Senin, 29 Juli 2013

Ancaman Koruptor Lokal


Oleh: Robertus Nauw 


Demokrasi beri wewenang atau otoritas (kekuasaan) kepada seseorang, karena dipercaya oleh publik, apabila kepercayaan tersebut disalahgunakan, maka proses demokrasi yang sedang berjalan patut dilihat sebagai penghianatan terhadap kepercayaan rakyat. Karena konsep demokrasi sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh rakyat dan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.
Artikel kali ini penulis melihat pada demokrasi di Kota Sorong sebagai objek kajian, baik melalui surat kabar dan media elektroniklainya. Dimana keluhan masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah semakin terasa, atas pelayanan publik diberbagai sektor.  Itu berarti pemerintah harus bekerja ekstra, untuk memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat. Agar kekayaan negara, dalam konsep melayani kepentingan umum, tidak terjadi penyalahgunaan. Baik memanfaatkan kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dan kelompok. Yang kemudian masyarakat tahu dengan kata koruptor, entah koruptor kelas kakap, kelas teri dan kelas terbang lainnya.
Praktek korupsi seperti mental tukang terima suap atau sogok, makan pungutan liar (pungli)  dan buruknya sistem pelayanan publik di sana sini, seperti tingginya biaya ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain sebagainya adalah rangkaian kasus sederhana bagi rakyat untuk memaknai korupsi di daerah itu sendiri.
Karena untuk meraih kepentingan tersebut, tak jarang para elit dan semua pihak yang berkompeten di daerah menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi normal antara kepentingan politik dan ekonomi. secara tidak sadar ini merupakan bentuk pra-kondisi dari korupsi itu sendiri.
Sehingga tidak salah banyak kalangan menilai, korupsi merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dan ketertinggalan rakyat marjinal hari ini, karena hak mereka dicuri dan dipasung, dengan terus memanfaatkan fenomena ketidakberdayaan rakyat sebagai lahan subur bagi koruptor untuk tumbuh.
Untuk Direnungkan !
Apa benar dinamika koruptor lokal di papua lebih khusus di kota sorong sudah seburuk itu? 
masalah penderitaan orang papua yang terus termarjinalisasi, walau SDA melimpah tapi tetap kenyataan hidup masih di bawah jurang penderitaan, ibarat tikus mati di lumbung padi. ketika kita tarik benang merah isu “dinamika keterpurukan masyarakat papua, selalu punya kaitan dengan orang papua sendiri. Entah sebagai kepala daerah, kepala dinas, kepala bidang, kepala distrik, dan lurah yang notabene semua orang papua.”
Orang-orang ini selalu punya kaitan dengan pelayanan publik, terlepas dari pelayanan yang berhasil dan tidak berhasil atau mampu menjawab rasa kepuasan dan rasa ketidakpuasan yang ditunjukan oleh rakyat adalah hal wajar dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan. Mengiangat mereka laboratorium terakir dari implementasi pelayanan pemerintah, guna menyeleksi para pemimpin yang jujur dalam kata dan tindakan.   
Isu berikut punya kaitan erat dengan pemimpin papua adalah koruptor, isu koruptor akhir ini sangat kuat, bahkan telah menjadi wabah endemik !! yang sudah tidak bisa keluar, apalagi melepaskan diri dari taktik diskredit secara opini yang terlanjur ditelan mentah-mentah oleh publik. tentang pemimpin papua dewasa ini. Padahal kaitan pemimpin papua dengan korupsi adalah berita sampah menurut hemat penulis, karena kita perlu butuh sebuah pembuktian untuk mengounter proses pembentukan opini pubik yang telah berhasil di telan mentah-mentah oleh publik. Alasannya Pertama, yang membuat penulis yakin, massa semua pemimpin dan pejabat di tanah papua, mulai dari Sorong sampai Samarai sudah tidak ada yang baik, karena punya moral koruptor?  Ini kan tidak benar juga. Kedua, persoalan korpsi bukan hanya melanda pemimpin-pemimpin papua, karena kemungkinan besar jauh lebih parah penyakit ini (korupsi) dimiiki oleh teman-teman non papua, dan sekali lagi semua masih butuh pembuktian. Seyakin-yakinnya penulis masih banyak pemimpin dan pejabat yang kerjnya baik, dan jujur namun jauh dari pantauan kepala daerah, terlebih pemberitaan media.

