Penulis : Robertus Nauw |
Dibaca 293 kali | Sabtu, 21 September 2013 23:40
Sesuai
persetujuan New York tersebut hak menentukan nasip sendiri penduduk Irian Barat telah dilaksanakan
melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung dari tanggal 14
Juli hingga 2 Agustus 1969. yang
diwakili oleh 1.189 lebih orang Papua.
Hasil
PEPERA menyatakan bahwa penduduk Irian Barat tetap menjadi bagian tak terpisahkan
dari Indonesia. Yang telah
dilakukan oleh Majelis Umum PBB ke-24 melalui Resolusi Nomor 2504 pada 19
November 1969. (Y. Chrisnandi,2008.75)
Hal ini sebagai dasar
bagi sebagian anak negeri untuk mengkampayekan Slogan NKRI harga mati,
Namun,
bagi seluruh aktivis kiri Papua, Papua MERDEKA adalah harga mati berdasarkan pengalaman nyata yang
dialami Orang Asli Papua secara langsung selama 12 tahun pelaksanaan Otonomi
Khusus.
Orang
Asli Papua tidak merasakan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan serta
kemajuan dari Otsus. Sejak Otsus diterapkan di Papua yang dialami
Penduduk Asli Papua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM
yang dilakukan oleh Negara.
Penangkapan,
penyiksaan, pembunuhan, pemenjaraan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat
keamanan Indonesia dengan stigma separatisme dan OPM.
Secara
ekonomi, Penduduk Asli Papua benar-benar disingkirkan dan dimiskinkan. Gizi
buruk dan kematian Penduduk Asli Papua hampir setiap hari. Pendidikan
kacau-balau di mana-mana karena faktor ketiadaan guru, kehilangan hak
untuk kebebasan menyatakan pendapat dan berkumpul.
Maka,
kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih
merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia, sungguh sebuah
pertarungan ideologi yang menarik untuk dikaji, seiring berjalannya waktu.
Pembaca
yang budiman, dalam tulisan kali ini penulis tidak mau berpolemik dengan hasil
PEPERA1969, terlepas dari benar atau tidak benar karena dimenangkan oleh aparat
keamanan dan bukan pilihan rakyat Papua, seperti yang selama ini diwacanakan
bahwa Indonesia mencaplok dan menjajah penduduk pribum.
Orang Papua melalui
rekayasa politik sejak 1 Mei 1963, PEPERA 1969 dan UU No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus. Namun, yang menjadi titik berat penulis adalah
panggilan tertinggi iman rakyat Papua untuk memberkati bangsa yang diberkati,
dan merefleksikan usia sebuah integrasi (49 tahun) yang seharusnya telah matang
menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan dan aneka persoalan lainnya di
Papua, yang hingga saat ini misteri alias belum terselesaikan secara konferhensif dan
menyeluruh. Baik itu dengan kepentingan asas keadilan dan
kemanusiaan serta masa depan kelangsungan hidup masyarakat pemilik,
ahli waris negeri dan tanah Papua.
Entah
sengaja dipelihara atau apa namanya, yang pasti semua manusia di Papua merasa "Tak ada damai di hati mereka". Itu sebabnya,
di mana pun dan kapan saja Papua bisa bergejolak (Pembunuhan,
pembantaian, pemerkosaan dan tindakan kesewenang-wenangan).
Bahkan gejolak ini sudah
menjadi tontonan yang meninggalkan rasa was-was dan saling curiga antar satu
dengan yang lain (Papua dan Non Papua). Selama ini pelakunya tidak diketahui
atau tren dengan istilah Penembak Misterius, Mr X, Orang Tak Dikenal, Separatis,
OPM dan banyak istilah lainnya diperkenalkan oleh aparat yang dialamatkan
kepada orang Papua (kelompok ekstrim kiri) sebagai alasan penembakan,
pembunuhan, dan penangkapan atas dasar mereka dalang kekacauan di Papua.
