Kamis, 25 Juni 2015

Antara Korupsi Dan Sentimen Politik



 Sebagian kalangan telah beredar luas di media massa, yakni wacana tentang solusi di tengah kebuntuan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Kota Sorong umumnya, adalah membersihkan pejabat publik yang melakukan tindakan mencuri dan hambur uang rakyat. tentu benar namun ditingkat eksekusi oleh pihak Yudkatif belum  tentu optimal. Mengingat pemberantasan korupsi di kota ini, belum menunjukan satu terobosan. Dimana Polres, Polda Dan Pihak Kejaksaan dalam tingkatan eksekusi tidak serius dan abunawas tinggi karena ada sekian kasus korupsi sampai dengan hari ini perkembangannya tidak jelas.  
Dalam kontekss  carut-marutnya penyelesaian kasus dugaan korupsi  dana pelantikan Walikota Sorong 2012, yang sedang ditangani bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu, Entah ini murni korupsi, atau sentimen emosional poitik, Pernyataan di atas bukan tidak mungkin, karena naluri siapapun pun jelas bengkok jika mengkaji kasus ini. Lihat saja sistim kordinasi dalam pemerintahan antara ekskutif dan di legislatif  terkait persetujuan dana pelantikan Walikota Sorong Tahun 2012 lalu terkesan tidak berjalan dengan baik.
Padahal aktor-aktor dari dua lembaga ini tua dinas dibidangnya, masa untuk urusan kesepakatan terkait biaya pelantikan baik di tingkat DPRD dan eksekutif saja tidak becus.Kedua Kesepakatan sepihak terkait biaya pelantikan yang di publikasikan oleh sesama anggota di DPRD Kota Sorong ke media yang intinya mengatakan mereka tidak tau menau soal keputusan dana pelantikan kian mempertegas keburukan sistim kordinasi itu sendiri.
Dan lebih anehnya lagi uang rakyat Rp 5 Miliar yang konon merugikan rakyat itu sendiri, pada masa penetapan dan dipublikasikan oleh media namun tidak ada semacam aksi presur grup baik dari masyarakat, mahasiswa, akademisi dan pihak-pihak opisisi lainnya yang bertujuan meminta pelantikan di tunda, atau meminta biaya pelantikannya dipangkas dan lain sebagainya. Presur seperi ini tidak ada, menunjukan bahwa percuma kota ini punya banyak kampus yang akademisi dan aktivisnya tidur pulas di saat pejabatnya korupsi.
Padahal Jika aktivis selamatkan uang rakyat saat itu jauh lebih baik, ketimbang ikut membiarkan isu sentimen emosional yang kini merusakan harga diri oknum pajabat tertentu, merusakan karir dan meninggalkan gangguan psikologi dan beban pikiran yang berat bagi keluarga yang ditinggalkan oleh para tersangka. Siapa yang harus bertanggungjawab?
Dilain sisi kasus dana pelantikan ini bukan murni koruptor namun, ini kelalaian dan kesalahan dari masyarakat terdidik dan kelompok presur yang lamban dan tidak kritis dalam melihat dinamika ini, sehingga system yang buruk ini dimanfaatkan untuk para pejabat pencuri dan memperkaya diri.
Terlepas dari berbagai pandangan tentang bagaimana memecahkan kebuntuan pelaksanaan ini dan berbagai hal yang melatarbelakangi kebuntuan tersebut. Nampaknya terhadap pemberantasan korupsi yang oleh sebagian elemen masyarakat menganggap sebagai biang kesengsaraan, perlu mendapat prioritas penanganan. Namun untuk kontekss kasus yang melilit pemerintah Kota Sorong, penulis sangat mengharapkan agar pengusutan dan penangganan kasus ini harap dilakukan secara professional, dan jauh dari intrik dan pesanan politik pejabat di daerah, karena para tersangka sebenarnya hanya korban dari sistem. dan kemungkinan akan melibatkan banyak pihak, pejabat dan oknum lainnya dalam kepanitiaan.
Banyak oknum yang paling bertanggungjawab masih bebas kemana suka,  seharusnya mereka ini diseret kembali ke meja hijau mengingat pemeriksaan awal polda papua juga menempatkan beberapa inisial dari mereka sebagai tersangka.
Masyarakat harus mendesak bidang pengawasan dari Kejaksaan Tinggi Papua, untuk memeriksa para jaksa yang melakukan penyidikan dalam kasus dugaan korupsi dana pelantikan Walikota Sorong periode 2012-2017 yang kini baru memenjarakan satu orang pejabat.
Mengapa para wakil rakyat yang seharusnya diduga menerima gratifikasi itu tidak ikut diperiksa dan menjadi tersangka. bahkan beberapa pentolan yang luput dari dakwaan ini kini diberi jabatan strategis duduki kursi empuk, dan bersuka ria semoga ini juga bukan gratifikasi, atau mereka sengaja diselamatkan!

Untuk Keluar Dari Masalah Ini, Saran Penulis
Pertama, masyarakat Kota Sorong jangan mau diserang penyakit lupa, yakni  penyakit lupa ingatan yang akut, sehingga aktor intelktual dengan strategi jitunya, mudah penyelesaiaannya ditingkat Kejaksaan, Polresta dan Polda sehingga kasus ini hilang begitu saja, tanpa dikawal dengan baik oleh masyaraka.
Kedua, Masyarakat perlu meminta Kejati harus periksa Kajari dan kasi Pidsus, bila perlu kejaksaan agung yang turun tangan, karena  masyarakat sudah bosan menunggu kejelasan kasus yang sudah menguras banyak energy dan moral pejabat ini.
Ketiga, format ulang presur grup ditingkat masyarakat, akademisi dan aktivis mahasiswa terhadap aktor-aktor di institusi eksekutif dan legislatif. Kalau selama ini akademisi dan aktivis mahasiswa tidak becus mengawal, terus bagaimana mau mengawal institusi Polri khususnya Tim Penyidik dari Tipikor Polda Papua dan Polresta serta Kejaksaan! Jelas tidak mungkin, sehingga format ulang presur grup adalah satu keharusan.
Agar aktor intelektual korupsi dana pelantikan walikota ini tidak mudah kondisikan emosional politik, dengan agenda terselubungnya. SEMOGA

(*) Robertus Nauw adalah Kordinator Lembaga Intelektual Papua Cabang Sorong