Rakyat tidak pernah salah kalau mereka miskin, bodoh, kelaparan,
dan tidak mampu, yang salah bukan rakyat, melainkan pemerintah yakni
pihak Eksekutif, Legislatif, Yudikatif sebagai pemegang kekuasaan atas
mereka. Itu artinya negara dan para pejabatnya yang salah apabila tidak
becus memberikan ketenangan hidup, apalagi menjamin masa depan rakyatnya
untuk sejahtera." (Kompas, J. Sumarjo, 2013)
Kutipan di
atas berangkat dari beberapa realita yang memilukan hati, lihat saja isu
beberapa anggota DPRD Kota Sorong dirilis media lokal belum lama ini,
menerima dana pelantikan walikota dengan besaran mencapai ratusan juta
perorang, namun sampai dengan hari ini tidak pernah mendapat sorotan
publik.
"Walaupun lebih adil seharusnya rakyat kecil yang menerima dana
tersebut lewat sentuhan kebijakan yang lebih memihak, bukan sebaliknya
untuk pejabat rakus seperti mereka". Pernyataan publik itu mewakili
suara masyarakat yang marah ketika mengetahui para pejabatnya
ramai-ramai secara berjamaah membagi-bagikan uang rakyat.
Begitu
juga rilis media tentang 10 Kepala Distrik dan 35 Kepala Kelurahan
dikawal oleh 8 staf di lingkup Pemerintah Kota Sorong. Rabu, 05 Maret
2014 yang diberangkatkan ke Surabaya 1 bulan sebelum pemilihan calon
anggota DPRD Kota Sorong. Kita berharap perjalanan ini murni studi
banding guna mempelajari tata kelola Kota Surabaya, sasaran studi
banding tentang tata kelola yang baik, terutama pada kebersihan Kota dan
melihat sumber-sumber tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota
Surabaya yang sangat tinggi. Beberapa wacana tahun ini memiliki tendensi
sangat kompleks, karena mendapat liputan yang terbilang intens oleh
media lokal, baik dalam maupun di luar kota.
Di sisi lain ada
wajah kontras karena terancamnya ratusan masyarakat asli Papua asal
Maybrat yang kesehariaannya mengais rejeki dengan modal otot sebagai
pekerja pemecah batu gunung di 10 titik di lokasi Kota Sorong, harus
pasrah berada di titik nadir, di mana lokasi depan Gedung Olahraga
Cenderawasih Sorong, biasanya digunakan sebagai tempat sandaran hidup
lumpuh total akibat dipalang oleh pemilik tanah adat dan pendatang yang
berdomisili di sekitar lokasi proyek.
Menurut hemat penulis,
kasus ini adalah kasus yang memprihatinkan kehidupan masyarakat kecil
karena pemerintah terkesan lamban menangani hal ini, walaupun semua cara
telah masyarakat lakukan, baik aksi ke Kantor Walikota Sorong akhir
April 2014 lalu dan rencana pelepasan tanah adat bersama lembaga
masyarakat adat Malamoi, Kamis, 27 November 2014 masih terus dilakukan.
Dalam
tulisan ini tidak ada motif apa pun, karena penulis hanya ingin
menunjukkan sudut pandang antara fenomena pemborosan anggaran. Sungguh
situasi ini kontras dengan realitas rakyat kecil yang sementara
berdarah-darah untuk mendapat sesuap nasi. Di saat wajah DPRD dan
pemerintahnya dalam posisi menghambur-hamburkan uang tanpa menyentuh
kepentingan publik.
Dalam kasus pemalangan lokasi proyek,
pemerintah lamban hadir untuk mencari solusi kongkrit. hingga muncul
pertanyaan menggelitik di mana hati nurani para anggota DPRD dan
Pemerintah Kota Sorong dalam hal ini Wali Kota sebagai kepala
pemerintahan dalam menyikapi masalah serius yang dihadapi oleh pekerja
pemecah batu yang nota bene sebagai representatif dari kaum marginal di
pinggiran kota.