Namun,
setelah tertangkap bahkan sebagian besar ditembak mati pun, Papua belum aman
dari intimidasi dan teror sang penembak misterius.
Faktanya
seperti itu maka logika sederhananya, aparat keamanan barangkali salah
identifikasi masalah dan orang Papua
sebenarnya hanya korban kekerasan.
Semua
realita ini kemudian mengundang banyak tanya, apa gerangan hingga Papua seakan
tak bebas dari rasa aman, dan terlebih terus dimarjinalkan di atas tanah
leluhur mereka sendiri?
Padahal
kita semua telah belajar banyak tentang rasa, saling mencintai dan
menghormati serta cinta damai.
Sehingga
rasa ketidakpercayaan orang Papua semakin tinggi, ketidakpercayaan ini
diperlihatkan melalui beberapa cara, yaitu mendesak perlu ada dialog antara
pemerintah Indonesia dan orang Papua dan tuntutan referendum yang dimunculkan
terutama dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum-forum Pemuda
Mahasiswa Papua bergerak dan saling merangkul serta bersuara dengan cara
mereka sendiri.
Pendekatan Keamanan (Kekerasan), Bukan Solusi
Dalam
rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi
militer secara besar-besaran di tanah Papua. Operasi militer yang
menewaskan warga atau masyarakat sipil, merusak fasilitas tidak dapat ditolelir
sebagai kelasiman prosedur militer, rasanya tidak ada prosedur baku.
Cara
tersebut merupakan pelanggaran berat atas HAM, terlebih kepada masyarakat
sipil, dan juga melanggar aturan sebagai operasi militer. Mereka harus
melindungi nyawa masyarakat sipil dan konflik yang berlarut-larut. dan operasi
militer kurang selektif dan diskriminatif. Hal itu tertuang dalam hasil
penelitian penulis tentang Analisis Wacana Dialog Jakarta-Papua akhir tahun
2009 lalu, dan banyak hal berubah.
Padahal
untuk menyelesaikan konflik Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) "Pemerintah perlu suatu strategi untuk identifikasi sumber-sumber
konflikya lebih dulu secara jelas. Upaya penyelasaian dengan jalan kekerasan
tentu tidak akan menyelesaikan konflik Papua, selain dengan jalan damai."
Banyak
pihak sudah mengumandangkan pentingnya dialog antara pemerintah dan orang Papua, atau
dialog Jakarta dengan Papua untuk menyelesaikan konfilk secara damai.
Karena, pengalaman dan
sejarah Papua memperlihatkan bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan konflik
Papua. Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyak masalah. Maka
penyelesaian konflik Papua hanya melalui jalan damai yakni dialog. Baik itu
dialog internal orang Papua, warga Papua, wakil-wakil orang Papua di dalam dan
di luar negeri dan dialog pemerintah Indonesia dengan orang Papua.
Dialog
merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mencegah di masa depan agar
tanah ini tidak lagi dibasahi darah.
"Solusi
kongretnya kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk dialog yang bermartabat dan
tidak membahas merdeka di dalamnya," hasil wawancara penulis dengan tokoh
penggagas Dialog Jakarata-Papua, sekaligus Koordinarot Jaringan Damai
Papua (JDP) yang juga Peneliti LIPI, Pater Neles Tebay di ruang
kerjanya di akhir 2009 sebagai narasumber dan tokoh kunci penelitian penulis.
Pernyataan
ini (Dialog) merupakan satu topik utama yang selalu muncul sebagai tuntutan di
setiap aksi-aksi (Demonstrasi) yang dilakukan oleh orang Papua. Namun tidak
pernah terealisai. padahal komitmen Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua
secara dialog sudah dinyatakan secara publik. oleh berbagai pihak.
Bahkan,
semua komitmen pemerintah ini sesuai dengn niat atau komitmen pribadi Presiden
SBY yang berkehendak mengatasi berbagai persoalan di Indonesi dengan tiga pendekatan
utama. Masing-masing Keadilan, Demokrasi dan Damai.
