Terkait
lokasi pemurnian tambang freeport, Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP)
mendesak Pemerintah Pusat dan PT.Freeport segera mendirikan pabrik pemurnian
bahan tambang di negri Papua. Hal itu disampaikan oleh
Ketua Umum LITP, Dr. Natalsen Basna mengatakan bahwa upaya Kementerian ESDM dan
Freeport mendirikan pabrik Smelter diluar Tanah Papua sebagai daerah penghasil dengan
alasan murahan yang tidak berhikmat merupakan upaya sistematis menghilangkan
dan membunuh hak orang Papua untuk menikmati dampak pembangunan tersebut. Selain
itu, Basna juga mempertanyakan “mengapa Kementerian ESDM dengan PT. Freeport
Indonesia berani kong-kalikong membagun Smelter Freeport di Gresik”?, tanya
Natalsen.
Sementara
itu salah satu aktivis LITP, Oktovianus Homer, SE mengungkapkan, demi mendorong
percepatan pembagunan ekonomi berupa pajak dan tenaga kerja lokal, justru
terserap dari pendirian pabrik di lokasi tambang. Sebaliknya, lanjut Okto, bila
lokasi di tempat lain, justru tidak bermanfaat bagi rakyat Papua.
Aktivis
Papua tersebut mengatakan, freeport sudah mengeruk kekayaan Papua selama 40
tahun lebih, tetapi nasib orang-orang di sekitar tambang belumlah hidup
memadai. Apalagi, upaya re-negosiasi yang tengah dilakukan, mestinya pemerintah
perlu belajar dari masa lalu kontrak karya freeport yang tidak begitu
transparan dan partisipatif.
Arkilaus
Baho yang juga anggota LITP ikut menambahkan bahwa pembangunan pabrik pemurnian
di lokasi tambang perlu menjadi poin utama sebagai rangkaian pemerintah
pusat-freeport menuju pembaharuan kontrak karya freeport yang direncanakan pada
tahun 2019 mendatang. Lanjut Arki sapaan akrabnya, freeport akan berubah konsensi
dari kontrak karya ke ijin pertambangan khusus sesuai dengan niat pemerintah
saat ini, pungkasnya.
Aktivis
tersebut juga bilang, walaupun perusahaan tersebut merupakan kewenangan
pemerintah pusat untuk melakukan pembicaraan maupaun ijin, smelter freeport
harus dioperasikan di Timika demi menggenapi UU Otsus Papua terkait pembagian
dana hasil 80 persen ke Papua dan 20 persen ke pusat.
LITP
menyesalkan kebijakan pemerintah yang tidak tegas terhadap PT. Preeport
Indonesia. Sebagaimana keterlambatan batas waktu pembagunan smelter yang
seharusnya jatuh tempo pada 12 Januari 2015. Kami juga menyampaikan
keprihatinan kepada pemerintah agar menegakkan hukum tanpa diskriminasi.
Kewajiban perusahaan untuk mendirikan pabrik pemurnian di dalam negeri sesuai
dengan amanat UU No. 9 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, dan kenaikan
pajak sebesar 3,75 persen, harus benar-benar dijalankan tanpa pandang aset
perusahaan.
Sehingga
kami aktivis Lembaga intelektual Tanah Papua mendesak pemerintah agar menuju
momentum re-negosiasi ini, pemerintah harus beri ruang bagi partisipasi publik
untuk ikut mengawal proses tersebut. Mengingat sejarah freeport sejak tahun
1967 kian misteri akibat partisipasi publik yang minim. Bahkan pemerintah
jangan lagi membudayakan kontrak keramat seperti yang sebelumnya, tapi
bagaimana partisipasi rakyat Papua perlu dilibatkan dalam pembicaraan ini.
Masyarakat adat, pengiat lingkungan hidup, para pekerja dan pemerhati masalah
sosial, hukum, ham dan demokrasi perlu dilibatkan.