Oleh: Robertus Nauw
Mark Twain tidak sedang menggigau, apalagi berfantasi. Dia mengatakan yang sesungguhnya, "Bisa dibayangkan betapa gelapnya dunia ini tanpa ada sinar matahari, dan betapa buramnya suatu bangsa tanpa ada pers yang bebas," (Media Insan Cita, hal 34, 2009).
Pers adalah senjata yang paling tajam di antara yang tajam, lewat pers masyarakat dicerahkan, lewat pers pula masyarakat disadarkan. Sebagai masyarakat kampus, penulis sangat berterima kasih kepada, seluruh media yang ada di Papua. Lihat dari berbagai slogan yang ada di masyarakat sendiri seperti pers atau media adalah punya rakyat, pers adalah penyambung lidah masyarakat, dan pers adalah mata dan hati masyarakat, ini pertanda bahwa pers sudah mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat luas, terutama masyarakat akar rumput.
Pembaca setia majalahselangkah.com yang budiman, dalam konteks di atas, penulis tidak mau membahas lebih pada persoalan pers, namun penulis melihatnya lebih pada proses kreatifnya, yakni proses membaca dan menulis, meriset dan observasi, wawancara, memahami etika dan etetika serta persoalan bertanggungjawab atas karya yang kita kelak dihasilkan, adalah inti dari tulisan ini.
Mengingat aktivitas menulis dan membaca boleh dikata sebagai sejarah peradaban, manusia menganalisis fakta-fakta masa lalu sebagai dalil, pijakan dan bahan dasar untuk merencanakan hari esok dan menciptakan masa depan. keuntungan orang yang banyak membaca, ia dapat mencerna secara sistematis setiap dinamika sosial dimasyarakat dan dipetakan dalam tulisan baik itu soal ekonomi politik, budaya sastra, dan perundang-undangan hingga spiritual. Sebab pesan-pesan Tuhan pun, hanya sampai pada akal manusia karena ditulis sehingga dapat dibaca oleh semua umat.
Kita sering dengar berbagai jargon tentang membaca dan menulis seperti buku adalah jendela dunia, menjelajah buku membuka mata dunia, buku adalah gudang ilmu, perpustaan adalah paru-parunya pendidikan, aku bicara karena aku menulis. Bahkan membaca pun sendiri miliki jargon klasik Banyak Baca, Banyak Tau itu berarti tidak banyak membaca konseksuensi logis, tidak tau!
Bayangkan betapa mudah dan murahnya ilmu pengetahuan sebenarnya bagi mereka yang banyak membaca, karena mahal itu sebenarnya hanya biaya pendidikannya, dan mungkin saja budaya kita yang malas baca dan menulis!
Namun, semua berpulang pada niat tulus, mau membaca dan menulis atau tidak tergantung pilihan kita yang mau berproses mencari kebenaran dan kepuasan hati (berdialog dan diskusi dengan jiwa). Dengan buku, majalah, dan koran banyak hal positif akan kita dapat seperti pesan-pesan kebaikan yang ditinggalkan di pikiran kita, pesan kemanusiaan, moralitas, ketakwaan, ilmu dan pengetahuan. Banyak generasi yang tidak membaca telah membiarkan dirinya musnah dalam hegemoni serba instan yang dibangun oleh pemimpin kita sendiri.
Untuk itu, "Jangan menyesal karena kita tidak tahu, tapi menyesal mengapa kita tidak membaca". Karena Membaca merupakan proses berpikir dan bernalar dan memberikan makna kepada simbol-simbol visual. Secara sempit, membaca sebagai pengenalan simbol-simbol tertulis. Pengertian yang agak luas, yaitu proses memasukkan makna kata-kata dan frasa penyusun bacaan di satu pihak, dan proses pemaduan berbagai unsur makna menjadi satu kesatuan ide.
Untuk memberikan reaksi kritis-kreatif terhadap bacaan dalam menemukan signifikasi, nilai, fungsi dan hubungan isi bacaan itu dengan suatu masalah kehidupan yang lebih luas serta dampak dari masalah yang dipaparkan pengarang. Karena pada dasarnya dalam membaca, pembaca adalah pihak yang aktif bukan pasif.
Realita Saat Ini
Budaya membaca dan menulis di Papua dan Papua Barat, menurut banyak kalangan sudah sangat mempihatinkan, bahkan berada di bawah titik nadir namun tetap tidak ada langkah kongkret untuk mencegah hal ini.
