Sabtu, 28 September 2013

Menanti Bara Papua Padam

Penulis : Robertus Nauw | Dibaca 293 kali | Sabtu, 21 September 2013 23:40

"Status politik Irian Barat (Papua) telah dituntaskan melalui perundingan yang akhirnya dicapai suatu kesepakatan antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Kerajaan Belanda melalui persetujuan New York, Tanggal 15 Agustus 1962 mengenai Irian Barat. Selanjutnya disahkan sidang Majelis Umum PBB ke-17 pada Tanggal 21 September 1962 dalam bentuk Resolusi Nomor 1752."
Sesuai persetujuan New York tersebut hak menentukan nasip sendiri penduduk Irian Barat telah dilaksanakan melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang berlangsung dari tanggal 14 Juli hingga 2 Agustus 1969. yang diwakili oleh 1.189 lebih orang Papua. 
Hasil PEPERA menyatakan bahwa penduduk Irian Barat tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Yang telah dilakukan oleh Majelis Umum PBB ke-24 melalui Resolusi Nomor 2504 pada 19 November 1969. (Y. Chrisnandi,2008.75)
Hal ini sebagai dasar bagi sebagian anak negeri untuk mengkampayekan Slogan NKRI harga mati,
Namun, bagi seluruh aktivis kiri Papua, Papua MERDEKA adalah harga mati berdasarkan pengalaman nyata yang dialami Orang Asli Papua secara langsung selama 12 tahun pelaksanaan Otonomi Khusus.
Orang Asli Papua tidak merasakan keberpihakan, perlindungan dan pemberdayaan serta kemajuan dari Otsus.  Sejak Otsus diterapkan di Papua yang dialami Penduduk Asli Papua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara. 
Penangkapan, penyiksaan, pembunuhan, pemenjaraan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia dengan stigma separatisme dan OPM.
Secara ekonomi, Penduduk Asli Papua benar-benar disingkirkan dan dimiskinkan. Gizi buruk dan kematian Penduduk Asli Papua hampir setiap hari. Pendidikan kacau-balau di mana-mana karena faktor  ketiadaan guru, kehilangan hak untuk kebebasan menyatakan pendapat dan  berkumpul.
Maka, kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka - memisahkan diri dari negara Republik Indonesia, sungguh sebuah pertarungan ideologi yang menarik untuk dikaji, seiring berjalannya waktu.
Pembaca yang budiman, dalam tulisan kali ini penulis tidak mau berpolemik dengan hasil PEPERA1969, terlepas dari benar atau tidak benar karena dimenangkan oleh aparat keamanan dan bukan pilihan rakyat Papua, seperti yang selama ini diwacanakan bahwa Indonesia mencaplok dan  menjajah penduduk pribum.
Orang Papua melalui rekayasa politik  sejak 1 Mei 1963, PEPERA 1969 dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Namun, yang menjadi titik berat penulis adalah panggilan tertinggi iman rakyat Papua untuk memberkati bangsa yang diberkati, dan merefleksikan usia sebuah integrasi (49 tahun) yang seharusnya telah matang menyelesaikan berbagai masalah kemanusiaan dan aneka persoalan lainnya di Papua, yang hingga saat ini misteri alias belum terselesaikan secara konferhensif dan menyeluruh. Baik itu  dengan kepentingan asas keadilan dan kemanusiaan serta masa depan  kelangsungan hidup masyarakat  pemilik, ahli waris negeri dan tanah  Papua.
Entah sengaja dipelihara atau apa namanya, yang pasti semua manusia di Papua merasa "Tak ada damai di hati mereka". Itu sebabnya,  di mana pun dan kapan saja Papua bisa bergejolak (Pembunuhan, pembantaian, pemerkosaan dan tindakan kesewenang-wenangan).
Bahkan gejolak ini sudah menjadi tontonan yang meninggalkan rasa was-was dan saling curiga antar satu dengan yang lain (Papua dan Non Papua). Selama ini pelakunya tidak diketahui atau tren dengan istilah Penembak Misterius, Mr X, Orang Tak Dikenal, Separatis, OPM dan banyak istilah lainnya  diperkenalkan oleh aparat yang dialamatkan kepada orang Papua (kelompok ekstrim kiri) sebagai alasan penembakan, pembunuhan, dan penangkapan atas dasar mereka dalang kekacauan di Papua.
