Oleh: Robertus Nauw
Sebagai anak negeri pemilik tanah leluhur,
negeri sorganya dunia yang penuh dengan susu dan madu, bukan negeri trio ambisi
tetapi negeri mambesak, negeri dimana lantunan senandung jiwa, yang merontak,
jiwa yang merana, doa dan jiwa yang terluka selalu dipanjatkan dan dinaikan. Oleh
rakyat marginal, namun berjalannya waktu elit oportunis di provinsi papua barat,
selalu mengelak dan menyangkal. Padahal kita tidak boleh menyangkal dengan realita yang ada,
dengan pengalaman nyata yang dialami Orang Asli Papua secara langsung selama 12
tahun pelaksanaan Otonomi Khusus, baik Pemerintah di papua dan papua barat sama
saja, Abunawas Tinggi.
Orang Asli Papua tidak merasakan keberpihakan,
perlindungan dan pemberdayaan serta kemajuan dari Otsus. Sejak Otsus
diterapkan di Papua yang dialami Penduduk Asli Papua adalah kejahatan terhadap
kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara. Penangkapan,
penyiksaan, pembunuhan, pemenjaraan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat
keamanan Indonesia dengan stigma separatisme dan OPM.
Bahkan secara ekonomi, Penduduk Asli Papua
benar-benar disingkirkan dan dimiskinkan. Gizi buruk dan kematian Penduduk Asli
Papua hampir setiap hari. Pendidikan kacau-balau di mana-mana karena faktor
ketiadaan guru dan tingginya biaaya pendidikan, orang asli papua (OAP) kehilangan
hak untuk kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul. Jauh lebih dari itu
tidak ada pembukaan lapangan kerja, bagi ribuan sarjana pengangguran di daerah
yang katanya sudah sejahtera, namun berdasarkan angka provinsi papua barat
duduki angka 31provinsi termiskin secara basional, bahkan busung lapar di Kabupaten
Tambrau Papua Barat baru-baru ini, adalah bukti kegagalan pemerintah
mensejahterakan rakyat. elit lokal memperjuangkan nasip pribadi dan golongan
mereka tanpa memikirkan rakyat marginal. Bukti yang sangat memalukan adalah
korupsi massal di jajaran parlemen di DPRD provinsi papua barat yang melibatkan
sebagian besar anggota perwakilan rakyat yang terhormat, yang hari ini menjadi
isu publik.
Ketika rakyat bersatu berteriak meruntuhkan setan yang
berdiri kokoh, dengan teriakan merdeka, baru alih-alih kebijakan darurat
diterapkan. Ketika Presiden, Gubernur, Bupati, Dan Walikota merasa negara
mengalami ancaman yang sangat serius. Maka keadaan darurat diberlakukan,
aturan-aturan sipil lainnya dikesampingkan. Yang diutamakan adalah bagaimana
menciptakan kondisi yang aman guna melancarkan misi penjajahan dan eksploitasi,
menurut pengamatan penulis.
Tidak Ada
Pemekaran Di Provinsi Papua Barat !!
Mencermati pernyataan Gubernur Papua Barat di Koran ini, beberapa
hari lalu yang mengatakan bahwa, Provinsi Papua Barat baru akan memekarkan DOB
baik Provinsi, kabupaten dan kota berdasarkan peraturan pemerintah pusat, di
atas tahun 2020 sampai tahun 2025, artinya saat ini tidak ada pemekaran. Jelas
paranoit karena sampai dengan hari ini proses ini sudah jalan, dimana 8 kabupaten
dan 1 Provinsi di provinsi Papua Barat sudah dimekarkan oleh DPR RI. Realita
ini tidak bisa di bantah.
Sebagai perpanjangan tangan dari presiden sebenaranya, gubernur
malu besar karena ia tidak dihargai dengan semua proses tim pemekaran yang ada,
saya berpikir ini bukan soal menghargai atau tidak karena, provinsi yang beliau
pimpin saat ini adalah provinsi yang lahir dari politik yang juga tidak tau
menghargai pula, memanfaatkan perselingkuhan poitik antara papua merdeka dan
NKRI harga mati, yang kemudian dimanfaatkan oleh oknum di daerah untuk hadirkan
provinsi papua barat, dimana pada massa itu tim pemekaran provinsi IJB juga
tidak menghargai mantan gubernur papua almarhum JP. Solossa, namun toh tetap
bayi hasil selingkuh, alias anak KJ itu tetap hadir dan diakomodir memiliki
akte kalahiran pula, demi kelangsungan hidupnya.
Toh….hari ini gubernur keburu menghalangi proses kelahiran
provinsi papua barat daya yang sedang diperjuangkan, kian memperjelas kekeliruan politik gubernur semakin besar karena: Pertama, gubernur gagal mensejahterakan rakyat
papua barat, yang berikut dasar lahirnya DOB di papua dengan mudah karena
mencegah isu papua merdeka, dan menjsehaterakan rakyat, ini kata ketua DPR RI,
belum lama ini. Artinya hal ini berarti lain bagi gubernur papua barat karena
gagal total melihat dinamika ini. Apa karena mereka sibuk mencuri dan
berfoya-foya. Kedua, lebih aneh lagi gubernur papua barat mengatakan penekanan
soal kesenjangan orang asli papua yang kian rawan, ini bukti bahwa ia bukan
berkoar mewakili pikiran gubernur namun lebih pada posisi aktivis kiri papua
selama ini, perjuangkan hal itu. Karena gubernur hanya berkicau tanpa manajemen
soal keberpihakan terhadap orang asli papua.
