Minggu, 17 November 2013

PAPUA BARAT BUKAN DI NEGERI MIMPI


Oleh: Robertus Nauw

Sebagai anak negeri pemilik tanah leluhur, negeri sorganya dunia yang penuh dengan susu dan madu, bukan negeri trio ambisi tetapi negeri mambesak, negeri dimana lantunan senandung jiwa, yang merontak, jiwa yang merana, doa dan jiwa yang terluka selalu dipanjatkan dan dinaikan. Oleh rakyat marginal, namun berjalannya waktu elit oportunis di provinsi papua barat, selalu mengelak dan menyangkal. Padahal kita tidak  boleh menyangkal dengan realita yang ada, dengan pengalaman nyata yang dialami Orang Asli Papua secara langsung selama 12 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus, baik Pemerintah di papua dan papua barat sama saja, Abunawas Tinggi.
Orang Asli Papua tidak merasakan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan serta kemajuan dari Otsus.  Sejak Otsus diterapkan di Papua yang dialami Penduduk Asli Papua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara.  Penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, pemenjaraan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia dengan stigma separatisme dan OPM.
Bahkan secara ekonomi, Penduduk Asli Papua benar-benar disingkirkan dan dimiskinkan. Gizi buruk dan kematian Penduduk Asli Papua hampir setiap hari. Pendidikan kacau-balau di mana-mana karena faktor  ketiadaan guru dan tingginya biaaya pendidikan, orang asli papua (OAP) kehilangan hak untuk kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul. Jauh lebih dari itu tidak ada pembukaan lapangan kerja, bagi ribuan sarjana pengangguran di daerah yang katanya sudah sejahtera, namun berdasarkan angka provinsi papua barat duduki angka 31provinsi termiskin secara basional, bahkan busung lapar di Kabupaten Tambrau Papua Barat baru-baru ini, adalah bukti kegagalan pemerintah mensejahterakan rakyat. elit lokal memperjuangkan nasip pribadi dan golongan mereka tanpa memikirkan rakyat marginal. Bukti yang sangat memalukan adalah korupsi massal di jajaran parlemen di DPRD provinsi papua barat yang melibatkan sebagian besar anggota perwakilan rakyat yang terhormat, yang hari ini menjadi isu publik.
Ketika rakyat bersatu berteriak meruntuhkan setan yang berdiri kokoh, dengan teriakan merdeka, baru alih-alih kebijakan darurat diterapkan. Ketika Presiden, Gubernur, Bupati, Dan Walikota merasa negara mengalami ancaman yang sangat serius. Maka keadaan darurat diberlakukan, aturan-aturan sipil lainnya dikesampingkan. Yang diutamakan adalah bagaimana menciptakan kondisi yang aman guna melancarkan misi penjajahan dan eksploitasi, menurut pengamatan penulis.
Tidak Ada Pemekaran Di Provinsi Papua Barat  !!
Mencermati pernyataan Gubernur Papua Barat di Koran ini, beberapa hari lalu yang mengatakan bahwa, Provinsi Papua Barat baru akan memekarkan DOB baik Provinsi, kabupaten dan kota berdasarkan peraturan pemerintah pusat, di atas tahun 2020 sampai tahun 2025, artinya saat ini tidak ada pemekaran. Jelas paranoit karena sampai dengan hari ini proses ini sudah jalan, dimana 8 kabupaten dan 1 Provinsi di provinsi Papua Barat sudah dimekarkan oleh DPR RI. Realita ini tidak bisa di bantah.
Sebagai perpanjangan tangan dari presiden sebenaranya, gubernur malu besar karena ia tidak dihargai dengan semua proses tim pemekaran yang ada, saya berpikir ini bukan soal menghargai atau tidak karena, provinsi yang beliau pimpin saat ini adalah provinsi yang lahir dari politik yang juga tidak tau menghargai pula, memanfaatkan perselingkuhan poitik antara papua merdeka dan NKRI harga mati, yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum di daerah untuk hadirkan provinsi papua barat, dimana pada massa itu tim pemekaran provinsi IJB juga tidak menghargai mantan gubernur papua almarhum JP. Solossa, namun toh tetap bayi hasil selingkuh, alias anak KJ itu tetap hadir dan diakomodir memiliki akte kalahiran pula, demi kelangsungan hidupnya.
Toh….hari ini gubernur keburu menghalangi proses kelahiran provinsi papua barat daya yang sedang diperjuangkan, kian memperjelas kekeliruan politik gubernur semakin besar karena: Pertama, gubernur gagal mensejahterakan rakyat papua barat, yang berikut dasar lahirnya DOB di papua dengan mudah karena mencegah isu papua merdeka, dan menjsehaterakan rakyat, ini kata ketua DPR RI, belum lama ini. Artinya hal ini berarti lain bagi gubernur papua barat karena gagal total melihat dinamika ini. Apa karena mereka sibuk mencuri dan berfoya-foya. Kedua, lebih aneh lagi gubernur papua barat mengatakan penekanan soal kesenjangan orang asli papua yang kian rawan, ini bukti bahwa ia bukan berkoar mewakili pikiran gubernur namun lebih pada posisi aktivis kiri papua selama ini, perjuangkan hal itu. Karena gubernur hanya berkicau tanpa manajemen soal keberpihakan terhadap orang asli papua.
