Oleh: Robertus Nauw
Demokrasi beri wewenang atau otoritas
(kekuasaan) kepada seseorang, karena dipercaya oleh publik, apabila kepercayaan
tersebut disalahgunakan, maka proses demokrasi yang sedang berjalan patut dilihat
sebagai penghianatan terhadap kepercayaan rakyat. Karena konsep demokrasi
sendiri mensyaratkan suatu sistem yang dibentuk oleh rakyat, dikelola oleh
rakyat dan diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.
Artikel kali ini penulis melihat pada demokrasi
di Kota Sorong sebagai objek kajian, baik melalui surat kabar dan media
elektroniklainya. Dimana keluhan masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah semakin
terasa, atas pelayanan publik diberbagai sektor. Itu berarti pemerintah harus bekerja ekstra, untuk
memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat. Agar kekayaan negara, dalam
konsep melayani kepentingan umum, tidak terjadi penyalahgunaan. Baik memanfaatkan
kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan
pribadi dan kelompok. Yang kemudian masyarakat tahu dengan kata koruptor, entah
koruptor kelas kakap, kelas teri dan kelas terbang lainnya.
Praktek korupsi seperti mental tukang terima
suap atau sogok, makan pungutan liar (pungli) dan buruknya sistem pelayanan publik di sana
sini, seperti tingginya biaya ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lain
sebagainya adalah rangkaian kasus sederhana bagi rakyat untuk memaknai korupsi di
daerah itu sendiri.
Karena untuk
meraih kepentingan tersebut, tak jarang para elit dan semua pihak yang
berkompeten di daerah menggunakan jalur birokrasi publik untuk kepentingan
mereka. Inilah yang dikenal sebagai kolusi, yang merupakan bentuk akomodasi
normal antara kepentingan politik dan ekonomi. secara tidak sadar ini merupakan
bentuk pra-kondisi dari korupsi itu sendiri.
Sehingga tidak salah banyak
kalangan menilai, korupsi merupakan salah satu faktor
penyebab kemiskinan dan ketertinggalan rakyat marjinal hari ini, karena hak
mereka dicuri dan dipasung, dengan terus memanfaatkan fenomena ketidakberdayaan
rakyat sebagai lahan subur bagi koruptor untuk tumbuh.
Untuk Direnungkan !
Apa
benar dinamika koruptor lokal di papua lebih khusus di kota sorong sudah
seburuk itu?
masalah penderitaan
orang papua yang terus termarjinalisasi, walau SDA melimpah tapi tetap
kenyataan hidup masih di bawah jurang penderitaan, ibarat tikus mati di lumbung
padi. ketika kita tarik benang merah isu “dinamika keterpurukan masyarakat
papua, selalu punya kaitan dengan orang papua sendiri. Entah sebagai kepala daerah,
kepala dinas, kepala bidang, kepala distrik, dan lurah yang notabene semua
orang papua.”
Orang-orang
ini selalu punya kaitan dengan pelayanan publik, terlepas dari pelayanan yang berhasil
dan tidak berhasil atau mampu menjawab rasa kepuasan dan rasa ketidakpuasan
yang ditunjukan oleh rakyat adalah hal wajar dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan. Mengiangat mereka laboratorium terakir dari implementasi
pelayanan pemerintah, guna menyeleksi para pemimpin yang jujur dalam kata dan
tindakan.
Isu
berikut punya kaitan erat dengan pemimpin papua adalah koruptor, isu koruptor
akhir ini sangat kuat, bahkan telah menjadi wabah endemik !! yang sudah tidak
bisa keluar, apalagi melepaskan diri dari taktik diskredit secara opini yang
terlanjur ditelan mentah-mentah oleh publik. tentang pemimpin papua dewasa ini.
Padahal kaitan pemimpin papua dengan korupsi adalah berita sampah menurut hemat
penulis, karena kita perlu butuh sebuah pembuktian untuk mengounter proses
pembentukan opini pubik yang telah berhasil di telan mentah-mentah oleh publik.
