batu, pekerja pasir, kuli bangunan, politisi, pejabat, pengusaha dan bahkan sebagian besar pegawai negeri sipil dilingkungan pemerintah kota sorong, sampai ormas dan organisasi kepemudaan, mereka menunjukan bahwa 1 putaran adalah sebuah harga yang tidak main-main, untuk sebuah loyalitas   mereka kepada Drs. Ec. Lambert. Jitmau, MM.
Disebut monumental karena hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan berkantor dan menjabat sebagai orang 01 di kota ini, walikota dan wakil walikota diterpa barmacam badai dan kecaman baik murni dari masyarakat , maupun oleh boncengan para elit dan oleh lawan politik secara sporadis dan terstruktur walau masih secara masif, yang tentunya punya target tertentu. Sebut saja aksi palang memalang yang kemudian menjadi trend di sebagian masyarakay kota sorong. Seperti pemalangan kantor KPU Kota Sorong, Pemalangan Bandara DO, Pemalangan SMP Negeri 6 yang nota bene terdapat SMP N 10 Dan juga salah satu SMK yang masih ngebeng bersama SMP tersebut. Bahkan masih segar dalam ingatan, walikota sorong dimasa kepemimpinanannya, 2 kali menerima ratusan demonstran dihalaman kantornya.
Kita berharap dinamika yang menanti pemimpin baru kita ini, cepat berlalu bahkan kita berdoa agar banyak kasus yang persoalannya hampir pasti menjurus ke persoalan SARA (Suku Ras dan agama) cepat ditindak tegas oleh aparat dan juga pemerintah serta tokoh-tokoh masyarakat agama, masyarakat dan lain sebagainya, untuk menjaga kelangsunan kebersamaan kita di atas tanah dan negeri mala moi tercinta ini, yang menjadi peryataan penulis adalah semua kasus ini bukan selesai tanpa upaya dan biaya yang sedikit.  
Saya sepakat dengan peryataan walikota sekelas Drs. Ec. Lambert. Jitmau, MM  di beberapa kesempatan terbuka kepada public, beliau menyampaikan bahwa sebagai pribadi Ia tidak punya uang, namun sebagai walikota dan pemangku jabatan negara sekela walikota secara intitusi, kami punya uang. Pernyataan atau statemen di atas selain alasannya rasional, juga menarik bila dikaitkan dengan fenomena masyarakat Papua khususnya. Tidak seluruhnya, tapi dalam pengamatan sehari-hari, dinamana berani mengambil sikat tegas dan tidak mau korbankan satu pihak dalam hal ini persoalan ganti rugi oleh pemerintah dimasa kepemimpinan beliau adalah sikap yang patut kita apresiasi. Terlebih beliau sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang ilahi, agama/kemanusiaan, serta alam dan adat
Terlepas dari pendekatan ganti rugi dan apapun namanya, peroalan yang perlu dikritisi adalah permohonan bantuan alias proposal baik untuk bantuan pendidikan, pembangunan rumah, renovasi, pembangunan masjid, gereja, kesulitan ongkos, sakit, keluarga meninggal, uang seragam buat anak dan lain-lain. Penulis pun berkesimpulan, permohonan bantuan masyarakat ke kantor-kantor pemerintahan cukup tinggi, baik melalui proposal maupun Pertanyaannya langsung. Haruskah walikota dan wakilwalikota memakai cara yang penulis apresiasi di atas untuk kemudian menjawab dinamika seperti ini, Entah !!
Namun menurut penulis, lebih bijak kalau walikota jangan ciptakan apalagi menumbuhkan dan terus memeliharan ciri ketergantungan masyarakat pada pemerintah yang relatif tinggi seperti ini, terutama di era yang katanya, paling kaya ini (era Otsus). Banyak cerita yang sudah lumrah di Papua, terutama di daerah lama, otonom baru dan daerah sekitar. “Orang asli Papua kini sudah banyak meninggalkan kebun dan betternaknya dikampung-kampung”. “Mereka tidak lagi berkebun dan beternak karena ada dana Respek yang turun tiap tahun” “Masyarakat kampung tidak lagi makan ubi tapi mereka  makan mie instan, sarden, paha ayam, paha jawa, sontoloyo dan lain sebagainnya saat dana Respek turun”            Pernyataan ini disampaikan oleh Co-Founder Lakeda Institute, Papua di jayapura belum lama ini.
Pernyataan di atas, sebenarnya tidaklah salah. Akan tetapi, yang perlu kita telusuri lebih dalam adalah tentang mengapa Orang Asli Papua (OAP) yang sebelumnya hanya mengenal, menogok sagu, nelayan, bercocok tanam, beternak, bertani dan berburu, tiba-tiba mengalami penggeseran. Menurut hemat saya, perilaku dan pola hidup OAP yang sudah berubah signifikan tersebut terjadi hanya karena implementasi program pemerintah yang kelihatannya tidak mendidik dan memberdayakan.Janganlah heran, jika saat ini banyak masyarakat yang kelihatannya hidup hanya bergatung dari belas kasih pemerintah, padahal Idealnya, penyelenggaraan program pemerintah harus bersifat memberdayakan bukan memanjakan atau pun membuat masyarakat hidup tergantung pada pemerintah semata.
Untuk keluar dari masalah ini:
Pertama, Pemerintah dalam hal ini yang menduduki kepala bidang di beberapa SKPD yang ada jangan berpangku kaki, ibarat tuan besar. lakukan apa yang menjadi pelayanan kepada masyarakat, jangan sampai pemerintahan ini tidak benar karena diduduki oleh orang-orang yang tidak benar dalam bekerja dan minim peyanannya kepadamasyarakat.
Kedua, Makelar Bantuan proposal diwilayah kota sorong harus ditertipkan
Ketiga, pemerintah perlu menciptakan iklim pembangunan ekonomi masyarakat yang cerdas tanpa bersinggungan dengan mental meminta-minta.
Penulis yakin dengan visi ini hendaknya tidak ada warga Kota yang merasa dianaktirikan dan dianakemaskan dan tidak perduli, tetapi menjadi warga yang baik dan berusaha untuk mencapai kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama dalam rangka            membebaskan masyarakat dari belenggu Kebodohan, Kemiskinan, Keterbelakangan dan Kesehatan Yang Rendah tentunya dengan misi meningkatnya pengembangan sosial dan  meningkatnya kualitas sumber daya manusia. So kalau tidak yah.... siap-siap kehilangan kepercayaan, simpati dan empati dari 46.774 suara dari berbagai golongan yang 1 putaran kemarin mengantarkan beliau duduk sebagai pimpinan pemerintahan untuk melayani rakyat baik orang asli papua, dan anak bangsa lainnya yang hidup di atas tanah moi papua tercinta. SEMOGA

(*) Penulis adalah mantan relawan PSCS Kota Jayapura-Papua