Jumat, 06 Februari 2015

Kritis Menilai Strategi Kotuptor




Oleh: Robertus Nauw

Bila rakyat berani mengeluh, Itu artinya sudah gawat
                                Dan bila omongan penguasa Tidak boleh dibantah,
 Kebenaran pasti terancam……(Wiji Thukul 1986)  
     

Tidak ada tendensi politik tertentu, kutipan puisi ini hanya sebuah refleksi bahwa, Kita harus menaruh perhatian lebih pada sang penguasa dan jaringannya, mengingat faktor penyebab kemiskinan dan ketertinggalan rakyat hari ini, disebabkan oleh pemimpin kita yang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme sehingga masyarakat melarat karena hak mereka dicuri dan dipasung. Walau fenomena ketidakberdayaan rakyat selalu dijadikan lahan subur bagi koruptor untuk tumbuh, tetapi penolakan masyarakat kampus dan masyarakat sipil terhadap korupsi dan pelaku pemberantasan koruptornya di daerah sangat lemah, padahal dengan pengawasan ekstra kuat, pemerintah akan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Lihat saja kasus bantuan sosial korban kebakaran di pasar bowswesen pun masih ikut dicuri.

Apa entah, karena masyarakat telah memberikan mandat pada lembaga pengawasan sekelas DPRD di parlemen, sebagai representatif rakyat untuk mengawasi? Sehingga membuat masyarakat pesisimis dengan ulah koruptor, mengingat kinerja sebagian besar wakil rakyat sudah tidak dapat percaya. Harapan memiliki masa depan bebas dari tindakan elit yang menggunakan jabatannya menindas dan memiskinkan rakyatnya secara masif, guna memperkaya diri dan kelompoknya terus terbuka lebar.

Sikap apatis dan memberi mandat pengawasan ke DPRD Jelas omong kosong, karena biang kerok dalam kasus korupsi dana pelantikan walikota sorong 2012 lalu terungkap dalam fakta persidangan, DPRD juga sebagai cikal bakal lahirnya komplotan korupsi itu sendiri.

 Sehingga jeas, harapan mewujudkan pemerintahan yang bebas dari korupsi di kota ini sebatas wacana, mengingat pengungkapan kasus korupsi di kota ini terus meningkat drastis baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Kebobrokan di daerah pantas disesalkan karena pemberantasan kasus korupsinya terkesan lamban, bahkan belum menyentuh aktor intelektual yang berkuasa penuh atas kucuran dana ini. Sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi yang berasaskan kekeluargaan, membuat kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas, sehingga upaya pemberantasan korupsi sulit dibongkar secara tuntas dan menyeluruh karena faktor tebang pilih yang berusaha melindungi kekuasaan.  

Seharusnya semangat pemberantasan korupsi sampai ke daerah harus didukung penuh oleh kelompok presur, guna membongkar kongkalikong kasus-kasus besar yang disimpan sebagai koleksi pribadi pihak penyidik, ini penting untuk meminimalisir lenyapnya kasus korupsi saat penyidikan di  tingkat polisi dan kejaksaan,  yang sering dikondisikan hilang dari konsumsi publik.  Keberhasilan pemerintah untuk memuaskan masyarakat terkait penanganan pemberantasan kasus korupsi dan pemberantasan kolusi sosial, berpulang pada masyarakat terdidik agar lebih kritis mencegah kejahatan dan mendorong untuk memutus matarantainya.

Pudarnya Gerakan Mahasiswa
Kampus adalah tempat mimbar bebas yang mengawali seorang mahasiswa mengenal kehidupan gerakan, kendati pun bukan dari jurusan ilmu politik atau ilmu sosial lainnya. Namun, dinamika konsistensi gerakan politik kampus kian mempertegas mahasiswa sebagai sesuatu kekuatan politik besar. Gerakan moral mahasiswa selalu menjadi alat yang cukup efektif, mengontrol kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat. Apa yang diperjuangkan selalu berdasarkan pada target, tujuan dan orientasi yang jelas, yaitu, demi sebuah perubahan bagi rakyat dan tegaknya demokratisasi. 

Namun, realitanya mahasiswa di daerah bergerak atas hasil seting politik yang dimainkan para elit (pemerintah, pengusaha, politisi), untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Para aktivis terjebak dalam pelacuran intelektual bersama para elit dalam pusaran kubangan kongkalikong moral yang bobrok, baik itu dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan dan. Mahasiswa dimanfaatkan untuk kerja-kerja politik praktis, gerakan moral yang domotori mahasiswa lebih mencerminkan pertarungan antar elit, bahkan isu yang diangkat pun seputar isu elit, bukan lagi isu-isu yang menyentuh kepentingan masyarakat.  

