Oleh:
Robertus Nauw (*)
Rakyat
sangat mengharapkan perbaikan disana-sini, dari keadaan hidup yang ada dengan
menyatukan diri di bawah pimpinan masyarakat kampus. Nyatanya mereka sudah di
beli idealismenya, membuat kemerdekaan manusia mereka sebagai aktivis mahasiswa
dan aktivis OKP di kota ini dirampas dengan murah. Potret seperti ini adalah modus
operasi senyat dari pemimpin yang anti terhadap kritik. Lihat saja dinamika tulisan Opini Radar Sorong Edisi Rabu, 25 Ferbuari
2015 yang berbuntut permintaan klarifikasi oleh kelompok tertentu dengan dalil pencemaran nama baik yang hari ini hilang tanpa
hak jawab.
Sontak
mendapat kritik tajam dari beberapa pemimpin redaksi seperti pimpinan redaksi
tabloid jubi, yang juga ketua Aliansi Jurnalistik Independen kota Jayapura, dan
beberapa wartawan senior Tabloid Jubi, Papuapos,
RRI Sorong serta aktivis Ham asal Papua dan Bloger Papua angkat bicara di media
sosial untuk mengkritisi dan memberi solusi pada pemerintah karena masyarakat
sangat mengharapkan pers. Pasalnya, bagaimana mungkin pers langsung berhadapan
dengan adat seperti ini, toh tidak ada yang
salah, padahal isi opini yang dipublikasi di sionstudyclub.blogspot.com ini telah di baca dan dianalisis kembali, mereka tidak melihat
ada persoalan pencemaran nama baik
di sana dan apalagi melihat persoalan adat.
Karena
ini murni kritik sosial sekalipun data yang disajikan hanya data lapangan
yang masih konrofesi yang mengangkat fakta dan isu primadona di
kalangan akar rumput seantero papua. Yang diangkat ke publik dengan karya jurnalistik dengan cara
intelektual menulis pada kolom pendapat pribadi (opini), kalau opini saja dianggap
melakukan pencemaran nama baik, maka itu kriminalisasi penulis namanya. karena
di media hanya mengenal hak jawab, bukan ganti rugi dan bayar membayar. jika
ada pihak yang tersinggung dengan
tulisan opini silahkan mejawabnyadengan tulisan opini pula, bukan sebaliknya buat wacana liar.
Sebenarnya
masyarakat harus dididik dengan pencerahan yang
baik, mengingat kasus pengrusakan
kediaman pribadi pemimpin kota ini dengan dalil harus bertanggungjawab atas dana
pelantikan walikota yang jika dikaji sarat dengan kepentingan dan juga
sarat dengan pencemaran nama baik di
sana. Toh..tidak dipersoalkan (baca bintangpapua.com, rumah walikota sorong
dirusak puluhan warga) Sekali lagi penulis tidak punya motif dan sentiment politik
apapun, karena penulis lebih melihat pada sisi penderitaan yang melilit rakyat dan
sekaligus melihat motif politik dari pemerintah
secara jangka panjang yang kemudian membuat pemerintah hati-hati dalam
bertindak.
Bukan
retorika, beberapa kehidupan ekonomi masyarakat pada beberapa bidang mata pencaharian
sudah memilukan hati, tapi pemerintah tidak hadir di sana untuk mengadakan perbaikan
sosial dengan segera dan melakukan sebuah perbaikan yang berarti. Walau retorika
dan fakta sulit dibedakan, karena kebenarannya relatif, tetap saja pemerintah
bangga telah berhasil mengatasnamakan rakyat, dengan sejumlah janji kosong yakni
mereka telah berhasil mensejahterakan masyarakat. Kalau saja masyarakat kritis
mereka bisa bertanya masyarakat mana yang disejahterakan? buktinya yang
sejahtera hanya masyarakat yang punya kaitan erat dengan kekuasaan seperti, infestor,
kelompok kepentingan dan tokoh masyarakat piaraan pemerintah yang sejahtera. sebab
kekuasaan hanya berbutar pada kalangan orang dekat seperti mereka. Sedangkan
rakyat untuk sesuap nasi harus berjuang
dengan berdarah-darah.