Ia berbicara di posisi gubernur, toh tidak ada kebijakan akan hal itu dari awal, untuk melindungi OAP, ini aneh ia gubernur bukan setan alas, yang telah ditelan bumi lantas menakut-nakuti masyarakat. Bukankah Ia dengan jelas tahu bahwa, pemekaran membuka peluang untuk pihak migran untuk menduduki tanah Papua, karena di pemerintah Papua dan papua barat tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kaum migrant dengan baik. Tolong pa gubernur yang terhormat, tertibkan aturan bukan ikut bermain dalam mewacanakan kepunahan yang sudah jelas, mengintai rakyat papua seiring berjalannya waktu, tanpa berbuat apa-apa.
Apalagi sejumlah kabupaten yang ada diwilyah provinsi papua barat, perbandingan jumlah penduduk didominasi oleh pihak pendatang. Artinya ubernur sangat sadar, dan tahu bahwa orang Papua menjadi korban atas kepentingan Jakarta, kenapa tidak bisa buat suatu kebijakan.  Ia juga tahu DOB hanya membuka lahan baru untuk Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia (TNI/POLRI) dengan bisnis gelapnya, misalnya beck-up pemasok minuman keras (Miras), membuka tempat prostitusi, ilegal logging ditambah dengan sepak terjang soal kejahatan kemanusiaan di tanah Papua yang belum berakhir.
Oleh karena itu, barangkali gubernur berpikir, kabupaten baru tidak untuk mensejahterahkan rakyat Papua tapi justru menghancurkan identitas rakyat Papua tambah hancur, menjadi minoritas dan marginal di tanah Papua atas konspirasi politik penguasa. Apalagi penetapan puluhan kabupaten tersebut tanpa melihat standar kelayakan pemekaran wilayah misalnya jumlah penduduk, kesiapan sumber daya manusia. Ini bukti bahwa gubernur tahu benar di papua barat angka penyebaran OAP kian merosot, ini butuh upaya nyata bukan soal saling tuding. Karena sampai dengan hari ini di massa kepengurusan beliau sendiri OAP terus mati dan didiskriminasi, ditangkap, dibunuh dan dimarjinalisasikan, konflik masih terus terjadi.
Rasa curiga dan ketidakpercayaan mengeluti kedua pihak. Jakarta curiga Papua lantaran suara Papua Merdeka yang terus digemahkan, sebaliknya Papua curiga Jakarta /pemerintah karena pembunuhan yang brutal yang melahirkan pelanggaran HAM yang massif di masa lalu yang pelakunya masih kebal hukum hingga dewasa ini.  Mencermati kebijakan yang diberlakukan pemerintah di Papua, tak satu pun yang benar-benar lahir setelah kajian dan perenungan yang mendalam. Semua kebijakan yang diterapkan pemerintah dewasa ini adalah kebijakan yang darurat. Sehingga penerapannya tidak menyentuh persoalan.
Akhirnya, pemerintah tanpa melibatkan rakyat membuat Undang-undang Otsus. Bangsa Papua tidak dilibatkan karena saat itu mereka bersatu meminta merdeka (lepas dari NKRI). Namun, Otsus dinyatakan gagal oleh bangsa Papua dalam Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat bersama MRP tahun 2010, setelah 10 tahun diberlakukan di Papua.
Lalu lahir lagi UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Propinsi Papua dan Papua Barat). Unit ini lahir karena Otsus gagal. Lembaga ini diketuai Bambang Darmono yang berlatar Militer.  Bambang Darmono diangkat Jakarta karena orang sipil di Papua dianggap tak bisa melaksanakan amanat negara. Berkaitan dengan ini, TNI AD pun kemudian ditunjuk untuk menangani 14 proyek jalan trans dengan dana Rp. 425 M tanpa tender tapi penunjukan langsung melalui Kepres No.40/2013. Setelah UP4B dirasa ditolak oleh rakyat, kini muncullah Otsus plus atau Undang-undang pemerintahan Papua.
Mengapa Jakarta membuat kebijakan-kebijakan itu? Karena dalam kaca mata Jakarta situasi Papua dalam keadaan darurat, masa kaca mata gubernur tidak darurat ini kan aneh.
Dalam suasana seperti itu, gubernur dan kroni-kroninya disarankan memakai kacamata kuda untuk melihat semua dianamika yang ada. Agar memberikan metode penyelesaian konflik yang diusulkan rakyat Papua dengan tepat sasaran. Karena ini realita, masyarakat bukan hidup di negeri mimpi. SEMOGA

(*)Penulis adalah mantan relawan PSCS Kota Jayapura Papua