Terlepas dari kasus bagi habis dana pelantikan
walikota yang diterima oleh oknum angota DPRD, kali ini penulis hanya
mengulas kutipan beberapa alasan keberangkatan pemerintah (10 Kadistrik,
35 Lurah dan 8 staf pemkot) melakukan perjalanan mengunjungi beberapa
kelurahan di Surabaya yang tingkat Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat
tinggi serta melihat tata kelola Distrik dan kelurahan yang baik,
mekanisme yang baik dalam pengelolaan sampah. Dan melihat situasi Kali
Brantas di Surabaya yang memasukkan PAD bagi Kota Surabaya yang sangat
tinggi, serta taman Wali Kota Surabaya yang berada di depan gedung Wali
Kota Surabaya yang sangat indah bisa dicontohi untuk diterapkan di Kota
Sorong nantinya, sebagai alun-alun dengan aneka taman yang indah.
Fakta
pembangunannya secara kasat mata bisa disaksikan, sementara kasus yang
melilit masyarakat pekerja pemecah batu ibarat wabah atau kutukan yang
memang sudah tidak ada jalan keluarnya. Apa hanya karena urusan PAD
pemerintah nekat reformasi birokrasi di kota ini guna mewujudkan kota
ini menjadi kota termaju dan tertedapan di tanah Papua seperti visi
kampanye bapak walikota sorong tiga tahun lalu dan mengorbankan
kepenting pekerja pemecah batu sebagai representasi dari rakyat kecil.
"Toh faktanya masyarakat pekerja pemecah batu selama ini tidak membayar
pajak kepada pemerintah! jadi untuk apa kita mengurusi nasip mereka"
barangkali itu kalimat tunggal di benak pemerintah sehingga mereka cuci
tangan dengan nasib rakyat kecil sebagai pekerja pemecah batu!!
Seandainya
pemerintah cepat hadir memberi saran atas masalah ini maka apresiasi
publik akan mengalir deras dan itu bagian dari dukungan riil politik
rakyat yang memang dalam pilkada lalu memenangkan walikota terpilih
unggul satu putaran. Mengapa saran itu perlu dilakukan walikota? Pikiran
sederhananya, dengan menegur mereka 'para pemalang' citra politik
pemerintahan akan lebih baik. Sebaliknya, bila dibiarkan maka publik
akan berpikir bahwa apa yang dilakukan pemerintah adalah bagian dari
perilaku rakus akan kekuasaan yang mewarisi dosa massa lalu karena tidak
ada niat baik melihat rakyat kecil di kota ini yang ada lebih melihat
investor besar.
Apa salahnya studi banding tentang PAD ke
Surabaya yang menggunakan uang rakyat ini, pemerintah terapkan lewat
cara mencari solusi atas kasus pemalangan ini dan menerapkannya dalam
bentuk penarikan pajak yang dibebankan bagi masyarakat pekerja pemecah
batu, penulis pikir hal ini akan diterima dengan senang hati oleh
masyarakat pasalnya sudah hampir puluhan tahun hal ini tidak
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kepentingan PAD Kota Sorong, sumber
PAD kota sorong pada kasus ini sebenarnya tidak digarap dengan baik.
Kalau
pembangunan hanya untuk urusan kepentingan investor dari luar lalu
mengabaikan rakyatmu sesama pemilik negeri leluhur, maka penulis
khawatir jangan sampai mereka kelak hanya menjadi korban dari
pembangunan yang sedang diperjuangkan. Barangkali itu definisi Politik
Pembangunan Setengah Hati yang penulis maksudkan, karena pemerintah
cenderung menolong kepentingan investor ketimbang menolong masyarakat
kecil untuk mampu mengambil bagian dalam pembangunan yang diciptakan
oleh investor yang akan didatangkan ke depan. Semoga
Robertus Nauw, Adalah Aktivis Lembaga Intelektual Papua Cabang Sorong
Sumber: dikutip dari majalah selangkah.com (http://majalahselangkah.com/content/politik-pembangunan-setengah-hati)