Oleh:
Robertus Nauw (*)
Pembaca
yang budiman, kita tahu bersama bahwa Perguruan tinggi di dirikan bukan untuk
uang atau mencari kekuasaan melainkan demi intelektualitas yang esensinya
adalah kekebasan berpikir. dimana ruang untuk para intelektualnya berpikir
jernih, dengan kata lain kampus adalah mimbar bebas bagi kaum pembelajar menuju
kaum terpelajar. Yang berdiri dan berjalan seiringan dengan penderitaa rakyat akar
rumput, karena kampus adalah corongnya masyarakat.
Namun
melihat kehidupan masyarakat kampus sebagai masyarakat terdidik dalam membela
masyarakat kecil di kota sorong saat ini sangat menyedihkan dan sungguh sangat
ironis karena telah muncul tendensi-tendensi tertentu yang sudah mencampuri
urusan kampus, salah satunya adalah konteks menyongsong pemilu atau pilcaleg
2014 yang menjadi perhatian penulis.
Kampus
di kota sorong hampir sudah tidak lagi menjadi mimbar bebas, kampus sudah jadi
corong pemerintah, kampus sudah lacurkan intelektual. yang kita takuti Jangan
sampai perguruan tinggi sebagai otoritas intelektual, ikut berekspansi ke pasar
bahkan mendoron komersialisasi penididikan, dalam mengikuti dikte kepentingan
politik, penguasa maupun pemodalnya sendiri sehingga “Transaksi gelap
kekuasaan” bukan tidak mungkin akan terjadi dengan bebas antara pemodal,
pemerintah, politisi bersama akademisi serta aktivisnya pun terjun dalam kongkalikong
dan pelacuran intelektual. Mahasiswa terlibat dalam politik hanya sebagai
anjing penjaga.
Mau
bukti lihat saja ada banyak akademisi yang terjun bebas jadi politikus, ini
menunjukan bahwa jika tidak hati-hati kampus jelas kelak kehilangan arahnya. Entah
kampus dipolitisi atau politisikan kampus, namun yang penulis lihat adalah hal ini akan menjadi ancaman serius jika tidak
di lawan oleh aktivis kampus itu sendiri
Fakta
iklim komersialisasi kampus membuat kampus lebih banyak melayani pasar dari
pada melakukan inofasi kreatif, kajian, penelitian, tentang hal-hal positif bagi kepentingan masyarakat kecil dan
kampus lupa akan panggilan pengabdiannya bagi masyarakat, membuat masyarakat
kecil tidak berguna. Masyarakat kecil baru berguna ketika memasuki tahun
politik, mereka dihargai dengan ratusan ribu, dihargai dengan beras bulog perkarung
dan indomi, dihargai dengan kalender, payung serta baju-baju partai.
Jelas
memalukan bagi masyarakat kampus (akademisi dan aktivis) yang kurang mengontrol
ini dengan pendidikan politik, berbasis pengabdian masyarakat. Atau memang kita
jangan heran karena hal yang memalukan bagi mahasiswa adalah membiarkan praktek
korupsi dan jaringan lingkaran setannya hidup juga di dalam kampus mereka, bahkan
koruptor-koruptor besar ada di lingkungan mereka namun toh, tetap mereka diam
seribu bahasa. Bagaimana mungkin mau jadi pahlawan bagi masyarakat kecil.
Sangat
mengerikan, karena akan membuat bias ke kehidupan yang lain yang barang tentu
membuat sikap optimisme masyarakat kampus, menjadi suam bahkan mati suri, toh
golput meningkat dikalangan masyarakat kecil, itu belum termasuk kalangan
kampus, jelas ini problem baru bahwa perguruan tinggi di kota sorong. Dimana
mereka telah ikut memberikan andil dalam membiarkan status quo (kekuasaan) kota
sorong ke dalam suatu proses pembiaran yang menuju kehidupan polotik yang carut
marut. Padahal dalam filsafat ilmu suatu kesimpulan pernyataan yang dijabarkan harus
memenuhi kriteria logis dan telah diuji secara empiris, lalu dianggap benar
secara ilmiah. Apa memang semua dinamika politik di kota sorong, sudah buat
logika masyarakat kampus sebengkok itu?
Jelas
bahaya, ketika logika mahasiswa sudah dijungkir balik dengan hal-hal yang bukan
ilmiah, maka banyak mahasiswa tidak bisa membaca fenomena sosial dan dinamika
politik, serta tidak bisa membaca dengan nalar yang sehat, dan pembelokan realitas
sudah menjadi konsekuensi logis, artinya mereka tidak perlu sekolah mahal-mahal
kalau akhirnya jalan pikiran pun sama dengan masyarakat kecil.