Pemerintah terkesan banyak membelokan perhatian dari tuntutan perubahan yang lebih fundamental dari setiap dinamika di masyarakat dengan hal remeh-temeh. Sekali lagi ini memberi gambaran ke masyarakat bahwa pemerintah tidak mendidik masyarakatnya, malah pemerintah ikut membiarkan opini berlarut tanpa kejelasan, mereka pemimpin publik yang konon katanya diidolakan oleh rakyat massa itu kelak membawa perubahan. Namun ditingkat realita pemerintah tetap abunawas tinggi (abuti) lihat saja kasus pemalangan yang melilit masyarakat pekerja pemecah batu di lokasi proyek GOR Sorong sebagai bukti bahwa solusi pemerintah sampai detik ini tetap KJ. (Baca: nasip kuli batu di kota sorong, di jeratpapua.org)
Padahal
uang rakyat yang dihambur-hamburkan untuk kepentingan teori studi banding 35
Lurah dan 10 kepala distrik sekota sorong yang berkaitan dengan peningkatan PAD
ke Surabaya beberapa tahun lalu dalam realitas praktek tidak berlaku, toh
selama ini masyarakat yang menggarap lokasi proyek tidak membayar pajak ke
pemerinta. Hikmah ini seharusnya ada di isi kepala peserta studi banding yang
melihat PAD Surabaya, untuk diterapkan di kota sorong. Faktanya nol bulat, pemerintah
sendiri yang biarkan kasus ini hilang bagai kutukan.
Melihat
fenomena ketidak berdayaan rakyat, dan cara pemerintah bersikap malah
mempertegas status mereka sebagai biang kerok, dari segala kejahatan yang
terorganisir walau sejatinya pemerintah itu bukan sindikat kejahatan. kendatipun
di tingkat realita pemerintah periode 2012-2017 mereka melakukan beberapa
kejahatan seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang sangat kental.
(Baca: Antara Korupsi
Dan Sentiment Politik Di Kota Sorong, pada jaringan advokasi LSM Papua Barat, vogelkoppapua.org)
Sampai
kalau partisipasi masyarakat tidak dibangun untuk mengawal sutu resim yang
Korup, Kolusi dan Nepotisme dengan baik, kebenaran pasti terancam sebab
diinternal elit dengan gerombolannya cenderung akan merasionalisasikan
kepentingan-kepentingan egoisnya sebagai nilai universal di pikiran masyarakat.
cara pandang masyarakat sudah ikut di pengaruhi oleh kepentingan mereka. Dimana
semua isu yang dibelah masyarakat adalah lebih mementikan isu pejabat ketimbang,
berpikir tentang nasib rakyat kecil.
Masyarakat
tidak melihat cara berpikir seperti itu efektif
mempengaruhi apa yang menjadi cita-cita, keyakinan dan tentunya kebenaran akan
arti sejakhtera yang mereka ingin perjuangkan walau itu dengan berdarah-darah
lewat jualan di emperan jalan, minim bantuan modal usaha, kuli bangunan, tenaga
kerja bongkar muat, pemecah batu, berkebun, tukang ojek, penggali pasir,
pengangguran terhormat, sampai tukang mabuk pun mentalnya di ganggu karena ini
berkaitan dengan kesejahteraan hidup. Barangkali kejahatan ini dilakukan secara
massif, memiliki tujuan jangka panjang yang ingin dicapai oleh sindikat pejabat
terhormat. Toh, mengingat politik adalah seni mencari berbagai kemungkinan,
jadi analisis sederhana ini juga bisa serba kemungkinan yakni soal benar dan
tidak juga relatif. Ingat, uang rakyat
tidak boleh dihamburkan untuk kepentingan lain, apalagi untuk kepentingan elit
tertentu.
