Jumat, 22 Mei 2015

Janji Yang Diingkari



Oleh: Robertus Nauw  (*)


Selama ini pemerintah melakukan komunikasi politik sampai ke akar rumput, namun pemahaman persoalan politik di akar rumput bukannya membaik, karena komunikasi yang sampai, ikut memperparah karena tidak untuk mendidik masyarakat dimana wacananya mereka saling menguasai, saling menjajah, dan saling menjegal. tentu ini tidak bisa membuka peluang kepada akar rumput (kaum marginal) untuk berintegrasi dalam kehidupan politik secara adil. Mereka  lupa ingatan akan setiap jargon kerja bagi rakyat dimassa kampanye tiga tahun silam “Tidak ada kata menyerah untuk rakyat” hal ini paradoks dengan nasip rakyat, mengingat ketidakadilan yang melilit akar rumput, telah membuat nurani pemimpin mati suri, bukankah hakikat kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati dan dapat merasakan kedukaan itu, hakikat itu seakan tidak dimiliki oleh para elit. Dan keburukan itu ikut merasuki sampai ke aktivis mahasiswa yang harus hadir sebagai kelompok penekan. 

Rakyat sangat mengharapkan perbaikan disana-sini, dari keadaan hidup yang ada dengan menyatukan diri di bawah pimpinan masyarakat kampus. Nyatanya mereka sudah di beli idealismenya, membuat kemerdekaan manusia mereka sebagai aktivis mahasiswa dan aktivis OKP di kota ini dirampas dengan murah. Potret seperti ini adalah modus operasi senyat dari pemimpin yang anti terhadap kritik. Lihat saja dinamika  tulisan Opini Radar Sorong Edisi Rabu, 25 Ferbuari 2015 yang berbuntut permintaan klarifikasi oleh kelompok tertentu dengan dalil  pencemaran nama baik yang hari ini hilang tanpa hak jawab. 

Sontak mendapat kritik tajam dari beberapa pemimpin redaksi seperti pimpinan redaksi tabloid jubi, yang juga ketua Aliansi Jurnalistik Independen kota Jayapura, dan beberapa wartawan senior  Tabloid Jubi, Papuapos, RRI Sorong serta aktivis Ham asal Papua dan Bloger Papua angkat bicara di media sosial untuk mengkritisi dan memberi solusi pada pemerintah karena masyarakat sangat mengharapkan pers. Pasalnya, bagaimana mungkin pers langsung berhadapan dengan adat seperti ini, toh tidak  ada yang salah, padahal isi opini yang dipublikasi di sionstudyclub.blogspot.com ini telah di baca  dan dianalisis kembali, mereka tidak melihat ada persoalan  pencemaran  nama baik  di sana dan apalagi melihat persoalan adat. 

Karena ini murni kritik sosial sekalipun data yang disajikan hanya data lapangan yang  masih  konrofesi yang  mengangkat fakta dan isu primadona di kalangan akar rumput seantero papua. Yang diangkat  ke publik dengan karya jurnalistik dengan cara intelektual menulis pada kolom pendapat pribadi (opini), kalau opini saja dianggap melakukan pencemaran nama baik, maka itu kriminalisasi penulis namanya. karena di media hanya mengenal hak jawab, bukan ganti rugi dan bayar membayar. jika ada pihak yang  tersinggung dengan tulisan opini silahkan mejawabnyadengan tulisan opini  pula, bukan sebaliknya buat wacana liar. 

Sebenarnya masyarakat harus dididik dengan pencerahan yang  baik,  mengingat kasus pengrusakan kediaman pribadi pemimpin kota ini dengan dalil harus  bertanggungjawab  atas  dana pelantikan walikota yang jika dikaji sarat dengan kepentingan dan juga sarat  dengan pencemaran nama baik di sana. Toh..tidak dipersoalkan (baca bintangpapua.com, rumah walikota sorong dirusak puluhan warga) Sekali lagi penulis tidak punya motif dan sentiment politik apapun, karena penulis  lebih melihat  pada sisi penderitaan yang melilit rakyat dan sekaligus  melihat motif politik dari pemerintah secara jangka panjang yang kemudian membuat pemerintah hati-hati dalam bertindak. 

