Minggu, 30 November 2014

Politik Pembangunan Setengah Hati



Oleh: Robertus Nauw (*)

Rakyat tidak pernah salah kalau mereka miskin, bodoh, kelaparan, dan tidak mampu, yang salah bukan rakyat, melainkan pemerintah yakni pihak Eksekutif, Legislatif, Yudikatif sebagai pemegang kekuasaan atas mereka. Itu artinya negara dan para pejabatnya yang salah apabila tidak becus memberikan ketenangan hidup, apalagi menjamin masa depan rakyatnya untuk sejahtera.” (Kompas, J. Sumarjo, 2013) 

Kutipan di atas berangkat dari beberapa realita yang memilukan hati, lihat saja isu beberapa anggota DPRD Kota Sorong dirilis media kolal belum lama ini, menerima dana pelantikan walikota dengan besaran mencapai ratusan juta perorang, namun sampai dengan hari ini tidak perna mendapat sorotan publik. “walaupun lebih adil seharusnya rakyat kecil yang menerima dana tersebut lewat sentuhan kebijakan yang lebih memihak,  bukan sebaliknya untuk pejabat rakus seperti mereka”. Pernyataan publik itu mewakili suara masyarakat yang marah ketika mengetahui para pejabatnya ramai-ramai secara berjamaah membagi-bagikan uang rakyat.

Begitu juga rilis media tentang  10 Kepala Distrik dan 35 Kepala Kelurahan dikawal oleh 8 staf di lingkup Pemerintah Kota Sorong. Rabu, 05 Maret 2014 yang diberangkatkan ke Surabaya 1 bulan sebelum pemilihan calon anggota DPRD Kota Sorong. Kita berharap perjalanan ini nurni studi banding guna mempelajari tata kelola Kota Surabaya, sasaran studi banding tentang tata kelola yang baik, terutama pada kebersihan Kota. dan melihat sumber-sumber tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota surabaya yang sangat tinggi. Beberapa wacana tahun ini memiliki tendensi sangat kompleks, karena mendapat liputan yang terbilang intens oleh media lokal, baik dalam maupun di luar kota. 