Namun, setelah tertangkap bahkan sebagian besar ditembak mati pun, Papua belum aman dari intimidasi dan teror sang penembak misterius.
Faktanya seperti itu maka logika sederhananya, aparat keamanan barangkali salah identifikasi masalah  dan orang Papua sebenarnya hanya korban kekerasan.
Semua realita ini kemudian mengundang banyak tanya, apa gerangan hingga Papua seakan tak bebas dari rasa aman, dan terlebih terus dimarjinalkan di atas tanah leluhur mereka sendiri?
Padahal kita semua telah belajar banyak tentang rasa, saling  mencintai dan menghormati serta cinta damai. 
Sehingga rasa ketidakpercayaan orang Papua semakin tinggi, ketidakpercayaan ini diperlihatkan melalui beberapa cara, yaitu mendesak perlu ada dialog antara pemerintah Indonesia dan orang Papua dan tuntutan referendum yang dimunculkan terutama dari kalangan pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum-forum Pemuda Mahasiswa Papua bergerak dan saling merangkul serta bersuara dengan cara mereka sendiri.
Pendekatan Keamanan (Kekerasan), Bukan Solusi
Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di tanah Papua.  Operasi militer yang menewaskan warga atau masyarakat sipil, merusak fasilitas tidak dapat ditolelir sebagai kelasiman prosedur militer, rasanya tidak ada prosedur baku.
Cara tersebut merupakan pelanggaran berat atas HAM, terlebih kepada masyarakat sipil, dan juga melanggar aturan sebagai operasi militer. Mereka harus melindungi nyawa masyarakat sipil dan konflik yang berlarut-larut. dan operasi militer kurang selektif dan diskriminatif.  Hal itu tertuang dalam hasil penelitian penulis tentang Analisis Wacana Dialog Jakarta-Papua akhir tahun 2009 lalu, dan banyak hal berubah.
Padahal untuk menyelesaikan konflik Papua menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) "Pemerintah perlu suatu strategi untuk  identifikasi sumber-sumber konflikya lebih dulu secara jelas. Upaya penyelasaian dengan jalan kekerasan tentu tidak akan menyelesaikan konflik Papua, selain dengan jalan damai."
Banyak pihak sudah mengumandangkan pentingnya dialog antara pemerintah dan orang Papua, atau dialog Jakarta dengan Papua untuk menyelesaikan konfilk secara damai.
Karena, pengalaman dan sejarah Papua memperlihatkan bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan konflik Papua. Kekerasan malah menambah jumlah korban dan memperbanyak masalah. Maka penyelesaian konflik Papua hanya melalui jalan damai yakni dialog. Baik itu dialog internal orang Papua, warga Papua, wakil-wakil orang Papua di dalam dan di luar negeri dan dialog pemerintah Indonesia dengan orang Papua.
Dialog merupakan suatu kebutuhan yang mendesak untuk mencegah di masa depan agar tanah ini tidak lagi dibasahi darah. 
"Solusi kongretnya kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk dialog yang bermartabat dan tidak membahas merdeka di dalamnya," hasil wawancara penulis dengan tokoh penggagas Dialog Jakarata-Papua, sekaligus Koordinarot Jaringan Damai Papua  (JDP) yang juga Peneliti  LIPI, Pater Neles Tebay di ruang kerjanya di akhir 2009 sebagai narasumber dan tokoh kunci penelitian penulis.
Pernyataan ini (Dialog) merupakan satu topik utama yang selalu muncul sebagai tuntutan di setiap aksi-aksi (Demonstrasi) yang dilakukan oleh orang Papua. Namun tidak pernah terealisai. padahal komitmen Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua secara dialog sudah dinyatakan secara publik. oleh berbagai pihak.
Bahkan, semua komitmen pemerintah ini sesuai dengn niat atau komitmen pribadi Presiden SBY yang berkehendak mengatasi berbagai persoalan di Indonesi dengan tiga pendekatan utama. Masing-masing Keadilan, Demokrasi dan Damai. 
