Oleh:
Robertus Nauw*
Membaca
boleh dikata sebagai sejarah
peradaban, manusia menganalisis fakta-fakta masa lalu sebagai dalil, pijakan
dan bahan dasar untuk merencanakan hari esok dan menciptakan masa depan.
keuntungan orang yang banyak membaca, ia dapat mencerna secra sistematis setiap
dinamika sosial dimasyarakat dan dipetakan dalam tulisan baik itu soal ekonomi
politik, budaya sastra, tata negara, perundang-undangan hingga spiritual. Sebab
pesan-pesan Tuhan pun, hanya sampai pada akal manusia karena ditulis sehingga
dapat dibaca.
Kita sering dengar berbagai jargon tentang membaca seperti buku adalah jendela dunia, menjelajah buku membuka mata dunia, buku adalah gudang ilmu, Perpustaan adalah paru-parunya pendidikan bahkan membaca sendiri miliki jargon klasik “Banyak Baca, Banyak Tau” itu berarti tidak banyak membaca konseksuensi logis, tidak tau! Bayangkan betapa mudah dan murahnya ilmu pengetahuan sebenarnya bagi mereka yang banyak membaca, karena mahal itu sebenarnya hanya biaya pendidikannya! Semua berpulang pada niat tulus, mau membaca atau tidak tergantung pilihan kita yang mau berproses mencari kebenaran dan kepuasan hati (berdialog dan diskusi dengan jiwa). Dengan buku banyak hal positif akan kita dapat seperti pesan-pesan kebaikan yang ditinggalkan di pikiran kita, pesan Kemanusiaan, moralitas, ketakwaan, ilmu dan pengetahuan. Banyak generasi yang tidak membaca telah membiarkan dirinya musnah dalam hegemoni serba instan yang dibangun oleh pemimpin kita sendiri. Tuk itu, “jangan menyesal karena kita tidak tahu, tapi menyesalah mengapa kita tidak membaca” (Kamris, 2009) Karena Membaca merupakan proses berpikir dan bernalar dan memberikan makna kepada simbol-simbol visual. motivasi membaca pun menimbulkan aneka pengertian, misalnya penganut teori keterampilan tentu memiliki pengertian yang berbeda dengan penganut teori persepsi. Bagi orang yang memiliki tujuan mendefinisikan membaca sebagai bahan penelitian, tentu berbeda dengan yang mendefinisikan membaca untuk pengajaran. aspek mekanis tentu akan memiliki definisi yang berbeda dengan orang yang memusatkan pikiran pada aspek pemahaman. Itulah sistem pendidikan yang memberi pilihan menghitung atau membaca.
Secara sempit, membaca sebagai pengenalan simbol-simbol tertulis. Pengertian yang agak luas, yaitu proses memasukkan makna katap-kata dan frasa penyusun bacaan di satu pihak, dan proses pemaduan berbagai unsur makna menjadi satu kesatuan ide. Untuk memberikan reaksi kritis-kreatif terhadap bacaan dalam menemukan signifikasi, nilai, fungsi dan hubungan isi bacaan itu dengan suatu masalah kehidupan yang lebih luas serta dampak dari masalah yang dipaparkan pengarang. karena pada dasarnya dalam membaca, pembaca adalah pihak yang aktif bukan pasif.
Pentingnya membaca
Sejarah membuktikan pentingnya membaca, disemua negara maju memiliki sejarah pajang tentang masyarakatnya gemar membaca. berkacalah pada Jepang, setelah diluluh-lantakan oleh Amerika, di Abad 60 dala tragedi Herosima dan Nagasaki saat, Kaisar hanya menanyakan, “Ada berapa guru yang tersisa?” alasannya karena dengan gurulah, Jepang membangun generasinya untuk bangkit membangun kembali negerinya. Dengan guru buku-buku asing pun diterjemahkan untuk referensi bacaan. Hal serupa dikuti oleh Malesia, dan Singapura dengan program pembebasan pajak percetakan.
