(Sebuah Refleksi Kritis Akan Dinamika Politik Di Kampung
Halaman)
Oleh: Robertus Nauw (*)
Perhelatan
politik sudah ujung pintu, genderang pilkada sudah di tabu maybrat siap
melilih, semua itu kembali ke pilihan pibadi, sebagaai orang yang berilmu
tentunya sudah mampu mengambil satu keputusan, namun bagaimana dengan yang tak
berilmu di negeri kita, apakah harus jadi korban cuci otak kalangan tertentu, sebagai
kelasiman dalam perilaku politik di negeri yang konon katanya didiami oleh ra
bobot, entah !!
“Maybrat
adalah sebuah daerah otonom baru dibentuk berdasarkan undang-undang no 13 tahun
2009 tentang pembentukan kabupaten maybrat dengan jumlah penduduk berdasarkan
undang-undang ini kurang lebih 30612 juta jiwa (tanpa dirinci berdasarkan jenis
kelamin) sebagian besar berdomisili di daerah pedalaman maybrat dengan mata
pencaharian utama sebagai petani yang berkebun masi secara nomaden.” (Nadjemuddin, hal 13)
Seiring
berjalannya waktu, apakah visi perbaiakn kualitas hidup akar rumput yang
menjadi isu primadona sebagai bargaining hadirnya pemerintahan di sana, apakah sudah berjalan sesuai asas kelayakan, atau
belum biar pemimpin dan komplotannya yang bicara lewat program nyata.
Untuk
mewujudkan pemerintahan yang dapat melakukan semua tugas pokok dan
mengembangkan misinya, diperlukan lembaga dan pemimpin yang siap melayani
masyarakat. Sejauh ini, di Kab Maybrat sudah terlihat bahwa kehadiran
lembaga-lembaga pemerintahan semakin dominan. Sayangnya lembaga-lembaga itu
seringkali tidak begitu mampu memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat.
Dengan
mengambil maybrat sebagai obyek kajian, semakin terasa meningkatnya keluhan
masyarakat atas pelayanan yang miskin dan mengecewakan dari lembaga-lembaga
pemerintahan pada berbagai tingkatan dan sektor. Namun itu bukan berarti
pelayana di maybrat ada dalam sebuah potret yang buram.
Bahkan
belum lama ini di berbagai media, masih terus memperlihatkan mengalirnya berbagai
informasi mengenai penyalahgunaan kekuasaan (Power
Obuse) baik dilakukan oleh kepada
daerah dan juga kepala-kepala SKPD. Salah satu sebab, kalau bukan sebab utama,
dari semua itu adalah terbatasnya kehadiran pemimpin-pemimpin yang memiliki komitmen
sebagai pelayan (servant leaders). Asas
mempertanggungjawabkan kepada masyarakat
(Pubic Accountability) sebagai
sesuatu yang secara hakiki seyogyianya melekat pada eksistensi kepemimpinan
belum terhayati.
Akibatnya,
partisipasi masyarakat di berbagai sektor
pun masih sulit di pacu. Apa yang secara umum kita saksikan adalah kehadiran
pemimpin-pemimpin yang lebih suka dilayani,
dan partisipasi masyarakat yang lebih banyak bermakna pengorbanan.
Secara
mendasar, keluhan tentang rendahnya kualitas pelayanan publik dibidang perijinan
usaha, bantuan modal usaha, pengawasan lingkungan hidup, angkutan umum (darat,
laut dan udara) rumah sakit jalan raya, ekonomi berbasis kerakyatan, air minum,
listrik, telepon, dan kualitas pendidikan, bahkan polemik letak ibukota
kabupaten sebagai pusat pelayanan sudah menjadi tema perbincangan sehari-hari.
Semua
itu merupakan bukti atas masih rendahnya kualitas pelayanan yang diterima oleh
masyarakat. kecenderungan beberapa pejabat melakukan korupsi, dan kelalaian
masyarakat melakukan pengawasan atas
kegiatan bisnis besar yang melibatkan uang negara dan uang masyarakat misalnya,
jelas mencerminkan kualitas kepemimpinan mereka.
