Oleh:
Robertus Nauw (*)
Rakyat tidak
pernah salah kalau mereka miskin, bodoh, kelaparan, dan tidak mampu, yang salah
bukan rakyat, melainkan pemerintah yakni pihak Eksekutif, Legislatif, Yudikatif
sebagai pemegang kekuasaan atas mereka. Itu artinya negara dan para pejabatnya
yang salah apabila tidak becus memberikan ketenangan hidup, apalagi menjamin
masa depan rakyatnya untuk sejahtera.” (Kompas,
J. Sumarjo, 2013)
Kutipan di
atas berangkat dari beberapa realita yang memilukan hati, lihat saja isu beberapa anggota DPRD Kota Sorong dirilis
media kolal belum lama ini, menerima dana pelantikan walikota dengan besaran
mencapai ratusan juta perorang, namun sampai dengan hari ini tidak perna
mendapat sorotan publik. “walaupun lebih adil seharusnya rakyat kecil yang
menerima dana tersebut lewat sentuhan kebijakan yang lebih memihak, bukan sebaliknya untuk pejabat rakus seperti
mereka”. Pernyataan publik itu mewakili suara masyarakat yang marah ketika
mengetahui para pejabatnya ramai-ramai secara berjamaah membagi-bagikan uang
rakyat.
Begitu juga
rilis media tentang 10 Kepala Distrik
dan 35 Kepala Kelurahan dikawal oleh 8 staf di lingkup Pemerintah Kota Sorong.
Rabu, 05 Maret 2014 yang diberangkatkan ke Surabaya 1 bulan sebelum pemilihan
calon anggota DPRD Kota Sorong. Kita berharap perjalanan ini nurni studi
banding guna mempelajari tata kelola Kota Surabaya, sasaran studi banding
tentang tata kelola yang baik, terutama pada kebersihan Kota. dan melihat
sumber-sumber tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota surabaya yang sangat
tinggi. Beberapa wacana tahun ini memiliki tendensi sangat kompleks, karena
mendapat liputan yang terbilang intens oleh media lokal, baik dalam maupun di
luar kota.
Sementara,
disisi lain ada wajah kontras karena terancamnya ratusan masyarakat asli papua
asal maybrat yang kesehariaannya mengais rejeki dengan modal otot sebagai
pekerja pemecah batu gunung di 10 titik di lokasi Kota Sorong, harus pasrah
beradah di titik nadir, dimana lokasi depan Gedung Olahraga Cenderawasih
Sorong, biasanya digunakan sebagai tempat sandaran hidup lumpuh total akibat
dipalang oleh pemilik tanah adat dan pendatang yang berdomisili di sekitar
lokasi proyek.
Menurut hemat
penulis, kasus ini adalah kasus yang memprihatinkan kehidupan masyarakat kecil
karena pemerintah terkesan lamban menangani hal ini, walaupun semua cara telah
masyarakat lakukan, baik aksi ke Kantor Walikota Sorong akhir April 2014 lalu,
dan rencana pelepasan tanah adat bersama lembaga masyarakat adat malamoi Kamis,
27 November 2014 masih terus dilakukan.
Dalam tulisan ini
tidak ada motif apapun, karena punulis hanya ingin menunjukan sudut pandang,
antara fenomena pemborosan anggaran. Sungguh situasi ini kontras dengan
realitas rakyat kecil yang sementara berdarah-darah untuk mendapat sesuap
nasih. Disaat wajah DPRD dan pemerintahnya dalam posisi menghambur-hamburkan
uang, tanpa menyentu kepentingan publik.
Dalam kasus
pemalangan lokasi proyek, pemerintah lamban hadir untuk mencari solusi konkrit.
hingga muncul pertanyaan menggelitik, dimana hati nurani para anggota DPRD dan
Pemerintah Kota Sorong dalam hal ini Wali Kota sebagai kepala pemerintahan,
dalam menyikapi masalah serius yang dihadapai oleh pekerja pemecah batu yang
nota bene sebagai representatif dari kaum marginal di pinggiran kota ini.