Bukan hanya itu, pendiri bangsa terdahulu (Bung Karno) dengan terang-terangan mengagumi pikiran-pikiran Mahatma Gandhi, J. Krishnamurti, dan Swami Vivekananda lewat buku-buku mereka. Ternyata membaca adalah indikasi maju-tidaknya peradaban sebuah bangsa. Indonesia, pada 1997 reformasi digulirkan mahasiswa dan beberapa kaum cendekia yang mengimpikan perubahan zaman. Kalau Che Guevara dengan cara memobilisasi massa dan melakukan revolusi sosial menghancurkan rezim yang tiran, di indonesia Amien Rais dan kekuatan gerakan mahasiswa mencontohkan kepada kita, bahwa dengan pena sebuah rezim tiran bisa kita hancurkan. Karena membaca tulisan-tulisan yang memberi inspirasi kepada jutaan mahasiswa, mereka begerak melindas rezim tiran. Dan tumbanglah para penguasa otoriter saat itu. Sebuah bukti bahwa budaya membaca inidikasi sebenarnya bisa dibentuk. Entah oleh orang tua, guru, dan media, serta pemimpin kita sendiri, iklim ini sudah terbukti, oleh penguasa jepang
Realita saat ini di Papua Barat
Budaya membaca di Papua Barat sangat memprihatinkan, bahkan sudah berada di bawah titik nadir namun tetap tidak ada langka kongkrit untuk mencegah hal ini, keterpurukan generasi saat ini, terkesan ada semacam proses pembiaran. karena para pemimpinnya terlanjur membentuk generasi Papua Barat lebih menggemari budaya belanja ketimbang budaya membaca. Mereka lebih suka membangun mall-mall dengan begitu megahnya dari pada seperti yang Ali Sadikin lakukan; membangun gelanggang remaja, tempat generasi muda penerus bangsa ini berkarya. Atau sebuah Perpustakaan Umum Daerah untuk pusat belajar masayarakat. Penulis pun melihat ini satu kejahatan besar yang dilakukan oleh pemimpin jika ini dilakukan secara sadar. alasannya dari pemerintahan yang tertinggi sampai terendah membangun daerah ini orientasinya lebih soal provit dan pencitraan semata ketimbang membangun sumber daya manusia generasi muda di Papua Barat untuk 20 tahun mendatang. Hari ini kita tidak usa tutup mata atau munafik soal sejuta dinamika saat ini yang melilit generasi muda di Papua Barat, yang lebih bangga mengoleksi HP keluaran terbaru, fashion, pergi ke tempat-tempat hiburan dan dunia gemerlap (dugem) yang lengkap dengan tawarannya. Ketimbang membeli buku, mereka lebih memilih hiburan dari pada habiskan waktu membaca di perpustakaan atau di toko buku. Sungguh ironis nasib sebuah generasi karena telah dan sedang terjebak dalam hegemoni yang dibangun oleh pemerintah kita sendiri.