Skandal
korupsi kepala derah yang kemudian menjadi contoh paling gamlang dari kelalian
pemerintah dan masyarakat sebenarnya dalam menjalankan amanah konstitusi mewujudkan
sebuah visi pemerintahan yang baik (Good
Goverment) dan kasus yang telah dan sedang terjadi di maybrat seperti ini merupakan
contoh kemunduran yang paling gamlang di dilihat didepan mata.
Seharusnya kasus seperti ini, justru
menyadarkan kita bahwa keleluasan mereka itu hanya terdapat terpelihara sekian
lama akibat adanya kolusi dengan pejabat. Dan kalau diteliti lebih jauh
tentunya sangat melukai hati akar rumput.
Terlepas
dari itu, kita saat ini dihadapkan pada kenyataan apakah saat ini masyarakat
mampu melihat dengan jeli, akan akal busuk pejabat atau pemimpin siapa dalam
slogan pelayanan kepada masyarakat. Mengingat masyarakat belum cukup mantap
untuk menjamin lahirnya pemimpin – pemimpin yang baik.
Kericuhan
yang tidak jarang kita kita saksikan di dalam Proses Pemilihan Bupati, Bahkan
Kepala Desa Di Maybrat sekalipun semua mengindikasikan adanya ketidak serasian
antara hasrat apalagi bertujuan untuk memperoleh pemimpin-pemimpin yang baik,
sehingga penolakan pun diam-diam terjadi kelak di kalangan masyarakat adalah sebuah
konsekuiensi.
Menurut
saya, mencari sosok pemimpin di maibrat saat ini hanya kembali kepada hal
kepekaam masyarakat, sekali lagi kepekaan tanpa embel-embel provokasi dan sentiment
politik tertentu dari masyarakat untuk membedakan antara pemimpin yang baik dan
yang buruk, yang cakap dan yang bodoh, yang jujur dan yang korupsi, yang
mementingkan kepentingan masyarakat di atas segalanya ketimbang mementingkan
kepentingan kelompok, suku isme, kampung isme bahkan keret, tanpa melukai sisi
kemanusiaan kita sebagai manusia pemilik negeri maybrat secara sah. Dan ketidak
pekaan ini akan sulit memberi respon yang tepat didalam proses kepemimpinan.
Sebagai
refleksi bagi kita semua, terutama masyarakat yang sedang mencari idola pemimpin
baru di maibrat, ingat bahwa dua figur (kandidat) hari ini sebagai figure terbaik
orang maybrat. ini adalah tokoh terbaik maibrat kembali pada karya mereka
apakah meninggalkan kebaikan atau tinggalkan
warisan penderitaan yang berkepanjangan bagi rakyat di negeri leluhur mereka
sendiri, untuk hal ini biar hanya dewa yang tau.
“Mengingat
keteladanan adalah tantangan paling berat yang diharapkan pada upaya pengembangan
kepemimpinan pemerintahan.” (MR Rasyid,
127) Dalam kasus pilkada maybrat kali ini, menurut hemat saya sebenarnya
adil, karena sosok bupati sebelumnya hanya reuni bertarung kembali secara
terbuka melawan wakilnya dulu dalam pemerintahan. Itu artinya, biar karya yang
bicara karena dengan begitu masyarakat yang peka menilai sisi pelayanan dan
keteladanan selama kepemimpinan. dan untuk memilik pemimpin yang baik itu di tangan anda jadi jangan golput.
(ini
hanya sebuah refleksi untuk hari ini, tidak untuk didiskusikan)
(*) Penulis adalah pegiat pendidikan,
mantan kontributor kantor berita negara ANTARA biro papua barat, dan wartawawan
papuabaratpos, perna menjabat sebagai Staf Leassion Assistant AUSAID dan saat
ini menjabat sebagai Community Enenggeimen Coordinator UNICEF Papua Barat. dan
staf di STKIP Muhammadiyah sorong