Kamis, 18 Juli 2013

Pemimpin Yang Memberi Hidup dan Kehidupan

Orang maybrat harus intropeksi bahwa selama ini memang tidak fit, Untuk menang karena mereka keliru, yang mereka pentigkan adalah panggilan sentimentil emosional, yang melahirkan politik irasional. Ketimbang melakukan praktek politik secara rasional.

Kita semua harus tunduk kepada fastun politik, karena di atas politik ada etika. Terlepas dari persoalan saling menghukum, menghujat dan pembunuhan karakter dalam wacana-wacana yang dibangun. Namun toh, ini demokrasi siapun punya hak yang sama secara politik. Bung...!!

Seperti fenomena pilkada bagi Orang Maybrat, dalam berbagai wacana demokrasi di indonesia dan di papua khususnya, mengalami kemajuan dan kemunduran. Dan terlebih lebih banyak mundurnya. “Pengaruh gobalisasi dalam dunia politik dan peradabannya di papua, sebenarnya masyarakat di Papua (Maybrat) belum siap, namun dipaksakan untuk menelan saja pil Globalisasi politik itu, lihat saja perilaku politik dan kehidupan dalam peradaban saat ini. (Prof. DR. B. Kambuaya, 2011 Diskusi tentang Globalisasi dan peradaban. Pada Munas Persekutuan Baptis Indonesia)
Barangkali kita tidak bisa sebutkan kekacauan ini, sebagai kemunduran atau apa. Tapi, paling tidak, itu suatu kekhilafan barangkali. Anggap saja itu sebagai pertumbuhan yang belum selesai. Agak susah di tentukan.

Saat ini ikatan-ikatan apapun tidak lagi menentukan selain ikatan yang di ikat dengan uang (money politik) dan bargaining politik. Masyarakat jangan lupa, situasi politik Kota Sorong saat ini rumit. Karena etnisitas masyarakat yang ada, bukan hanya orang maybrat saja, namun masih banyak etnisitas papua dan yang terlebih etnisitas nusantara lainnya. Lepas dari itu polimik (wacana) yang kuat antar orang Maybrat sendiri tidak bisa terhindarkan, karena sudah pasti ada lebih dari satu orang Maybrat yg akan bertarung sebagai orang kosong satu di kota ini. Ini pertanda suara minoritas masyarakat Maybrat akan terpecah belah. Barang kali ketakutan ini yang realitasnya tergambar jelas di kalangan elit dan sampai pada masyarakat akar rumput.
Tak ada yang perlu ditakuti selain ketakutan itu sendiri, jika saja elit maybat yang maju adalah pemimpin yang komitmen mempersonifikasikan hasrat, moral dan jiwa yang tulus selama ini kepada masyarakat maka dialah yang layak memimpin. (Robertus nauw, Media Papua Edisi Jumat, 12 Agustus 2011)

Yang menjadi pertanyaan besar !!

Adakah jaminan pembangunan atau pengembangan kehidupan masyarakat menuju ke arah yang lebih baik dari kehidupan sekarang. Dari proses politik yang akan berlangsung, seidikit refleksi masyarakat marjinal kota Sorong asal kabupaten Maybrat yang 20 tahun terakhir masih sebagai pemecah batu gunung di kota ini  dengan pendapatan yang menyedihkan. Pekerja bongkar muat pelabuhan (TKBM) sorong, yang rata-rata suku maybrat yang hak kerjanya tidak di urus dengan baik dan benar oleh pemerintah, soal upah kerja, waktu kerja, jaminan kesehatan dan berbagai kejanggalan lainnya, yang membuat mereka belum bangkit dari kubangan penderitaan. Masyarakat penjual sayur dan hasil kebun lainnya di pasar dan  tiap sudut toko. Pembersih jalan serta Pengangguran dan kenakalan remaja oleh pemuda dan remaja maybrat akibat miras, yang sudah di ambang batas menurut kebanyakan orang.

Jika tidak ada kebijakan yang berarti dari para elit maybrat yang ada, maka biarkan masyarakat dan pemuda maybrat mati dalam hegemoni yang dibangun oleh elit maybrat sendiri, yang mengatas namakan cinta rakyat. Yang pada tatanan realita sendiri hanya omong doang, alias janji palsu. Seperti Qori aquino,  “Orang yang baik, ya mengerti saja.” (Panji, edidi 16 Juni). Masyarakat harapkan pemimpin yang memberi nilai bagi hidup dan kehidupan terhadap rakyat kecil (bukan hanya orang maybrat). jadi pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Sorong tahun 2012 nanti, betul-betul adalah pemimpin yang bebar-benar lahir dari hati masyarakat, demokratis dan bebas dari intrik politik tertentu.