Oleh: Robertus Nauw
Bila rakyat berani mengeluh, Itu
artinya sudah gawat
Dan bila
omongan penguasa Tidak boleh dibantah,
Kebenaran pasti terancam……(Wiji Thukul 1986)
Tidak ada tendensi politik
tertentu, kutipan puisi ini hanya sebuah refleksi bahwa, Kita harus menaruh
perhatian lebih pada sang penguasa dan jaringannya, mengingat faktor penyebab kemiskinan dan ketertinggalan rakyat hari ini,
disebabkan oleh pemimpin kita yang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sehingga masyarakat melarat karena hak mereka dicuri dan dipasung. Walau fenomena ketidakberdayaan rakyat selalu dijadikan lahan
subur bagi koruptor untuk tumbuh,
tetapi penolakan masyarakat kampus dan
masyarakat sipil terhadap korupsi dan pelaku pemberantasan koruptornya di daerah sangat lemah,
padahal dengan pengawasan ekstra kuat, pemerintah akan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Lihat saja kasus bantuan sosial korban kebakaran di
pasar bowswesen pun masih ikut dicuri.
Apa entah, karena masyarakat
telah memberikan mandat pada lembaga pengawasan sekelas DPRD
di parlemen, sebagai representatif rakyat untuk mengawasi? Sehingga membuat
masyarakat pesisimis dengan ulah koruptor, mengingat kinerja sebagian besar
wakil rakyat sudah tidak dapat percaya. Harapan memiliki masa depan bebas dari
tindakan elit yang menggunakan jabatannya menindas dan memiskinkan rakyatnya
secara masif, guna memperkaya diri dan kelompoknya terus terbuka
lebar.
Sikap apatis dan memberi mandat pengawasan ke DPRD Jelas
omong kosong, karena biang kerok dalam kasus korupsi dana pelantikan walikota
sorong 2012 lalu terungkap dalam fakta persidangan, DPRD juga sebagai cikal
bakal lahirnya komplotan korupsi itu sendiri.
Sehingga jeas, harapan
mewujudkan pemerintahan yang bebas dari korupsi di kota ini sebatas
wacana, mengingat pengungkapan kasus korupsi di kota ini
terus meningkat drastis baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Kebobrokan
di daerah pantas disesalkan karena pemberantasan kasus korupsinya terkesan
lamban, bahkan belum menyentuh aktor intelektual yang berkuasa
penuh atas kucuran dana ini. Sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan
lapisan birokrasi yang berasaskan kekeluargaan, membuat kekuasaan
hanya berputar pada kalangan terbatas, sehingga upaya pemberantasan korupsi
sulit dibongkar secara tuntas dan menyeluruh karena faktor tebang
pilih yang berusaha melindungi kekuasaan.
Seharusnya semangat
pemberantasan korupsi sampai ke daerah harus didukung penuh oleh kelompok presur, guna membongkar kongkalikong kasus-kasus
besar yang disimpan sebagai koleksi pribadi pihak penyidik, ini penting untuk
meminimalisir lenyapnya kasus korupsi saat penyidikan di tingkat polisi dan kejaksaan, yang sering dikondisikan hilang dari konsumsi
publik. Keberhasilan pemerintah untuk
memuaskan masyarakat terkait penanganan pemberantasan kasus korupsi dan
pemberantasan kolusi sosial, berpulang pada masyarakat terdidik agar lebih
kritis mencegah kejahatan dan mendorong untuk memutus
matarantainya.
Pudarnya
Gerakan Mahasiswa
Kampus
adalah tempat mimbar bebas yang mengawali seorang mahasiswa mengenal kehidupan
gerakan, kendati pun bukan dari jurusan ilmu politik atau ilmu sosial lainnya.
Namun, dinamika konsistensi gerakan politik kampus kian mempertegas mahasiswa
sebagai sesuatu kekuatan politik besar. Gerakan moral mahasiswa selalu menjadi
alat yang cukup efektif, mengontrol kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
pada masyarakat. Apa yang diperjuangkan selalu berdasarkan pada target, tujuan
dan orientasi yang jelas, yaitu, demi sebuah perubahan bagi rakyat dan tegaknya
demokratisasi.
Namun, realitanya mahasiswa di daerah
bergerak atas hasil seting politik
yang dimainkan para elit (pemerintah, pengusaha, politisi), untuk kepentingan
pribadi atau kelompoknya. Para
aktivis terjebak dalam pelacuran intelektual bersama para elit dalam pusaran kubangan
kongkalikong moral yang bobrok, baik itu dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan dan. Mahasiswa dimanfaatkan untuk kerja-kerja politik
praktis, gerakan
moral yang domotori mahasiswa lebih mencerminkan pertarungan antar elit, bahkan
isu yang diangkat pun seputar isu elit, bukan lagi isu-isu yang menyentuh
kepentingan masyarakat.
