Selasa, 03 Februari 2015

LITP Desak Pemerintah Bangun Smelter Freeport di Tanah Papua



Terkait lokasi pemurnian tambang freeport, Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP) mendesak Pemerintah Pusat dan PT.Freeport segera mendirikan pabrik pemurnian bahan tambang di negri Papua. Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum LITP, Dr. Natalsen Basna mengatakan bahwa upaya Kementerian ESDM dan Freeport mendirikan pabrik Smelter diluar Tanah Papua sebagai daerah penghasil dengan alasan murahan yang tidak berhikmat merupakan upaya sistematis menghilangkan dan membunuh hak orang Papua untuk menikmati dampak pembangunan tersebut. Selain itu, Basna juga mempertanyakan “mengapa Kementerian ESDM dengan PT. Freeport Indonesia berani kong-kalikong membagun Smelter Freeport di Gresik”?, tanya Natalsen.
 
Sementara itu salah satu aktivis LITP, Oktovianus Homer, SE mengungkapkan, demi mendorong percepatan pembagunan ekonomi berupa pajak dan tenaga kerja lokal, justru terserap dari pendirian pabrik di lokasi tambang. Sebaliknya, lanjut Okto, bila lokasi di tempat lain, justru tidak bermanfaat bagi rakyat Papua. 

Aktivis Papua tersebut mengatakan, freeport sudah mengeruk kekayaan Papua selama 40 tahun lebih, tetapi nasib orang-orang di sekitar tambang belumlah hidup memadai. Apalagi, upaya re-negosiasi yang tengah dilakukan, mestinya pemerintah perlu belajar dari masa lalu kontrak karya freeport yang tidak begitu transparan dan partisipatif.

Arkilaus Baho yang juga anggota LITP ikut menambahkan bahwa pembangunan pabrik pemurnian di lokasi tambang perlu menjadi poin utama sebagai rangkaian pemerintah pusat-freeport menuju pembaharuan kontrak karya freeport yang direncanakan pada tahun 2019 mendatang. Lanjut Arki sapaan akrabnya, freeport akan berubah konsensi dari kontrak karya ke ijin pertambangan khusus sesuai dengan niat pemerintah saat ini, pungkasnya. 

Aktivis tersebut juga bilang, walaupun perusahaan tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat untuk melakukan pembicaraan maupaun ijin, smelter freeport harus dioperasikan di Timika demi menggenapi UU Otsus Papua terkait pembagian dana hasil 80 persen ke Papua dan 20 persen ke pusat. 

LITP menyesalkan kebijakan pemerintah yang tidak tegas terhadap PT. Preeport Indonesia. Sebagaimana keterlambatan batas waktu pembagunan smelter yang seharusnya jatuh tempo pada 12 Januari 2015. Kami juga menyampaikan keprihatinan kepada pemerintah agar menegakkan hukum tanpa diskriminasi. Kewajiban perusahaan untuk mendirikan pabrik pemurnian di dalam negeri sesuai dengan amanat UU No. 9 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, dan kenaikan pajak sebesar 3,75 persen, harus benar-benar dijalankan tanpa pandang aset perusahaan.

Sehingga kami aktivis Lembaga intelektual Tanah Papua mendesak pemerintah agar menuju momentum re-negosiasi ini, pemerintah harus beri ruang bagi partisipasi publik untuk ikut mengawal proses tersebut. Mengingat sejarah freeport sejak tahun 1967 kian misteri akibat partisipasi publik yang minim. Bahkan pemerintah jangan lagi membudayakan kontrak keramat seperti yang sebelumnya, tapi bagaimana partisipasi rakyat Papua perlu dilibatkan dalam pembicaraan ini. Masyarakat adat, pengiat lingkungan hidup, para pekerja dan pemerhati masalah sosial, hukum, ham dan demokrasi perlu dilibatkan.