Terlepas dari
kasus bagi habis dana pelantikan walikota yang diterima oleh oknum angota DPRD,
kali ini penulis hanya mengulas kutipan beberapa alasan keberangkatan
pemerintah (10 Kadistrik, 35 Lurah dan 8 staf pemkot) melakukan perjalanan
mengunjungi beberapa kelurahan di Surabaya yang tingkat Pendapatan Asli Daerah
(PAD) sangat tinggi, dan melihat tata kelola Distrik dan kelurahan yang baik,
mekanisme yang baik dalam pengelolaan sampah. Dan melihat situasi Kali Brantas
di Surabaya yang memasukkan PAD bagi Kota Surabaya yang sangat tinggi, serta
taman Wali Kota Surabaya yang berada di depan gedung Wali Kota Surabaya yang
sangat indah, bisa dicontohi untuk diterapkan di Kota Sorong nantinya, sebagai
alun-alun dengan aneka taman yang indah.
Fakta
pembangunannnya secara kasat mata bisa disaksikan, sementara kasus yang melilit
masyarakat pekerja pemecah batu ibarat wabah atau kutukan yang memang sudah
tidak ada jalan keluarnya. Apa hanya karena urusan PAD pemerintah nekat
reformasi birokrasi di kota ini guna mewujutkan kota ini menjadi kota termaju
dan tertedapan di tanah papua seperti visi kampanye bapak walikota sorong tiga
tahun lalu, dan mengorbankan kepenting pekerja pemecah batu, sebagai
representasi dari rakyat kecil. “Toh faktanya masyarakat pekerja pemecah batu
selama ini tidak membayar pajak kepada pemerintah ! jadi untuk apa kita
mengurusi nasip mereka” barangkali itu kalimat tunggal di benak pemerintah
sehingga mereka cuci tangan dengan nasip rakyat kecil sebagai pekerja pemecah
batu !!
Seandainya
pemerintah cepat hadir memberi saran atas massalah ini, maka apreseasi publik
akan mengalir deras, dan itu bagian dari dukungan riil politik rakyat yang
memang dalam pilkada lalu memenangkan walikota terpilih unggul satu putaran.
Mengapa saran itu perlu dilakukan walikota? Pikiran sederhananya, dengan
menegur mereka ‘para pemalang’ citra politik pemerintahan akan lebih baik.
Sebaliknya, bila dibiarkan maka publik akan berpikir, bahwa apa yang dilakukan
pemerintah adalah bagian dari perilaku rakus akan kekuasaan yang mewarisi dosa massa
lalu, karena tidak ada niat baik melihat rakyat kecil di kota ini, yang ada
lebih melihat investor besar.
Apasalahnya
studi banding tentang PAD ke Surabaya yang menggunakan uang rakyat ini,
pemerintah terapkan lewat cara mencari solusi atas kasus pemalangan ini dan
menerapkannya dalam bentuk penarikan pajak yang dibebankan bagi masyarakat
pekerja pemecah batu, penulis pikir hal ini akan diterima dengan senang hati
oleh masyarakat pasalnya sudah hampir puluhan tahun hal ini tidak dimanfaatkan
oleh pemerintah untuk kepentingan PAD Kota Sorong, sumber PAD kota sorong pada
kasus ini sebenarnya tidak di garap dengan baik.
Kalau
pembangunan hanya untuk urusan kepentingan investor dari luar lalu mengabaikan
rakyatmu sesama pemiliki negeri leluhur, maka penulis khawatir jangan sampai
mereka kelak hanya menjadi korban dari pembangunan yang bapak perjuangkan.
Barangkali itu definisi Politik Pembangunan Setengah Hati yang penulis
maksutkan, karena pemerintah cenderung menolong kepentingan investor ketimbang,
menolong masyarakat kecil untuk mampu mengambil bagian dalam pembangunan yang
diciptakan oleh investor yang bapa datangkan ke depan. Semoga
(*) Robertus Nauw, Adalah Aktivis
Lembaga Intelektual Papua, & Penulis Buku Jurang Penderitaan
(Dikutip dari Radar Sorong edisi Sabtu, 29 November 2014)
(Dikutip dari Radar Sorong edisi Sabtu, 29 November 2014)