Dalam
teori perbedaan struktur mengatakan bahwa “Perbedaan Sosial Dan Ekonomi Akan
Menjadi Sumber Kejahatan” penulis melihat dinamika sosial yang terjadi di kota
sorong, hampir semua punya kaitan erat. Sebut saja (1) kasus pembakaran rumah warga papua di
kompleks jalan baru, (2) apresiasi
penulis melihat fakta kerusuhan yang sudah menjurus ke masalah SARA yang
kemudian di akui pemerintah dan polisi secara cepat sebagai kriminal murni, (3)
kasus demonstrasi warga non papua yang berbuntut pemblokadean jalan di depan
kompleks pasar bersama yang menuntut ada
keberpihakan pemkot sorong menata leingkungan dan kehidupan mereka, (4) serta
kasus perebutan lahan terminal trans Sorong Maybrat. dan (5) sejumlah kasus
lain seperti demonstrasi warga pekerja pemecah batu di halaman kantor walikota,
(6) Pemalangan kantor lurah Klakublik dan
juga (7) demonstrasi terkait rekrutmen K2 ke DPRD Kota sorong adalah rentetan
dari sebuah perbedaan sosial dan ekonomi menurut hemat penulis yang kemudian mendorong masyarakat akar
rumput seperti ini untuk begerak dengan cara mereka sendiri.
Pemerintah
patut bersyukur, masyarakat masih berjalan sendiri-sendiri,tanpa basis sosial
yang terstruktur dan belum ada budaya kekerasan pada kaum yang tergolong
diabaikan, sampai ke pinggiran kekuasaan seperti ini dalam melakukan perlawanan
secara sporadis. Bahkan dikalangan sesama rakyat belum ada perasaan senasib, sebagai
kelompok marginal, yang membuat mereka mencari solusi dari apa yang tidak
berlaku di norma masyarakat. Itu artinya pikiran masyarakat akar rumput masih
logis walau sebagian telah apatis. dimana mereka berusaha untuk tetap hidup
walau itu pahit adanya dan mereka tidak memilih seperti binatang sepenuhnya,
walaupun sadar logika mereka sudah dipermainkan oleh situasi ekonomis atau
politik.
Bayangkan
ketika sistem transparansi tidak dibangun, untuk masyarakat ikut mengawasi
penggunaan anggaran, otomatis akan berakhir diselewengkan, dicuri dan
sebagainya. Padahal kepentingan rakyat harus di atas segalanya, slogan kampanye
3 tahun lalu jika di anekdot dengan fakta yang melilit rakyat aka memiliki arti
“Memilih Pemimpin Yang Memberi Kematian Bagi Hidup Dan Kehidupan” dan “Tidak
Ada Kata Lelah Bagi Rakyat, Kalian Sendiri Yang Harus Berjuang Sampai Mati Jika
Ingin Bertahan Hidup” namun di atas semua itu penulis yakin segala perselisihan
pasti dapat diselesaikan dengan jalan damai, untuk kepentingan rakyat.
Asal
pemimpinnya didukung pembantu yang bisa menterjemahkan visi misinya dengan
baik, sehingga dalam realisasi, pemimpinnya tidak miliki tugas ganda,
berhadap-hadapan dengan rakyat, andai pembantunya cerdas otomatis pimpinannya tidak perlu turun gunung
menyelesaikan persoalan reme-temeh
yang sarat dengan motif terselubung
ini. Sehingga pemimpinya tetap fokus pada tujuan agartidak mengingkari janjinya
“Tidak Ada Kata Lelah Bagi Rakyat” bekerja
dengan jujur tanpa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme untuk kesejahteraan rakyat. Agar
janji itu tidak diingat oleh rakyat sebagai janji yang diingkari. SEMOGA
(*) Penulis Adalah Aktivis Lembaga Intelektual
Papua,
Penulis
Buku Jurang Penderitaan