Yang menjadi Indikartor kurangnya minat baca dikalangan generasi muda saat ini adalah: Pertama, hampit Perpustakaan disekolah-sekolah atau di kampus-kampus yang kurang diminati generasi muda, membuat perpustakaan di lembaga ini ibarat gudang buku, dan tidak lebih dari kuburan yang menyeramkan. Kedua, kurangnya kontrol sosial yang dimotori oleh generasi muda (mahasiswa) dalam presur setiap kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil. Padahal di Papua Barat sendiri terdapat banyak Universitas dan puluhan Sekolah Tinggi yang mendidik manusia menjadi cerdas, namun kenyataannya lembaga pendidikan ini malah dituding sebagai produsen pengangguran terbesar di Indonesia lebih khusus di Papua Barat. Entah karena mereka tidak perna diajarkan untuk berpikir logis dan sistematis atau mungkin saja tidak diajarkan untuk berpikir kritis. Dan indikator Ketiga, yakni lemahnya dukungan media di Papua Barat, baik itu cetak maupun elektronik dalam mendidik generasi muda lewat konten-konten berita yang memberi ruang lebih pada generasi muda sebagai ciri khas kaum pemikir dan pembelajar, untuk mencurahkan pikiran atau beropini, soal peran media di Papua Barat sendiri bukan tidak ada sama sekali hanya saja media seperti ini dapat dihitung dengan jari. Sudah sepatutnya generasi muda harus meninggalkan (tidak usah membaca) media yang tidak mendidik dan beralih ke media yang memberikan ruang untuk beropini. Dan indikator yang Keempat, lambannya generasi muda membaca sebuah fenomena yang terjadi dalam nasyarakat. Serta banyak mahasiswa yang melacurkan intelektual mereka dengan budaya tahunan (mencontek) setiap kali ada ujian, ini mulai dari tinggkat yang paling tinggi sampai tingkat terendah, Ini suda membudaya. Sebagai bukti kurangnya membaca pada generasi muda.
Bangkit
Untuk menumbuh kembangkan gemar membaca sebenarnya bukan tanggungjawab satu orang, tapi semua orang harus bergerak, merangkul, butuh peran orang tua, guru, pemerintah, media dan lain sebagainya. menyiapkan SDM generasi muda kedepan kelak menjadi baik. Mungkin, membaca saat ini belum menjadi kebutuhan generasi muda, sehingga belum meresahkan alias masih diluar dari kesadaran pemuda. Kalau kita sadar pasti kita akan tergesa-gesa untuk membaca. Itu hukum alam seperi Pemikiran Karl Max “Keadaan Yang Menciptakan Kesadaran” (F. Magnis-Suseno, 2009)
Untuk apa menyibukan diri dengan buku! Tidak ada nilai ekonomisnya, adalah keberhasilan besar yang dilakukan oleh pemimpin kita. Alasannya karena banyak orang (pemimpin) ingin mempertahankan hak-hak istimewanya? Mereka akan ketakutan setengah mati, jika masyarakatnya atau generasinya gemar membaca. Karena dengan begitu akan menghantarkan orang atau sebuah kaum kepada zaman pencerahan. Generasi muda akan mengerti hak dan kewajibannya, orang akan tahu mana yang benar dan yang salah. Maka kursi empuk yang selama ini para pemimpin pelihara sebagai kekuatan untuk menindas dan menakut-nakuti rakyatnya dengan segala kebijakan secara sadar akan terancam. Barang kali seperti itu yang penulis lihat. Dari kurangnya perhatian pemerintah akan dunia membaca dan peryataan penulis ini kebenaranya relatif. Karena apa yang baik bagi kita belum tentu baik bagi orang lain.
Lalu bagaimana langkah meningkatkan minat baca dikalangan generasi muda? berikut saran saya:
Pertama, membaca apa yang kita suka. dunia literasi menawarkan berragam buku mulai dari fiksi sampai non fiksi, buku komik sampai ilmu pengetahuan. Tuk membaca mulai dari yang kita sukai dan jangan terpaku pada teori.
Kedua, belajar kendalikan tantang saat membaca, tantang membaca ada dua tantangan dari dalam dan tantangan dari luar tuk itu terus melatih diri, kita terbiasa karena biasa.
Ketiga, perlu ada perpustakaan daerah di Papua Barat, milau dari tingkat provinsi sampai kabupaten kota yang diperuntukan untuk masyarakat dan generasi muda berproses. Karena perpustakaan adalah paru-paru dari dunia pendidika itu sendiri. Yang telah dalam UU.No 34 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, dan sayangnya itu tidak ada sama sekali.
Mulailah rajin membaca, kurangi Budaya konsumtif atau hedonis. Bagi generasi muda yang kleim diri mereka sebagai masyarakat terdidik, ingin wujutkan masa depan Papua Barat yang cerdas, sejahtera harus mulai dengan membaca agar kita maju sejajar dengan daerah lain di indonesia tercinta ini. Budayakan membaca sebagai kebutuhan generasi muda sebab membaca dan menulis merupakan tradisi dari orang-orang berilmu.