Bukan retorika, beberapa kehidupan ekonomi masyarakat pada beberapa bidang mata pencaharian sudah memilukan hati, tapi pemerintah  tidak hadir di sana untuk mengadakan perbaikan sosial dengan segera dan melakukan sebuah perbaikan yang berarti. Walau retorika dan fakta sulit dibedakan, karena kebenarannya relatif, tetap saja pemerintah bangga telah berhasil mengatasnamakan rakyat, dengan sejumlah janji kosong yakni mereka telah berhasil mensejahterakan masyarakat. Kalau saja masyarakat kritis mereka bisa bertanya masyarakat mana yang disejahterakan? buktinya yang sejahtera hanya masyarakat yang punya kaitan erat dengan kekuasaan seperti, infestor, kelompok kepentingan dan tokoh masyarakat piaraan pemerintah yang sejahtera. sebab kekuasaan hanya berbutar pada kalangan orang dekat seperti mereka. Sedangkan rakyat  untuk sesuap nasi harus berjuang dengan berdarah-darah.  

Pemerintah terkesan banyak membelokan perhatian dari tuntutan perubahan yang lebih fundamental dari setiap dinamika di masyarakat dengan hal remeh-temeh. Sekali lagi ini memberi gambaran ke masyarakat bahwa pemerintah tidak mendidik masyarakatnya, malah pemerintah ikut membiarkan opini berlarut tanpa kejelasan, mereka pemimpin publik yang konon katanya diidolakan oleh rakyat massa itu kelak membawa perubahan. Namun ditingkat realita pemerintah tetap abunawas tinggi (abuti) lihat saja kasus pemalangan yang melilit masyarakat pekerja pemecah batu di lokasi proyek GOR Sorong sebagai bukti bahwa solusi pemerintah sampai detik ini tetap KJ. (Baca: nasip kuli batu di kota sorong, di jeratpapua.org)

Padahal uang rakyat yang dihambur-hamburkan untuk kepentingan teori studi banding 35 Lurah dan 10 kepala distrik sekota sorong yang berkaitan dengan peningkatan PAD ke Surabaya beberapa tahun lalu dalam realitas praktek tidak berlaku, toh selama ini masyarakat yang menggarap lokasi proyek tidak membayar pajak ke pemerinta. Hikmah ini seharusnya ada di isi kepala peserta studi banding yang melihat PAD Surabaya, untuk diterapkan di kota sorong. Faktanya nol bulat, pemerintah sendiri yang biarkan kasus ini hilang bagai kutukan.
Melihat fenomena ketidak berdayaan rakyat, dan cara pemerintah bersikap malah mempertegas status mereka sebagai biang kerok, dari segala kejahatan yang terorganisir walau sejatinya pemerintah itu bukan sindikat kejahatan. kendatipun di tingkat realita pemerintah periode 2012-2017 mereka melakukan beberapa kejahatan seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang sangat kental.
(Baca: Antara Korupsi Dan Sentiment Politik Di Kota Sorong, pada jaringan advokasi LSM Papua Barat, vogelkoppapua.org) 

Sampai kalau partisipasi masyarakat tidak dibangun untuk mengawal sutu resim yang Korup, Kolusi dan Nepotisme dengan baik, kebenaran pasti terancam sebab diinternal elit dengan gerombolannya cenderung akan merasionalisasikan kepentingan-kepentingan egoisnya sebagai nilai universal di pikiran masyarakat. cara pandang masyarakat sudah ikut di pengaruhi oleh kepentingan mereka. Dimana semua isu yang dibelah masyarakat adalah lebih mementikan isu pejabat ketimbang, berpikir tentang nasib rakyat kecil.  

Masyarakat tidak melihat cara berpikir seperti itu  efektif mempengaruhi apa yang menjadi cita-cita, keyakinan dan tentunya kebenaran akan arti sejakhtera yang mereka ingin perjuangkan walau itu dengan berdarah-darah lewat jualan di emperan jalan, minim bantuan modal usaha, kuli bangunan, tenaga kerja bongkar muat, pemecah batu, berkebun, tukang ojek, penggali pasir, pengangguran terhormat, sampai tukang mabuk pun mentalnya di ganggu karena ini berkaitan dengan kesejahteraan hidup. Barangkali kejahatan ini dilakukan secara massif, memiliki tujuan jangka panjang yang ingin dicapai oleh sindikat pejabat terhormat. Toh, mengingat politik adalah seni mencari berbagai kemungkinan, jadi analisis sederhana ini juga bisa serba kemungkinan yakni soal benar dan tidak juga relatif.  Ingat, uang rakyat tidak boleh dihamburkan untuk kepentingan lain, apalagi untuk kepentingan elit tertentu. 