Ia berbicara di posisi gubernur, toh tidak ada kebijakan
akan hal itu dari awal, untuk melindungi OAP, ini aneh ia gubernur bukan setan
alas, yang telah ditelan bumi lantas menakut-nakuti masyarakat. Bukankah Ia
dengan jelas tahu bahwa, pemekaran membuka peluang untuk pihak migran untuk
menduduki tanah Papua, karena di pemerintah Papua dan papua barat tidak ada
Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kaum migrant dengan baik. Tolong pa
gubernur yang terhormat, tertibkan aturan bukan ikut bermain dalam mewacanakan
kepunahan yang sudah jelas, mengintai rakyat papua seiring berjalannya waktu,
tanpa berbuat apa-apa.
Apalagi sejumlah kabupaten yang ada diwilyah provinsi papua
barat, perbandingan jumlah penduduk didominasi oleh pihak pendatang. Artinya
ubernur sangat sadar, dan tahu bahwa orang Papua menjadi korban atas
kepentingan Jakarta, kenapa tidak bisa buat suatu kebijakan. Ia juga tahu DOB hanya membuka lahan baru
untuk Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia (TNI/POLRI)
dengan bisnis gelapnya, misalnya beck-up pemasok minuman keras (Miras), membuka
tempat prostitusi, ilegal logging ditambah dengan sepak terjang soal kejahatan
kemanusiaan di tanah Papua yang belum berakhir.
Oleh karena itu, barangkali gubernur berpikir, kabupaten
baru tidak untuk mensejahterahkan rakyat Papua tapi justru menghancurkan
identitas rakyat Papua tambah hancur, menjadi minoritas dan marginal di tanah
Papua atas konspirasi politik penguasa. Apalagi penetapan puluhan kabupaten
tersebut tanpa melihat standar kelayakan pemekaran wilayah misalnya jumlah
penduduk, kesiapan sumber daya manusia. Ini bukti bahwa gubernur tahu benar di papua
barat angka penyebaran OAP kian merosot, ini butuh upaya nyata bukan soal
saling tuding. Karena sampai dengan hari ini di massa kepengurusan beliau
sendiri OAP terus mati dan didiskriminasi, ditangkap, dibunuh dan
dimarjinalisasikan, konflik masih terus terjadi.
Rasa curiga dan ketidakpercayaan mengeluti kedua pihak.
Jakarta curiga Papua lantaran suara Papua Merdeka yang terus digemahkan,
sebaliknya Papua curiga Jakarta /pemerintah karena pembunuhan yang brutal yang
melahirkan pelanggaran HAM yang massif di masa lalu yang pelakunya masih kebal
hukum hingga dewasa ini. Mencermati
kebijakan yang diberlakukan pemerintah di Papua, tak satu pun yang benar-benar
lahir setelah kajian dan perenungan yang mendalam. Semua kebijakan yang
diterapkan pemerintah dewasa ini adalah kebijakan yang darurat. Sehingga penerapannya
tidak menyentuh persoalan.
Akhirnya, pemerintah tanpa melibatkan rakyat membuat
Undang-undang Otsus. Bangsa Papua tidak dilibatkan karena saat itu mereka
bersatu meminta merdeka (lepas dari NKRI). Namun, Otsus dinyatakan gagal oleh
bangsa Papua dalam Musyawarah Besar (Mubes) Rakyat bersama MRP tahun 2010,
setelah 10 tahun diberlakukan di Papua.
Lalu lahir lagi UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Propinsi
Papua dan Papua Barat). Unit ini lahir karena Otsus gagal. Lembaga ini diketuai
Bambang Darmono yang berlatar Militer.
Bambang Darmono diangkat Jakarta karena orang sipil di Papua dianggap
tak bisa melaksanakan amanat negara. Berkaitan dengan ini, TNI AD pun kemudian
ditunjuk untuk menangani 14 proyek jalan trans dengan dana Rp. 425 M tanpa
tender tapi penunjukan langsung melalui Kepres No.40/2013. Setelah UP4B dirasa
ditolak oleh rakyat, kini muncullah Otsus plus atau Undang-undang pemerintahan
Papua.
Mengapa Jakarta membuat kebijakan-kebijakan itu? Karena
dalam kaca mata Jakarta situasi Papua dalam keadaan darurat, masa kaca mata
gubernur tidak darurat ini kan aneh.
Dalam suasana seperti itu, gubernur dan kroni-kroninya disarankan
memakai kacamata kuda untuk melihat semua dianamika yang ada. Agar memberikan
metode penyelesaian konflik yang diusulkan rakyat Papua dengan tepat sasaran. Karena
ini realita, masyarakat bukan hidup di negeri mimpi. SEMOGA
(*)Penulis
adalah mantan relawan PSCS Kota Jayapura Papua