Alasannya Pertama, yang membuat penulis yakin, massa semua pemimpin dan pejabat
di tanah papua, mulai dari Sorong sampai Samarai sudah tidak ada yang baik, karena
punya moral koruptor? Ini kan tidak benar
juga. Kedua, persoalan korpsi bukan hanya melanda pemimpin-pemimpin papua,
karena kemungkinan besar jauh lebih parah penyakit ini (korupsi) dimiiki oleh
teman-teman non papua, dan sekali lagi semua masih butuh pembuktian. Seyakin-yakinnya
penulis masih banyak pemimpin dan pejabat yang kerjnya baik, dan jujur namun
jauh dari pantauan kepala daerah, terlebih pemberitaan media.
Minim
Konsistensi Gerakan
Keluar
dari logika benar tidaknya menghukum koruptor, penulis lebih menoroti gerakan penolakan
masyarakat terhadap korupsi dan pelaku koruptornya di daerah. Harus diakui
sangat lemah, padahal dengan pengawasan ekstra kuat, pemerintah akan bersih
dari korup. Entah karena masyarakat telah memberikan mandat pada lembaga
pengawasan sekelas DPR di parlemen, sebagai representatif rakyat untuk
mengawasi? barangkali hal ini, yang membuat masyarakat terus pesisimis dengan
ulah koruptor, mengingat kinerja sebagian besar wakil rakyat di daerah jauh
lebih parah dan nyaris sudah tidak dapat percaya.
Karena
minimnya konsistensi gerakan untuk mengawal penyalagunaan kekuasaan, sehingga
banyak elit leluasa menggunakan jabatannya menindas dan memiskinkan rakyatnya
secara masif, guna memperkaya diri dan kelompoknya terbuka lebar. sekali lagi harapan
mewujudkan pemerintahan yang bebas dari korupsi sebatas wacana, mengingat
korupsi di daerah terus meningkat drastis baik secara kualitas maupun
kuantitasnya.
Kebobrokan di daerah pantas disesalkan
karena pemberantasan kasus korupsinya terkesan lamban, sehingga mengakibatkan
sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi seakan berasaskan
kekeluargaan. Kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas, sehingga upaya
pemberantasan korupsi sulit dibongkar secara tuntas dan menyeluruh. Semangat pemberantasan
korupsi sampai ke daerah harus didukung penuh, guna membongkar kongkalikong
kasus-kasus besar yang disimpan selama ini sebagai koleksi pribadi pihak penyidik,
ini penting untuk meminimalisir lenyapnya kasus korupsi saat penyidikan di tingkat polisi dan kejaksaan, yang sering dikondisikan hilang dari konsumsi
publik.
Keberhasilan pemerintah untuk memuaskan
masyarakat terkait penanganan pemberantasan kasus korupsi dan pemberantasan
kolusi sosial, berpulang pada masyarakat terdidik agar lebih kritis mencegah
kejahatan dan memungkinkan untuk memutus matarantainya.
Agar keluar
dari masalah ini, gerakan
moral mahasiswa dan masyarakat mengalami kegamangan dalam mengawal penuntasan
kasus korupsi di daerah, maka perlu adanya saling percaya antar mahasiswa dan
masyarakat untuk mempertahankan isu bersama, bahkan perubahan fokus isu di
daerah untuk di dorong bersama dan dikawal
hingga tuntas. Kalau gerakan mahasiswa terus terkontaminasi, bukan tidak
mungkin gerakan moral mahasiswa tidak akan mendapatkan simpati dari masyarakat,
karena tidak mempunyai bargaining position yang kuat terhadap
pemerintah. Tentu akan berakibat buruk bagi perjalanan demokrasi selanjutnya.
Koruptor lokal kian mengancam
bangsa ini, dengan terus menambah daftar penderitaan rakyat. Menggunakan modus korupsi
yang sama, yakni korupsi berjamaah mengikuti tren koruptor elit di pusat. Bahkan,
jauh lebih menakutkan ancaman elit lokal di daerah sebagian besar tidak
disentuh hukum, karena upaya pemberantasan korupsi
selalu saja berhadapan dengan banyak kepentingan. Tak jarang pemberantasan
korupsi mendapatkan serangan balik dari pihak-pihak tersangka dan pihak terduga.
Sejarah
bangsa ini mencatat, setiap ada upaya pemberantasan korupsi di semua daerah selalu
muncul counter attack dari para
koruptor. Pertanyaannya, mampukah upaya pemberantasan korupsi konsisten menembus
sistem kekuasaan
yang kuat membentengi para koruptor dan jaringannya yang sudah berkarat di
daerah?
(*) Penulis adalah mantan relawan PSCS
Jayapura