Minim Konsistensi Gerakan
Keluar dari logika benar tidaknya menghukum koruptor, penulis lebih menoroti gerakan penolakan masyarakat terhadap korupsi dan pelaku koruptornya di daerah. Harus diakui sangat lemah, padahal dengan pengawasan ekstra kuat, pemerintah akan bersih dari korup. Entah karena masyarakat telah memberikan mandat pada lembaga pengawasan sekelas DPR di parlemen, sebagai representatif rakyat untuk mengawasi? barangkali hal ini, yang membuat masyarakat terus pesisimis dengan ulah koruptor, mengingat kinerja sebagian besar wakil rakyat di daerah jauh lebih parah dan nyaris sudah tidak dapat percaya.
Karena minimnya konsistensi gerakan untuk mengawal penyalagunaan kekuasaan, sehingga banyak elit leluasa menggunakan jabatannya menindas dan memiskinkan rakyatnya secara masif, guna memperkaya diri dan kelompoknya terbuka lebar. sekali lagi harapan mewujudkan pemerintahan yang bebas dari korupsi sebatas wacana, mengingat korupsi di daerah terus meningkat drastis baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Kebobrokan di daerah pantas disesalkan karena pemberantasan kasus korupsinya terkesan lamban, sehingga mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi seakan berasaskan kekeluargaan. Kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas, sehingga upaya pemberantasan korupsi sulit dibongkar secara tuntas dan menyeluruh. Semangat pemberantasan korupsi sampai ke daerah harus didukung penuh, guna membongkar kongkalikong kasus-kasus besar yang disimpan selama ini sebagai koleksi pribadi pihak penyidik, ini penting untuk meminimalisir lenyapnya kasus korupsi saat penyidikan di  tingkat polisi dan kejaksaan,  yang sering dikondisikan hilang dari konsumsi publik.  
Keberhasilan pemerintah untuk memuaskan masyarakat terkait penanganan pemberantasan kasus korupsi dan pemberantasan kolusi sosial, berpulang pada masyarakat terdidik agar lebih kritis mencegah kejahatan dan memungkinkan untuk memutus matarantainya.
Agar keluar dari masalah ini, gerakan moral mahasiswa dan masyarakat mengalami kegamangan dalam mengawal penuntasan kasus korupsi di daerah, maka perlu adanya saling percaya antar mahasiswa dan masyarakat untuk mempertahankan isu bersama, bahkan perubahan fokus isu di daerah untuk di dorong bersama dan dikawal  hingga tuntas. Kalau gerakan mahasiswa terus terkontaminasi, bukan tidak mungkin gerakan moral mahasiswa tidak akan mendapatkan simpati dari masyarakat, karena tidak mempunyai bargaining position yang kuat terhadap pemerintah. Tentu akan berakibat buruk bagi perjalanan demokrasi selanjutnya.
Koruptor lokal kian mengancam bangsa ini, dengan terus menambah daftar penderitaan rakyat. Menggunakan modus korupsi yang sama, yakni korupsi berjamaah mengikuti tren koruptor elit di pusat. Bahkan, jauh lebih menakutkan ancaman elit lokal di daerah sebagian besar tidak disentuh hukum, karena upaya pemberantasan korupsi selalu saja berhadapan dengan banyak kepentingan. Tak jarang pemberantasan korupsi mendapatkan serangan balik dari pihak-pihak tersangka dan pihak terduga.
Sejarah bangsa ini mencatat, setiap ada upaya pemberantasan korupsi di semua daerah selalu muncul counter attack dari para koruptor. Pertanyaannya, mampukah upaya pemberantasan korupsi konsisten menembus sistem kekuasaan yang kuat membentengi para koruptor dan jaringannya yang sudah berkarat di daerah? 
 (*) Penulis adalah mantan relawan PSCS Jayapura