Sementara, disisi lain ada wajah kontras karena terancamnya ratusan masyarakat asli papua asal maybrat yang kesehariaannya mengais rejeki dengan modal otot sebagai pekerja pemecah batu gunung di 10 titik di lokasi Kota Sorong, harus pasrah beradah di titik nadir, dimana lokasi depan Gedung Olahraga Cenderawasih Sorong, biasanya digunakan sebagai tempat sandaran hidup lumpuh total akibat dipalang oleh pemilik tanah adat dan pendatang yang berdomisili di sekitar lokasi proyek.
Menurut hemat penulis, kasus ini adalah kasus yang memprihatinkan kehidupan masyarakat kecil karena pemerintah terkesan lamban menangani hal ini, walaupun semua cara telah masyarakat lakukan, baik aksi ke Kantor Walikota Sorong akhir April 2014 lalu, dan rencana pelepasan tanah adat bersama lembaga masyarakat adat malamoi Kamis, 27 November 2014 masih terus dilakukan.
Dalam tulisan ini tidak ada motif apapun, karena punulis hanya ingin menunjukan sudut pandang, antara fenomena pemborosan anggaran. Sungguh situasi ini kontras dengan realitas rakyat kecil yang sementara berdarah-darah untuk mendapat sesuap nasih. Disaat wajah DPRD dan pemerintahnya dalam posisi menghambur-hamburkan uang, tanpa menyentu kepentingan publik.
Dalam kasus pemalangan lokasi proyek, pemerintah lamban hadir untuk mencari solusi konkrit. hingga muncul pertanyaan menggelitik, dimana hati nurani para anggota DPRD dan Pemerintah Kota Sorong dalam hal ini Wali Kota sebagai kepala pemerintahan, dalam menyikapi masalah serius yang dihadapai oleh pekerja pemecah batu yang nota bene sebagai representatif dari kaum marginal di pinggiran kota ini.
Terlepas dari kasus bagi habis dana pelantikan walikota yang diterima oleh oknum angota DPRD, kali ini penulis hanya mengulas kutipan beberapa alasan keberangkatan pemerintah (10 Kadistrik, 35 Lurah dan 8 staf pemkot) melakukan perjalanan mengunjungi beberapa kelurahan di Surabaya yang tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat tinggi, dan melihat tata kelola Distrik dan kelurahan yang baik, mekanisme yang baik dalam pengelolaan sampah. Dan melihat situasi Kali Brantas di Surabaya yang memasukkan PAD bagi Kota Surabaya yang sangat tinggi, serta taman Wali Kota Surabaya yang berada di depan gedung Wali Kota Surabaya yang sangat indah, bisa dicontohi untuk diterapkan di Kota Sorong nantinya, sebagai alun-alun dengan aneka taman yang indah.
Fakta pembangunannnya secara kasat mata bisa disaksikan, sementara kasus yang melilit masyarakat pekerja pemecah batu ibarat wabah atau kutukan yang memang sudah tidak ada jalan keluarnya. Apa hanya karena urusan PAD pemerintah nekat reformasi birokrasi di kota ini guna mewujutkan kota ini menjadi kota termaju dan tertedapan di tanah papua seperti visi kampanye bapak walikota sorong tiga tahun lalu, dan mengorbankan kepenting pekerja pemecah batu, sebagai representasi dari rakyat kecil. “Toh faktanya masyarakat pekerja pemecah batu selama ini tidak membayar pajak kepada pemerintah ! jadi untuk apa kita mengurusi nasip mereka” barangkali itu kalimat tunggal di benak pemerintah sehingga mereka cuci tangan dengan nasip rakyat kecil sebagai pekerja pemecah batu !!
Seandainya pemerintah cepat hadir memberi saran atas massalah ini, maka apreseasi publik akan mengalir deras, dan itu bagian dari dukungan riil politik rakyat yang memang dalam pilkada lalu memenangkan walikota terpilih unggul satu putaran. Mengapa saran itu perlu dilakukan walikota? Pikiran sederhananya, dengan menegur mereka ‘para pemalang’ citra politik pemerintahan akan lebih baik. Sebaliknya, bila dibiarkan maka publik akan berpikir, bahwa apa yang dilakukan pemerintah adalah bagian dari perilaku rakus akan kekuasaan yang mewarisi dosa massa lalu, karena tidak ada niat baik melihat rakyat kecil di kota ini, yang ada lebih melihat investor besar.
Apasalahnya studi banding tentang PAD ke Surabaya yang menggunakan uang rakyat ini, pemerintah terapkan lewat cara mencari solusi atas kasus pemalangan ini dan menerapkannya dalam bentuk penarikan pajak yang dibebankan bagi masyarakat pekerja pemecah batu, penulis pikir hal ini akan diterima dengan senang hati oleh masyarakat pasalnya sudah hampir puluhan tahun hal ini tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kepentingan PAD Kota Sorong, sumber PAD kota sorong pada kasus ini sebenarnya tidak di garap dengan baik.
Kalau pembangunan hanya untuk urusan kepentingan investor dari luar lalu mengabaikan rakyatmu sesama pemiliki negeri leluhur, maka penulis khawatir jangan sampai mereka kelak hanya menjadi korban dari pembangunan yang bapak perjuangkan. Barangkali itu definisi Politik Pembangunan Setengah Hati yang penulis maksutkan, karena pemerintah cenderung menolong kepentingan investor ketimbang, menolong masyarakat kecil untuk mampu mengambil bagian dalam pembangunan yang diciptakan oleh investor yang bapa datangkan ke depan. Semoga

(*) Robertus Nauw, Adalah Aktivis Lembaga Intelektual Papua, & Penulis Buku Jurang Penderitaan

(Dikutip dari Radar Sorong edisi Sabtu, 29 November 2014)