Bahkan, organisasi kampus dan ekstra kampus
sudah terbagi ke dalam kelompok-kelompok elit, yang memiliki afiliasi politik
tertentu dengan penguasa baik legislatif, eksekutif dan yudikatif. Jelas berdampak
pada konstalasi gerakan mahasiswa dalam mengawal kasus korupsi, sangat menjijikan karena terkontaminasi
dengan segala macam kepentingan elit lokal.
Gerakan anti korupsi di daerah,
baru nampak
jika dewa-dewa mereka tersandung kasus, lantas mahasiswa hadir dengan
aksi mendukung maupun aksi tandingan untuk membela kepentingan elit mereka.
Cermin gerakan mahasiswa benar-benar kehilangan arah, kehilangan target, dan
orientasi sebenarnya, mengingat
perjuangan mahasiswa sudah tidak selalu pararel dengan kepentingan masyarakat.
Mahasiswa berusaha berpisah dari masyarakat, padahal tanpa kepentingan masyarakat gerakan mereka tidak akan
berarti. Sebab kepentingan masyarakat
adalah alasan kekuatan utama, melakukan perubahan di negeri tercinta ini.
Agar gerakan moral mahasiswa tidak mengalami
kegamangan dalam mengawal penuntasan kasus korupsi di daerah, maka perlu adanya
saling percaya antar mahasiswa dan masyarakat untuk mempertahankan isu bersama,
bahkan perubahan fokus isu di daerah untuk di dorong bersama dan dikawal hingga tuntas. Kalau gerakan mahasiswa terus
terkontaminasi, bukan tidak mungkin gerakan moral mahasiswa tidak akan
mendapatkan simpati dari masyarakat, karena tidak mempunyai bargaining
position yang kuat terhadap pemerintah. Tentu akan berakibat buruk bagi
perjalanan demokrasi selanjutnya.
Untuk keluar dari masalah ini
Masyarakat harus mengakhiri
dengan bergerak bersama dan saling merangkul, membongkar sendi-sendi dan tembok
koruptor yang terpatri rapih. Kita dorong lembaga penyidik untuk mengawal
pemberantasan korupsi ditingkat daerah melakukan advokasi dan infestigasi
mendalam soal dugaan penyakit kronis ini. Sampai kalau semangat ini tidak di
dukung oleh semua kelompok penekan, maka rakyat di kota ini bersiap-siap untuk
waspada, bersiap-siap untuk melarat, bersiap-siap untuk dininabobohkan karena
semua koruptor elit di tingkat lokal hari ini, kemungkinan masih dalam keadaan
yang baik-baik saja! Itu sudah hukum alam kalau koruptor kabar baik maka bukan
tidak mungkin gerombolan sindikat pencuri yang lain, tetap sehat walafiat pula.
Paradigma "lama" dalam arti yang paling dominan, lahirnya kopuptor, Bermula dari harus dikuasai oleh "roh memiliki." Bila Anda
ingin berhasil dalam mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, Anda
"harus" memiliki kedekatan khusus dengan sistem. Tanpa "roh
memiliki" Anda "tidak mungkin" mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Sehingga tanpa memiliki hal
tersebut, orang kehilangan keyakinannya untuk berhasil dalam kehidupan. Dan
orang yang kehilangan keyakinan, pada hemat saya, telah kehilangan jati dirinya
sendiri. Ia menjadi kelompok marginal, yang dipandang sebelah mata dan tidak
diperlakukan sebagai manusia. Sehingga mereka cenderung massa bodoh.
Sehingga "Roh memiliki" telah menyesatkan banyak orang. mulai dari kaum kecil sampai besar, dari kaum buta huruf
sampai kaum cendikiawan masih terus mencari kebenaran bersama. Namun esensi
kebenarannya itu masih belum juga diperoleh, realitas
kebenaran hilang dalam berbagai upaya tersebut. sehingga yang
ada hanya, objektivitas manusia
berkuasa dan tidak dikontrol yang bisa melegalkan KORUPSI, KOLUSI & NEPOTISME”
dengan berbagai modus yang tidak diketahui rakyat, sebagi hal yang lumrah dalam
menjalankan roda pemerintahan. Maka masyarakat harus kritis menyelidiki praduga
yang secara implisit terkandung lewat pikiran dan perbuatan penguasa. SEMOGA
(*) Penulis Adalah Aktivis Lembaga Intelektual
Papua, Penulis Buku Jurang Penderitaan