SEMOGA
*Penulis Adalah Kordinator Rumah Baca Asmanadia Kota Sorong
Kita sering dengar berbagai jargon tentang membaca seperti buku adalah jendela dunia, menjelajah buku membuka mata dunia, buku adalah gudang ilmu, Perpustaan adalah paru-parunya pendidikan bahkan membaca sendiri miliki jargon klasik “Banyak Baca, Banyak Tau” itu berarti tidak banyak membaca konseksuensi logis, tidak tau! Bayangkan betapa mudah dan murahnya ilmu pengetahuan sebenarnya bagi mereka yang banyak membaca, karena mahal itu sebenarnya hanya biaya pendidikannya! Semua berpulang pada niat tulus, mau membaca atau tidak tergantung pilihan kita yang mau berproses mencari kebenaran dan kepuasan hati (berdialog dan diskusi dengan jiwa). Dengan buku banyak hal positif akan kita dapat seperti pesan-pesan kebaikan yang ditinggalkan di pikiran kita, pesan Kemanusiaan, moralitas, ketakwaan, ilmu dan pengetahuan. Banyak generasi yang tidak membaca telah membiarkan dirinya musnah dalam hegemoni serba instan yang dibangun oleh pemimpin kita sendiri. Tuk itu, “jangan menyesal karena kita tidak tahu, tapi menyesalah mengapa kita tidak membaca” (Kamris, 2009) Karena Membaca merupakan proses berpikir dan bernalar dan memberikan makna kepada simbol-simbol visual. motivasi membaca pun menimbulkan aneka pengertian, misalnya penganut teori keterampilan tentu memiliki pengertian yang berbeda dengan penganut teori persepsi. Bagi orang yang memiliki tujuan mendefinisikan membaca sebagai bahan penelitian, tentu berbeda dengan yang mendefinisikan membaca untuk pengajaran. aspek mekanis tentu akan memiliki definisi yang berbeda dengan orang yang memusatkan pikiran pada aspek pemahaman. Itulah sistem pendidikan yang memberi pilihan menghitung atau membaca.
Secara sempit, membaca sebagai pengenalan simbol-simbol tertulis. Pengertian yang agak luas, yaitu proses memasukkan makna katap-kata dan frasa penyusun bacaan di satu pihak, dan proses pemaduan berbagai unsur makna menjadi satu kesatuan ide. Untuk memberikan reaksi kritis-kreatif terhadap bacaan dalam menemukan signifikasi, nilai, fungsi dan hubungan isi bacaan itu dengan suatu masalah kehidupan yang lebih luas serta dampak dari masalah yang dipaparkan pengarang. karena pada dasarnya dalam membaca, pembaca adalah pihak yang aktif bukan pasif.
Pentingnya membaca
Sejarah membuktikan pentingnya membaca, disemua negara maju memiliki sejarah pajang tentang masyarakatnya gemar membaca. berkacalah pada Jepang, setelah diluluh-lantakan oleh Amerika, di Abad 60 dala tragedi Herosima dan Nagasaki saat, Kaisar hanya menanyakan, “Ada berapa guru yang tersisa?” alasannya karena dengan gurulah, Jepang membangun generasinya untuk bangkit membangun kembali negerinya. Dengan guru buku-buku asing pun diterjemahkan untuk referensi bacaan. Hal serupa dikuti oleh Malesia, dan Singapura dengan program pembebasan pajak percetakan.
