Sebagian kalangan
telah beredar luas di media massa, yakni wacana tentang solusi di tengah
kebuntuan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat Kota Sorong umumnya, adalah
membersihkan pejabat publik yang melakukan tindakan mencuri dan hambur uang
rakyat. tentu benar namun ditingkat eksekusi oleh pihak Yudkatif belum
tentu optimal. Mengingat pemberantasan korupsi di kota ini, belum menunjukan
satu terobosan. Dimana Polres, Polda Dan Pihak Kejaksaan dalam tingkatan
eksekusi tidak serius dan abunawas tinggi karena ada sekian kasus korupsi
sampai dengan hari ini perkembangannya tidak jelas.
Dalam kontekss
carut-marutnya penyelesaian kasus dugaan korupsi dana pelantikan
Walikota Sorong 2012, yang sedang ditangani bukan tidak mungkin akan menjadi
bom waktu, Entah ini murni korupsi, atau sentimen emosional poitik, Pernyataan
di atas bukan tidak mungkin, karena naluri siapapun pun jelas bengkok jika
mengkaji kasus ini. Lihat saja sistim kordinasi dalam pemerintahan antara
ekskutif dan di legislatif terkait persetujuan dana pelantikan Walikota
Sorong Tahun 2012 lalu terkesan tidak berjalan dengan baik.
Padahal
aktor-aktor dari dua lembaga ini tua dinas dibidangnya, masa untuk urusan
kesepakatan terkait biaya pelantikan baik di tingkat DPRD dan eksekutif saja
tidak becus.Kedua Kesepakatan sepihak terkait biaya pelantikan yang di
publikasikan oleh sesama anggota di DPRD Kota Sorong ke media yang intinya
mengatakan mereka tidak tau menau soal keputusan dana pelantikan kian
mempertegas keburukan sistim kordinasi itu sendiri.
Dan lebih
anehnya lagi uang rakyat Rp 5 Miliar yang konon merugikan rakyat itu sendiri,
pada masa penetapan dan dipublikasikan oleh media namun tidak ada semacam aksi
presur grup baik dari masyarakat, mahasiswa, akademisi dan pihak-pihak opisisi
lainnya yang bertujuan meminta pelantikan di tunda, atau meminta biaya
pelantikannya dipangkas dan lain sebagainya. Presur seperi ini tidak ada,
menunjukan bahwa percuma kota ini punya banyak kampus yang akademisi dan
aktivisnya tidur pulas di saat pejabatnya korupsi.
Padahal Jika
aktivis selamatkan uang rakyat saat itu jauh lebih baik, ketimbang ikut
membiarkan isu sentimen emosional yang kini merusakan harga diri oknum pajabat
tertentu, merusakan karir dan meninggalkan gangguan psikologi dan beban pikiran
yang berat bagi keluarga yang ditinggalkan oleh para tersangka. Siapa yang
harus bertanggungjawab?
Dilain sisi
kasus dana pelantikan ini bukan murni koruptor namun, ini kelalaian dan
kesalahan dari masyarakat terdidik dan kelompok presur yang lamban dan tidak
kritis dalam melihat dinamika ini, sehingga system yang buruk ini dimanfaatkan
untuk para pejabat pencuri dan memperkaya diri.
Terlepas dari
berbagai pandangan tentang bagaimana memecahkan kebuntuan pelaksanaan ini dan
berbagai hal yang melatarbelakangi kebuntuan tersebut. Nampaknya terhadap
pemberantasan korupsi yang oleh sebagian elemen masyarakat menganggap sebagai
biang kesengsaraan, perlu mendapat prioritas penanganan. Namun untuk kontekss
kasus yang melilit pemerintah Kota Sorong, penulis sangat mengharapkan agar
pengusutan dan penangganan kasus ini harap dilakukan secara professional, dan
jauh dari intrik dan pesanan politik pejabat di daerah, karena para tersangka
sebenarnya hanya korban dari sistem. dan kemungkinan akan melibatkan banyak
pihak, pejabat dan oknum lainnya dalam kepanitiaan.
Banyak oknum yang
paling bertanggungjawab masih bebas kemana suka, seharusnya mereka ini diseret kembali ke meja
hijau mengingat pemeriksaan awal polda papua juga menempatkan beberapa inisial
dari mereka sebagai tersangka.
Masyarakat harus mendesak bidang
pengawasan dari Kejaksaan Tinggi Papua, untuk memeriksa para jaksa yang
melakukan penyidikan dalam kasus dugaan korupsi dana pelantikan Walikota Sorong
periode 2012-2017 yang kini baru memenjarakan satu orang pejabat.
Mengapa para
wakil rakyat yang seharusnya diduga menerima gratifikasi itu tidak ikut
diperiksa dan menjadi tersangka. bahkan beberapa pentolan yang luput dari dakwaan
ini kini diberi jabatan strategis duduki kursi empuk, dan bersuka ria semoga
ini juga bukan gratifikasi, atau mereka sengaja diselamatkan!
Untuk
Keluar Dari Masalah Ini, Saran Penulis
Pertama,
masyarakat Kota Sorong jangan mau diserang penyakit lupa, yakni penyakit lupa
ingatan yang akut, sehingga aktor intelktual dengan strategi jitunya, mudah
penyelesaiaannya ditingkat Kejaksaan, Polresta dan Polda sehingga kasus ini
hilang begitu saja, tanpa dikawal dengan baik oleh masyaraka.
Kedua, Masyarakat perlu meminta Kejati harus
periksa Kajari dan kasi Pidsus, bila perlu kejaksaan agung yang turun tangan,
karena masyarakat sudah bosan menunggu
kejelasan kasus yang sudah menguras banyak energy dan moral pejabat ini.
Ketiga,
format ulang presur grup ditingkat masyarakat, akademisi dan aktivis mahasiswa
terhadap aktor-aktor di institusi eksekutif dan legislatif. Kalau selama ini
akademisi dan aktivis mahasiswa tidak becus mengawal, terus bagaimana mau
mengawal institusi Polri khususnya Tim Penyidik dari Tipikor Polda Papua dan
Polresta serta Kejaksaan! Jelas tidak mungkin, sehingga format ulang presur
grup adalah satu keharusan.
Agar aktor
intelektual korupsi dana pelantikan walikota ini tidak mudah kondisikan emosional
politik, dengan agenda terselubungnya. SEMOGA
(*)
Robertus Nauw adalah Kordinator Lembaga Intelektual Papua Cabang Sorong