Oleh: Robertus Nauw (*)
Kampus adalah tempat mimbar bebas yang
mengawali seorang mahasiswa mengenal kehidupan politik, kendati pun yang
bersangkutan bukan dari jurusan ilmu politik atau ilmu sosial lainnya, namun
dinamika konsistensi gerakan politik kampus kian mempertegas mahasiswa sebagai sesuatu kekuatan politik
yang besar. Itu sebabnya para aktivis kadang terjebak dalam pelacuran
intelektual bersama para elit baik dalam hal merebut dan mempertahankan kekuasaan
dimana para
elit memanfaatkan mahasiswa untuk kerja-kerja politik praktis.
Kita tahu bahwa sebelum bahkan
sesudah reformasi, gerakan moral (moral force) mahasiswa selalu menjadi
alat yang cukup efektif untuk mengontrol kebijakan pemerintah yang tidak
berpihak pada masyarakat. Apa yang diperjuangkan selalu berdasarkan pada
target, tujuan dan orientasi yang jelas, yaitu, demi sebuah perubahan bagi
rakyat dan tegaknya demokratisasi.
Mahasiswa bergerak bukan hasil
seting politik yang dimainkan
oleh elit (pemerintah, pengusaha, politisi), apalagi untuk kepentingan pribadi
atau kelompoknya, tetapi murni untuk kepentingan masyarakat. Meskipun resiko
politik yang harus mahasiswa terima cukup riskan, seperti tekanan, ancaman dan
intimidasi, mereka juga tidak tergoda dengan sebuah janji-janji politik
tertentu.
Peran mahasiswa dalam
memberikan pendidikan politik langsung ke masyarakat akar rumput atau mengatvokasi ketimpangan sosial di masyarakat,
akan pemahaman atas hak-hak
dan kewajiban sebagai warga negara adalah bagia hidup dari mahasiswa, namun konsistensi
gerakan dan komitmen perjuangan seperti ini sukar sekali kita temukan dalam
kehidupan pergerakan mahasiswa di Kota Sorong.
Gerakan mahasiswa saat ini cenderung
ikut-ikuan, kehilangan arah, target, tujuan dan orientasi yang sebenarnya. Apa
yang diperjuangkan mahasiswa tidak selalu pararel dengan apa yang diinginkan
oleh masyarakat. Seakan-akan mahasiswa sudah terpisah dari masyarakat, padahal
masyarakat adalah alasan kekuatan utama untuk melakukan perubahan. Tanpa kepentingan
masyarakat gerakan mahasiswa tidak akan
berarti apa-apa.
Berkaca pada realita
Gerakan moral yang domotori
mahasiswa lebih mencerminkan pertarungan antar elit, isu yang diangkat seputar
isu elit, bukan lagi isu-isu yang menyentuh kepentingan masyarakat. Tidak ada isu yang biasa menjadi ciri
khas mahasiswa dalam setiap aksi. Sebab, mahasiswa bahkan organisasi ekstra
kampus pun sudah terbagi ke dalam kelompok-kelompok elit, yang memiliki
afiliasi politik tertentu entah dengan penguasa di legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
Konstalasi gerakan mahasiswa
di Kota Sorong dalam hemat penulis sudah sangat menjijikan karena
terkontaminasi dengan segala macam kepentingan, contohnya gerakan mahasiswa
baru ada saat dewa-dewa mereka tersandung suatu kasus, lantas mereka lawan
dengan aksi baik mendukung maupun aksi-aksi tandingan untuk membela kepentingan
elit mereka.
Sangat disayangkan, gerakan
mahasiswa kerap kali bukan murni atas preferenasi idealisme dan idelogi mereka
tetapi atas kepentingan dan pesanan kelompok lain yang menunggangi mereka.
Tarik menarik kepentingan seakan sudah menjadi hal biasa dalam diri mahasiswa.
Akhirnya, idealisme kalah dengan kepentingan pragmatis sesaat. yang kemudian
penulis identikkan dengan nama pelacuran intelektual karena lunturnya idealisme
mahasiswa.