Bukan hanya itu, pendiri bangsa terdahulu (Bung Karno) dengan terang-terangan mengagumi pikiran-pikiran Mahatma Gandhi, J. Krishnamurti, dan Swami Vivekananda lewat buku-buku mereka. Ternyata membaca adalah indikasi maju-tidaknya peradaban sebuah bangsa. Indonesia, pada 1997 reformasi digulirkan mahasiswa dan beberapa kaum cendekia yang mengimpikan perubahan zaman. Kalau Che Guevara dengan cara memobilisasi massa dan melakukan revolusi sosial menghancurkan rezim yang tiran, di indonesia Amien Rais dan kekuatan gerakan mahasiswa mencontohkan kepada kita, bahwa dengan pena sebuah rezim tiran bisa kita hancurkan. Karena membaca tulisan-tulisan yang memberi inspirasi kepada jutaan mahasiswa, mereka begerak melindas rezim tiran. Dan tumbanglah para penguasa otoriter saat itu. Sebuah bukti bahwa budaya membaca inidikasi sebenarnya bisa dibentuk. Entah oleh orang tua, guru, dan media, serta pemimpin kita sendiri, iklim ini sudah terbukti, oleh penguasa jepang
Realita saat ini di Papua Barat
Budaya membaca di Papua Barat sangat memprihatinkan, bahkan sudah berada di bawah titik nadir namun tetap tidak ada langka kongkrit untuk mencegah hal ini, keterpurukan generasi saat ini, terkesan ada semacam proses pembiaran. karena para pemimpinnya terlanjur membentuk generasi Papua Barat lebih menggemari budaya belanja ketimbang budaya membaca. Mereka lebih suka membangun mall-mall dengan begitu megahnya dari pada seperti yang Ali Sadikin lakukan; membangun gelanggang remaja, tempat generasi muda penerus bangsa ini berkarya. Atau sebuah Perpustakaan Umum Daerah untuk pusat belajar masayarakat. Penulis pun melihat ini satu kejahatan besar yang dilakukan oleh pemimpin jika ini dilakukan secara sadar. alasannya dari pemerintahan yang tertinggi sampai terendah membangun daerah ini orientasinya lebih soal provit dan pencitraan semata ketimbang membangun sumber daya manusia generasi muda di Papua Barat untuk 20 tahun mendatang. Hari ini kita tidak usa tutup mata atau munafik soal sejuta dinamika saat ini yang melilit generasi muda di Papua Barat, yang lebih bangga mengoleksi HP keluaran terbaru, fashion, pergi ke tempat-tempat hiburan dan dunia gemerlap (dugem) yang lengkap dengan tawarannya. Ketimbang membeli buku, mereka lebih memilih hiburan dari pada habiskan waktu membaca di perpustakaan atau di toko buku. Sungguh ironis nasib sebuah generasi karena telah dan sedang terjebak dalam hegemoni yang dibangun oleh pemerintah kita sendiri.
Yang menjadi Indikartor kurangnya minat baca dikalangan generasi muda saat ini adalah: Pertama, hampit Perpustakaan disekolah-sekolah atau di kampus-kampus yang kurang diminati generasi muda, membuat perpustakaan di lembaga ini ibarat gudang buku, dan tidak lebih dari kuburan yang menyeramkan. Kedua, kurangnya kontrol sosial yang dimotori oleh generasi muda (mahasiswa) dalam presur setiap kebijakan yang tidak memihak rakyat kecil. Padahal di Papua Barat sendiri terdapat banyak Universitas dan puluhan Sekolah Tinggi yang mendidik manusia menjadi cerdas, namun kenyataannya lembaga pendidikan ini malah dituding sebagai produsen pengangguran terbesar di Indonesia lebih khusus di Papua Barat. Entah karena mereka tidak perna diajarkan untuk berpikir logis dan sistematis atau mungkin saja tidak diajarkan untuk berpikir kritis. Dan indikator Ketiga, yakni lemahnya dukungan media di Papua Barat, baik itu cetak maupun elektronik dalam mendidik generasi muda lewat konten-konten berita yang memberi ruang lebih pada generasi muda sebagai ciri khas kaum pemikir dan pembelajar, untuk mencurahkan pikiran atau beropini, soal peran media di Papua Barat sendiri bukan tidak ada sama sekali hanya saja media seperti ini dapat dihitung dengan jari. Sudah sepatutnya generasi muda harus meninggalkan (tidak usah membaca) media yang tidak mendidik dan beralih ke media yang memberikan ruang untuk beropini. Dan indikator yang Keempat, lambannya generasi muda membaca sebuah fenomena yang terjadi dalam nasyarakat. Serta banyak mahasiswa yang melacurkan intelektual mereka dengan budaya tahunan (mencontek) setiap kali ada ujian, ini mulai dari tinggkat yang paling tinggi sampai tingkat terendah, Ini suda membudaya. Sebagai bukti kurangnya membaca pada generasi muda.