Lebih khusus untuk menyelesaikan konflik Papua harus secara damai dan demokratis seperti penyelesaian konflik di Nanggroe Aceh Darussalam .
"Papua sudah sangat  jelas, Kita akan mengedepankan cara-cara demokrasi dan damai seperti di Aceh," kata SBY. Namun, sekali lagi kembali  ke realita kebijakan tetap 'Abuti' atau abunawas tinggi.
Di bawah payung pemerintahan Koalisi Indonesia Bersatu Jilid II, SBY dalam sidang kabinet terbatas kembali mengatakan menyelesaikan peroalan Papua dengan pendekatan keamanan "Polri dan TNI agar menegakan hukum dan memulihkan keamanan di Papu," (Kompas, edisi 14 Juni 2012).
Pada hal, jalan kekerasan telah gagal menyelesaika konflik Papua. Lihat saja berbagai konflik yang sudah  dimulai sejak Indonesia menguasai Papua Tanggal 1 Mei 1963 hingga zaman Otsus belum dituntaskan secara komperhensif (menyeluruh). Kendati pun telah diupayakan penyelesaiannya melalui berbagai cara, termasuk dengan menerapkan cara kekerasan.
Dalam rangka menyelesaikan konflik Papua, pemerintah telah melakukan sejumlah operasi militer secara besar-besaran di Tanah Papua, seperti Operasi Sadar (1965-1967), Opeasi Brathayudha(1967-1969), Opeasi Wibawa (1969), Opeasi Militer di Kabupaten Jaya wijaya (1977), Opeasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Opeasi Tumpas (1983-1984), Opeasi Sapu Bersih (1985).
Jalan kekerasan yang ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan konflik Papua juga dinyatakan melalaui Operasi Militer yang dilancarkan Dimapunduma (1996), Opeasi Militer Wamena (2003), Opeasi Militer Puncak Jaya (2004). (Neles Tebay,2009:1). Semua pelanggaran di atas, belum termasuk pelanggaran 2010 sampai saat ini.
Keluar dari Masalah ini
Petama, semua rakyat Papua harus kembali ke jalan kebenaran yang dijarkan oleh Kristus. Manusia adalah makhluk Tuhan yang dibekali akal, jiwa, dan raga. Akal digunakan untuk memahami, berpikir, dan melakukan sintesis atas gajala dan informasi yang dirasakan oleh raganya.
Sementara jiwa, merupakan entitas yang juga digunakan untuk mengolah, namun dengan cara memahami, merasa, dan merespon gejala-gejala yang dirasa oleh raga, menjadi sebuah perasaan jiwa.
Perasaan ini bermacam-macam, ada yang bersifat bahagia, sedih, gelisah, atau pun marah. Perasaan manusia yang bermacam-macam ini dapat diungkapkan dalam berbagai macam cara dan ekspresi, karena kemarahan rakyat hari ini adalah murni korban penghasutan. Yang kemudian menyebabkan kekeliruan dalam konstruksi berpikir bahkan kondisi chaos di masyarakat dan rakyat  pula yang menjadi  korban.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kemusnahan bangsa Papua tinggal menunggu waktu. Salah satunya adalah perayaan 1 Desember, dan itu harus dibenarkan karena itu Bintang Yang Berhubungan dengan  Dunia Orang Mati dan  Tanda Pembunuhan bagi Generasi (Yesaya 14 : 15, Yesaya 14:20).
Ingat sejarah belum banyak berubah di negeri ini (Papua), dan apa yang acap kali terjadi di masa lampau, selalu berulang hari ini. Kalau tidak bertobat bukan tidak mungkin kematian yang mengerikan akan kembali terjadi. itu berpulang pada panggilan yang sungguh.
Namun mengakiri semua dinamika ini adalah satu keharusan, bagi semua elemen pergerakan. semoga saja gema dialog saat ini mampu menyelesaikan masalah yang dialami seluruh rakyat Papua.  

Robertus Nauw adalah Mantan Relawan PSCS Jayapura-Papua