Bahkan, organisasi kampus dan ekstra kampus sudah terbagi ke dalam kelompok-kelompok elit, yang memiliki afiliasi politik tertentu dengan penguasa baik legislatif, eksekutif dan yudikatif. Jelas berdampak pada konstalasi gerakan mahasiswa dalam mengawal kasus korupsi,  sangat menjijikan karena terkontaminasi dengan segala macam kepentingan elit lokal. 

Gerakan anti korupsi di daerah, baru nampak  jika dewa-dewa mereka tersandung kasus, lantas mahasiswa hadir dengan aksi mendukung maupun aksi tandingan untuk membela kepentingan elit mereka. Cermin gerakan mahasiswa benar-benar kehilangan arah, kehilangan target, dan orientasi sebenarnya,  mengingat perjuangan mahasiswa sudah tidak selalu pararel dengan kepentingan masyarakat. Mahasiswa berusaha berpisah dari masyarakat, padahal tanpa kepentingan  masyarakat gerakan mereka tidak akan berarti.  Sebab kepentingan masyarakat adalah alasan kekuatan utama, melakukan perubahan di negeri tercinta ini.

Agar gerakan moral mahasiswa tidak mengalami kegamangan dalam mengawal penuntasan kasus korupsi di daerah, maka perlu adanya saling percaya antar mahasiswa dan masyarakat untuk mempertahankan isu bersama, bahkan perubahan fokus isu di daerah untuk di dorong bersama dan dikawal  hingga tuntas. Kalau gerakan mahasiswa terus terkontaminasi, bukan tidak mungkin gerakan moral mahasiswa tidak akan mendapatkan simpati dari masyarakat, karena tidak mempunyai bargaining position yang kuat terhadap pemerintah. Tentu akan berakibat buruk bagi perjalanan demokrasi selanjutnya. 

Untuk keluar dari masalah ini
Masyarakat harus mengakhiri dengan bergerak bersama dan saling merangkul, membongkar sendi-sendi dan tembok koruptor yang terpatri rapih. Kita dorong lembaga penyidik untuk mengawal pemberantasan korupsi ditingkat daerah melakukan advokasi dan infestigasi mendalam soal dugaan penyakit kronis ini. Sampai kalau semangat ini tidak di dukung oleh semua kelompok penekan, maka rakyat di kota ini bersiap-siap untuk waspada, bersiap-siap untuk melarat, bersiap-siap untuk dininabobohkan karena semua koruptor elit di tingkat lokal hari ini, kemungkinan masih dalam keadaan yang baik-baik saja! Itu sudah hukum alam kalau koruptor kabar baik maka bukan tidak mungkin gerombolan sindikat pencuri yang lain, tetap sehat walafiat pula. 

Paradigma "lama" dalam arti yang paling dominan, lahirnya kopuptor, Bermula dari harus dikuasai oleh "roh memiliki." Bila Anda ingin berhasil dalam mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, Anda "harus" memiliki kedekatan khusus dengan sistem. Tanpa "roh memiliki" Anda "tidak mungkin" mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Sehingga tanpa memiliki hal tersebut, orang kehilangan keyakinannya untuk berhasil dalam kehidupan. Dan orang yang kehilangan keyakinan, pada hemat saya, telah kehilangan jati dirinya sendiri. Ia menjadi kelompok marginal, yang dipandang sebelah mata dan tidak diperlakukan sebagai manusia. Sehingga mereka cenderung massa bodoh.

Sehingga "Roh memiliki" telah menyesatkan banyak orang. mulai dari kaum kecil sampai besar, dari kaum buta huruf sampai kaum cendikiawan masih terus mencari kebenaran bersama. Namun esensi kebenarannya itu masih belum juga diperoleh, realitas kebenaran hilang dalam berbagai upaya tersebut. sehingga yang ada hanya, objektivitas manusia berkuasa dan tidak dikontrol yang bisa melegalkan KORUPSI, KOLUSI & NEPOTISME” dengan berbagai modus yang tidak diketahui rakyat, sebagi hal yang lumrah dalam menjalankan roda pemerintahan. Maka masyarakat harus kritis menyelidiki praduga yang secara implisit terkandung lewat pikiran dan perbuatan penguasa. SEMOGA

(*) Penulis Adalah Aktivis Lembaga Intelektual Papua, Penulis Buku Jurang Penderitaan