Dalam teori perbedaan struktur mengatakan bahwa “Perbedaan Sosial Dan Ekonomi Akan Menjadi Sumber Kejahatan” penulis melihat dinamika sosial yang terjadi di kota sorong, hampir semua punya kaitan erat. Sebut saja (1)  kasus pembakaran rumah warga papua di kompleks jalan baru, (2)  apresiasi penulis melihat fakta kerusuhan yang sudah menjurus ke masalah SARA yang kemudian di akui pemerintah dan polisi secara cepat sebagai kriminal murni, (3) kasus demonstrasi warga non papua yang berbuntut pemblokadean jalan di depan kompleks pasar  bersama yang menuntut ada keberpihakan pemkot sorong menata leingkungan dan kehidupan mereka, (4) serta kasus perebutan lahan terminal trans Sorong Maybrat. dan (5) sejumlah kasus lain seperti demonstrasi warga pekerja pemecah batu di halaman kantor walikota, (6)  Pemalangan kantor lurah Klakublik dan juga (7) demonstrasi terkait rekrutmen K2 ke DPRD Kota sorong adalah rentetan dari sebuah perbedaan sosial dan ekonomi menurut hemat penulis  yang kemudian mendorong masyarakat akar rumput seperti ini untuk begerak dengan cara mereka sendiri. 

Pemerintah patut bersyukur, masyarakat masih berjalan sendiri-sendiri,tanpa basis sosial yang terstruktur dan belum ada budaya kekerasan pada kaum yang tergolong diabaikan, sampai ke pinggiran kekuasaan seperti ini dalam melakukan perlawanan secara sporadis. Bahkan dikalangan sesama rakyat belum ada perasaan senasib, sebagai kelompok marginal, yang membuat mereka mencari solusi dari apa yang tidak berlaku di norma masyarakat. Itu artinya pikiran masyarakat akar rumput masih logis walau sebagian telah apatis. dimana mereka berusaha untuk tetap hidup walau itu pahit adanya dan mereka tidak memilih seperti binatang sepenuhnya, walaupun sadar logika mereka sudah dipermainkan oleh situasi ekonomis atau politik.          

Bayangkan ketika sistem transparansi tidak dibangun, untuk masyarakat ikut mengawasi penggunaan anggaran, otomatis akan berakhir diselewengkan, dicuri dan sebagainya. Padahal kepentingan rakyat harus di atas segalanya, slogan kampanye 3 tahun lalu jika di anekdot dengan fakta yang melilit rakyat aka memiliki arti “Memilih Pemimpin Yang Memberi Kematian Bagi Hidup Dan Kehidupan” dan “Tidak Ada Kata Lelah Bagi Rakyat, Kalian Sendiri Yang Harus Berjuang Sampai Mati Jika Ingin Bertahan Hidup” namun di atas semua itu penulis yakin segala perselisihan pasti dapat diselesaikan dengan jalan damai, untuk kepentingan rakyat. 

Asal pemimpinnya didukung pembantu yang bisa menterjemahkan visi misinya dengan baik, sehingga dalam realisasi, pemimpinnya tidak miliki tugas ganda, berhadap-hadapan dengan rakyat, andai pembantunya cerdas  otomatis pimpinannya tidak perlu turun gunung menyelesaikan persoalan reme-temeh  yang  sarat dengan motif terselubung ini. Sehingga pemimpinya tetap fokus pada tujuan agartidak mengingkari janjinya  “Tidak Ada Kata Lelah Bagi Rakyat” bekerja dengan jujur tanpa Korupsi, Kolusi dan Nepotisme untuk kesejahteraan rakyat. Agar janji itu tidak diingat oleh rakyat sebagai janji yang diingkari. SEMOGA

(*)  Penulis Adalah Aktivis Lembaga Intelektual Papua,
      Penulis  Buku Jurang Penderitaan