Bangkit
Untuk menumbuh kembangkan gemar membaca sebenarnya bukan tanggungjawab satu orang, tapi semua orang harus bergerak, merangkul, butuh peran orang tua, guru, pemerintah, media dan lain sebagainya. menyiapkan SDM generasi muda kedepan kelak menjadi baik. Mungkin, membaca saat ini belum menjadi kebutuhan generasi muda, sehingga belum meresahkan alias masih diluar dari kesadaran pemuda. Kalau kita sadar pasti kita akan tergesa-gesa untuk membaca. Itu hukum alam seperi Pemikiran Karl Max “Keadaan Yang Menciptakan Kesadaran” (F. Magnis-Suseno, 2009)
Untuk apa menyibukan diri dengan buku! Tidak ada nilai ekonomisnya, adalah keberhasilan besar yang dilakukan oleh pemimpin kita. Alasannya karena banyak orang (pemimpin) ingin mempertahankan hak-hak istimewanya? Mereka akan ketakutan setengah mati, jika masyarakatnya atau generasinya gemar membaca. Karena dengan begitu akan menghantarkan orang atau sebuah kaum kepada zaman pencerahan. Generasi muda akan mengerti hak dan kewajibannya, orang akan tahu mana yang benar dan yang salah. Maka kursi empuk yang selama ini para pemimpin pelihara sebagai kekuatan untuk menindas dan menakut-nakuti rakyatnya dengan segala kebijakan secara sadar akan terancam. Barang kali seperti itu yang penulis lihat. Dari kurangnya perhatian pemerintah akan dunia membaca dan peryataan penulis ini kebenaranya relatif. Karena apa yang baik bagi kita belum tentu baik bagi orang lain.
Lalu bagaimana langkah meningkatkan minat baca dikalangan generasi muda? berikut saran saya:
Pertama, membaca apa yang kita suka. dunia literasi menawarkan berragam buku mulai dari fiksi sampai non fiksi, buku komik sampai ilmu pengetahuan. Tuk membaca mulai dari yang kita sukai dan jangan terpaku pada teori.
Kedua, belajar kendalikan tantang saat membaca, tantang membaca ada dua tantangan dari dalam dan tantangan dari luar tuk itu terus melatih diri, kita terbiasa karena biasa.
Ketiga, perlu ada perpustakaan daerah di Papua Barat, milau dari tingkat provinsi sampai kabupaten kota yang diperuntukan untuk masyarakat dan generasi muda berproses. Karena perpustakaan adalah paru-paru dari dunia pendidika itu sendiri. Yang telah dalam UU.No 34 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, dan sayangnya itu tidak ada sama sekali.
Mulailah rajin membaca, kurangi Budaya konsumtif atau hedonis. Bagi generasi muda yang kleim diri mereka sebagai masyarakat terdidik, ingin wujutkan masa depan Papua Barat yang cerdas, sejahtera harus mulai dengan membaca agar kita maju sejajar dengan daerah lain di indonesia tercinta ini. Budayakan membaca sebagai kebutuhan generasi muda sebab membaca dan menulis merupakan tradisi dari orang-orang berilmu.
SEMOGA
*Penulis Adalah Kordinator Rumah Baca Asmanadia Kota Sorong