Namun dalam konteks ini, penulis lebih mengkritisi sikap pemimpin di Provinsi Papua Barat, sekali lagi soal perhatian penulis tidak ada tendensi yang berlebihan karena egosentris kedaerahan, mengingat penulis berdomisili di wilayah Papua Barat.
Tetapi alasan riil yang penulis temukan adalah Provinsi Papua sudah punya perpustakaan umum daerah, punya banyak LSM, dan banyak pegiat dunia literasi dan bukan hanya itu banyak penulis Papua yang hingga saat ini bermunculan menguasai dunia literasi. Sebut saja Dr. Beni Giay, Pdt. Socrates S. Nyoman, Pater Neles Tebay, Markus Haluk, serta ratusan penulis Papua asal suku Mee Paniai Papua dan penulis asal pegunungan tengah Papua lainnya yang tidak dapat sebut satu persatu, adalah bukti dari hasil kemauan keras dalam berlatih untuk menghasilkan karya nyata, yang berkualitas.
Sehingga penulis lebih menitikberatkan pada dinamika sosial di Provinsi Papua Barat. Dimana keterpurukan generasi saat ini, terkesan ada semacam proses pembiaran, baik dinas terkait dan pemimpinnya terlanjur membentuk generasi lebih menggemari budaya belanja ketimbang budaya membaca dan menulis. Mereka lebih suka membangun mall-mall dengan begitu megahnya dari pada membangun gelanggang remaja, tempat generasi muda penerus bangsa ini berkarya. Atau sebuah Perpustakaan Umum Daerah untuk pusat belajar masayarakat. Dan toko buku dan lain sebagainya.
Penulis pun melihat ini satu kejahatan besar yang dilakukan oleh dinas terkait sebagai otak dari mafia pedidikan itu sediri, jika kejanggalan ini dilakukan secara sadar. Alasannya dinas terkait membangun pendidikan di daerah ini cenderung orientasinya lebih soal provit dan pencitraan semata ketimbang membangun sumber daya manusia generasi muda di kota ini untuk 20 atau 50 tahun mendatang.
Hari ini kita tidak boleh tutup mata, apalagi munafik soal sejuta dinamika saat ini yang melilit generasi muda di Papua Barat, yang lebih bangga mengoleksi HP keluaran terbaru, fashion, pergi ke tempat-tempat hiburan dan dunia gemerlap (dugem) yang lengkap dengan tawarannya dan miras. Ketimbang membeli buku, koran dan majalah. Mereka lebih memilih hiburan dari pada habiskan waktu membaca di perpustakaan atau di toko buku. Sungguh ironis nasib sebuah generasi karena telah dan sedang terjebak dalam hegemoni yang dibangun oleh pemimpin-pemimpin kita sendiri.
Yang menjadi indikartor kurangnya minat baca dan menulis di kalangan generasi muda saat ini adalah: Pertama, hampir perpustakaan di sekolah-sekolah atau di kampus-kampus yang kurang diminati generasi muda, membuat perpustakaan di lembaga ini ibarat gudang buku, dan tidak lebih dari kuburan yang menyeramkan, karena semua referensi saat ini lebih baik kerja di om Google.
Kedua, kurangnya kontrol sosial yang dimotori oleh generasi muda (mahasiswa) dalam presur setiap kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil. Padahal Papua Barat sendiri terdapat banyak Universitas dan puluhan Sekolah Tinggi yang mendidik manusia menjadi cerdas, namun kenyataannya lembaga pendidikan ini malah dituding sebagai pelacur intelektual, lebih khusus di Papua Barat. karena ompong dalam hal presus kebijakan pemerintah, masa pemrintah provinsi, kabupaten dan kota tidak punya perpustakaan umum daerah, sekalipun perpustakaan umum daerah provinsi Papua Barat, tahun lalu suda rampung.
Contoh lebih parahnya lagi di kalangan pemerintah Kota Sorong, kepala dinas pendidikan sudah menjabat selama 16 tahun hingga saat ini, Kota Sorong belum juga punya perpustakaan umum, ini jelas sebuah prestasi yang luar biasa.
Indikator Ketiga, lemahnya kesadaran generasi muda (mahasiswa dan pelajar) dalam hal menulis itu bisa dilihat dalam forum-forum pemuda seputar dunia menulis seperti, yang peulis temukan pada Forum Lingkar Pena (FLP) cabang provinsi Papua Barat, hampir dipastikan tidak ada generasi Papua yang ikut belajar di sana, padahal forum ini berpotensi melahirkan penulis-penulis muda di Indonesia, dan juga minim kegiatan lomba karya tulis ilmiah ditingkat mahasiswa, adalah sebuah langkah mundur bagi pemuda.