Karena
Iklim demokrasi dan intelektual masyarakat kampus rapuh, maka seluruh kehidupan
masyarakat dan bangsa disekelilingnya siap terguncang dan terancam. Kalau orang pintar (mayarakat kampus) sudah
tersesat, siapa lagi yang mau menolong dan menunjuk jalan bagi orang bodoh
(masyarakat marginal) di kota sorong.
Karena mahasiswa sudah kurang kritis sebagai kelompok penekan bersama-sama
rakyat.
Ingat:
“Rakyat tidak pernah salah kalau rakyat kecil miskin, bodoh, kelaparan, mabuk,
dan tidak mampu yang salah bukan masyarakat, melainkan pemerintah. (eksekutif,
legislative, yudikatif) sebaga pemegang kekuasaan atas masyarakatd. Negara dan
para pejabatnya yang salah apabila tidak becus memberikan ketenangan hidup,
apalagi menjamin masa depan rakyatnya.” (Jakob
Sumarjo, 2013, hal 7).
Melawan lupa
Persoalan
politik di kota sorong dalam kontek pendidikan poliik kian tidak jelas, yang
ada politik memberi ketidak pastian, lihat saja peristiwa kebakaran pasar
sentral remu sorong yang bersamaan dengan pilgub beberapa tahun lalu, kebakaran
di lingkungan pasar bowsesen kota sorong bersamaan dengan pilkada kota sorong, bahkan
kerususah yang ditinggalkan politik kian tidak jelas nasibnya, lihat saja motif
terbakarnya kantor walikota sorong beberapa tahun lalu.
Bahkan
carut marut akibat politik yang ditinggalkan masih segar dalam ingatan kita
yakni, antara korupsi dan sentiment politik di kota sorong terkait dana 5 M
untuk pelantikan walikota yang murni memainkan peran sentimen politik adalah
beberapa kasus yang harus kita tetap berkaca karena menjadi misteri bagi
masyarakat kampus yang semestinya berdiri di garda terdepan untuk mengkritisi.
Terlepas
dari wacana apakah komisioner KPU kota sorong kini adalah kambing piaraan
elit-elit tertentu masih harus dibuktikan, namun masyarakat jangan lupa dalam
konteks tahun politik kali ini, di tinggkat PPD dan PPS banyak hal tidak beres
seperti pendataan pemilih masih mengerikan karena orang mati pun mempunyai hak
memilih, barangkali itulah makna demokrasi sesungguhnya. Bahkan dalam kerja
Pantia di tingkat PPD dan PPS, kurangnya kajian akan ancaman transaksi
penyebaran jumlah suara pemilih oleh caleg-caleg tertentu dengan melibatkan panitia
PPD dan PPS, Kadis, Lurah, RT dan RW untuk memuluskan target mereka sebagai
Anggota DPRD kota sorong adalah hal yang sudah pasti terjadi, toh tetap masih
biarkan sebagai suatu kelasiman.
Harapan
penulis semoga tahun politik kali ini tidak menjadi tahun yang kelam dalam
dunia perpolitikan kita, maka wajib kita semua bergerak merangkul baik
pemerintah, eksekutif, yudikatif, LSM, masyarakat kecil dan yang menjadi tugas
berat adalah bagi masyarakat kampus sekelas akademisi dan aktivisnya agar
jangan sampai keterlibatan kalian hanya untuk menjaga kepentingan pemerintah
padahal sejatinya kalian adalah oposisi sejati yang membela kepentingan rakyat
kecil. Bukan oposisi yang ikut menghabiskan uang pemerintah (eksekutif,
legislative dan yudikatif).
Saran
penulis sampai kalau hal ini (masyarakat kampus tidur pulas), maka nurani
masyarakat kecil menjadi pintu terakhir untuk menyaring semua dianamika ini,
untuk mengharapkan masyarakat yang cerdas dan sejahtera butuh nurani yang belum
mati, itu artinya masyarakat kota sorong tidak butuh masyarakat kampus dalam
mengawal demokrasi. Ayo tidur yang pulas dan raih kenikmatanmu yang semu. SEMOGA
(*) Penulis Adalah Mantan Relawan PSCS Jayapura; Pegiat
Media; dan Penulis Buku