Lebih
khusus untuk menyelesaikan
konflik Papua harus secara damai dan demokratis seperti penyelesaian konflik di
Nanggroe Aceh Darussalam .
"Papua sudah sangat jelas, Kita akan
mengedepankan cara-cara demokrasi dan damai seperti di Aceh," kata SBY.
Namun, sekali lagi kembali ke realita
kebijakan tetap 'Abuti' atau abunawas tinggi.
Di
bawah payung pemerintahan Koalisi Indonesia Bersatu Jilid II, SBY dalam sidang
kabinet terbatas kembali mengatakan menyelesaikan
peroalan Papua dengan pendekatan keamanan "Polri dan TNI agar menegakan
hukum dan memulihkan keamanan di Papu," (Kompas, edisi 14 Juni 2012).
Pada
hal, jalan kekerasan telah
gagal menyelesaika konflik Papua. Lihat saja berbagai konflik yang sudah dimulai
sejak Indonesia menguasai Papua Tanggal 1 Mei 1963 hingga zaman Otsus belum
dituntaskan secara komperhensif (menyeluruh). Kendati pun telah diupayakan
penyelesaiannya melalui berbagai cara, termasuk dengan menerapkan cara
kekerasan.
Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah
telah melakukan sejumlah operasi militer
secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Opeasi Brathayudha(1967-1969), Opeasi Wibawa (1969), Opeasi Militer di Kabupaten
Jaya wijaya (1977), Opeasi
Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Opeasi Tumpas (1983-1984),
Opeasi Sapu Bersih (1985).
Jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah dalam
menyelesaikan konflik Papua juga dinyatakan melalaui Operasi Militer yang
dilancarkan Dimapunduma (1996), Opeasi
Militer Wamena (2003), Opeasi
Militer Puncak Jaya (2004). (Neles
Tebay,2009:1). Semua pelanggaran di atas, belum termasuk pelanggaran 2010 sampai
saat ini.
Keluar dari Masalah ini
Petama, semua rakyat
Papua harus kembali ke jalan kebenaran yang dijarkan oleh Kristus. Manusia
adalah makhluk Tuhan yang dibekali akal, jiwa, dan raga. Akal digunakan untuk
memahami, berpikir, dan melakukan sintesis atas gajala dan informasi yang
dirasakan oleh raganya.
Sementara
jiwa, merupakan entitas yang juga digunakan untuk mengolah, namun dengan cara
memahami, merasa, dan merespon gejala-gejala yang dirasa oleh raga, menjadi
sebuah perasaan jiwa.
Perasaan
ini bermacam-macam, ada yang bersifat bahagia, sedih, gelisah, atau pun marah.
Perasaan manusia yang bermacam-macam ini dapat diungkapkan dalam berbagai macam
cara dan ekspresi, karena kemarahan rakyat hari ini adalah murni korban
penghasutan. Yang kemudian menyebabkan kekeliruan dalam konstruksi
berpikir bahkan kondisi chaos di masyarakat dan rakyat pula yang
menjadi korban.
Jika
kondisi ini terus dibiarkan, maka kemusnahan bangsa Papua tinggal menunggu
waktu. Salah satunya adalah perayaan 1 Desember, dan itu harus dibenarkan
karena itu Bintang Yang Berhubungan dengan Dunia Orang Mati dan Tanda
Pembunuhan bagi Generasi (Yesaya 14 : 15, Yesaya 14:20).
Ingat
sejarah belum banyak berubah di negeri ini (Papua), dan apa yang acap kali
terjadi di masa lampau, selalu berulang hari ini. Kalau tidak bertobat bukan tidak
mungkin kematian yang mengerikan akan kembali terjadi. itu berpulang pada
panggilan yang sungguh.
Namun
mengakiri semua dinamika ini adalah satu keharusan, bagi semua elemen
pergerakan. semoga saja gema dialog saat ini mampu menyelesaikan masalah yang
dialami seluruh rakyat Papua.
Robertus
Nauw adalah Mantan Relawan PSCS
Jayapura-Papua