Dan faktor berikut adalah lemahnya dukungan media lokal, baik itu cetak maupun elektronik dalam mendidik generasi muda lewat konten-konten berita yang memberi ruang lebih, kepada generasi muda sebagai ciri khas kaum pemikir dan pembelajar, untuk mencurahkan pikiran atau pendapat. Namun soal peran media, bukan tidak ada sama sekali. Hanya saja, media seperti ini dapat dihitung dengan jari.
Sudah sepatutnya generasi muda harus meninggalkan (tidak usah membaca) media yang tidak mendidik dan beralih ke media yang memberikan ruang untuk generasi muda. Sebut saja harian terbesar pertama di Kota Sorong (Radar Sorong) yang selama ini menyediakan konten bagi rakyat untuk ikut berpendapat, lewat kolom opini setiap Sabtu.
Dan aktif lakukan kegiatan lomba menulis jurnalistik tingkat SMA dan sederajat dalam rangka memperingati HUT Rasor, penulis dengan keyakinan yang sungguh katakan, niat mulia seperti ini memberi ruang kepada para pelajar guna membangun diri guna memberi Tradisi Sebagai Orang Berilmu bagi generasi muda di tanah Papua tercinta ini. Dan itu yang harus dilakukan oleh media, di saat pemerintah lupa diri.
Memang semua belum terlambat bila kita usaha dengan gigih, jika kita kembali ke hukum alam seperi Pemikiran Karl Max "Keadaan Yang Menciptakan Kesadaran" (F. Magnis-Suseno, 2009), Mulailah rajin membaca dan menulis, kurangi budaya konsumtif atau hedonis. Bagi generasi muda yang kleim diri mereka sebagai masyarakat terdidik dan penerus, jika ingin wujutkan masa depan Papua Barat dan Papua yang cerdas, sejahtera harus mulai dengan membaca dan menulis agar kita maju sejajar dengan daerah lain.
Budayakan membaca dan menulis sebagai kebutuhan generasi muda sebab membaca dan menulis merupakan tradisi dari orang-orang berilmu. Rajin Membaca dan Rajin Menulis, Dua hal ini (membaca dan menulis) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Rajin atau tidaknya penulis itu membaca buku, bisa dilihat dari tulisannya.
Maka benarlah kata Jala Dara, "Rajinlah menulis, menulis apa saja.. dengan tulisan mu itulah kemudian nanti orang akan menilai apakah kamu orang yang rajin membaca atau miskin membaca. Biarlah tulisanmu yang bicara".
Sehingga pada tingkatan ini penulis sepakat dengan pernyataan salah satu editor majalahonline di tanah Papua, pada akun facebooknya, yang berbunyi:
"Anak-anak muda Papua tidak malukah kalian, waktu, tenaga, dan uang dihabiskan hanya untuk mengkopi paste berita dan artikel karya orang lain di blog pribadi. Ada beberapa kalian sebut sumber tetapi bagi saya bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah Anda terbiasa dan tidak mencoba dan terus mencoba menulis. Menulis itu bukan bakat, bukan talenta, bukan juga hanya milik orang yang jurusan komunikasi atau lainnya. Menulis itu siapa saja bisa, asal mau dan mencoba terus menerus. Kalau tidak bisa dan pusing, menulislah seperti kamu berbicara. Karena, saya yakin semua anak-anak muda Papua yang bisa bicara pasti juga bisa menulis. Ingat, menulis itu kegiatan produktif jadi membutuhkan kegiatan reseptif, yaitu MEMBACA! Mulailah sekarang, di awal tahun 2014: Menulis sendiri dan membaca." (Yermias Degey tim editor majalahselangkah.com, 6 Januari 2014).
Artinya, budayakan membaca dan menulis sebagai kebutuhan generasi muda sebab membaca dan menulis merupakan tradisi dari orang-orang berilmu. Rajin Membaca dan Rajin Menulis, karena dua hal ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, kita harus mencoba agar tidak dicap sebagai ahli plagiat.
Di tengah banyaknya media di papua yang telah memberikan ruang kepada pemuda papua untuk berkarya lewat dunia menulis, dan sayang jika kesempatan itu kita tidak mencobanya, sebagai wadah pembelajar menuju kaum terpelajar. Ingat, jangan malu untuk mencoba, apalgi hal itu bermanfaat.
SEMOGA!!
Robertus Nauw adalah Anggota Devisi Kaderisai, Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Papua Barat.
Sumber: http://majalahselangkah.com/content/-generasi-papua-dalam-tradisi-orang-berilmu