Selasa, 20 Agustus 2013

Antara Korupsi Dan Sentimen Emosional Politik di Kota Sorong


Oleh: Robertus Nauw

Terkait opini sebagian kalangan di Kota Sorong yang telah beredar luas di media massa, yang menilai bahwa solusi di tengah kebuntuan dalam meningkakan kesejahtraan rakyat Kota Sorong dan Papua umumnya, adalah membersihkan pejabat public yang melakukan tindakan mencuri dan menghambur-hambur uang rakyat (Korupsi), tentu benar namun menurut penulis belum  tentu, karena pemberantasan korupsi oleh pihak terkait di kota ini, belum menunjukan satu titik yang menggembirakan.
Dimana Polres, Polda Dan Pihak Kejaksaan dalam tingkatan eksekusi tidak serius,  alias abunawas tinggi karena sekian kasus korupsi sampai dengan hari ini perkembangannya tidak jelas.  Entah disebabkan oleh pertimbangan budaya lokal yang relative rumit  dipikirkan yakni Budaya hidup komunal dan saling tolong menolong dengan kultur masyarakat yang masih tergantung pada tokoh, tidak jarang menimbulkan fenomena kemurahan hati. Namun dalam konteks  carut marutnya penyelesaian kasus dugaan korupsi  dana pelantikan Walikota Sorong 2012, yang sedang ditangani saat ini bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu, seiring berjalannya waktu akan mempertegas semuanya.
Entah ini murni korupsi, atau sentimen emosional poitik yang masi membara, atau barangkali ini kesuksesan kelompok aktor intelektual yang menggrendesain semua situasi dari kasus ini, dengan mengharapkan hasil tertentu  adalah sebuah renungan yang panjang yang harus kita gumuli.
pernyataan di atas bukan tidak mungkin, karena naluri saya sebagai penulis sendiri pun jelas dibelokan oleh kasus ini. Alasannya
Pertama Sistim kordinasi dalam pemerintahan antara ekskutif dan di legislatif  terkait persetujuan dana pelantikan Waikota Sorong Tahun 2012 lalu terkesan tidak berjalan dengan baik. Padahal aktor-aktor dari dua lembaga ini tua dinas dibidangnya, masa untuk urus kesepakatan terkait biaya pelantikan saja tidak becus.
Kedua Kesepakatan sepihak terkait biaya pelantikan yang di publikasikan oleh sesama anggota di DPRD Kota Sorong yang tidak tau menau soal keputusan dana pelantikan baik sebelum pentikan dan pasca pelantikan kian mempertegas keburukan sistim kordinasi itu sendiri.
Dan lebih anehnya lagi uang rakyat 5 M yang konon merugikan rakyat itu sendiri, waktu penetapan dan pasca pelantikan telah dipublikasikan oleh semua media massa di Kota Sorong, namun tidak ada semacam aksi presur grup baik dari masyarakat, mahasiswa, akademisi dan pihak-pihak opisisi lainnya yang bertujuan meminta pelantikan di tunda, atau meminta biaya pelantikannya dipangkas dan lain sebagainya. prsur sepri ini tidak ada, sekali lagi tidak ada. Semua aktivis saat itu pada tidur pulas, padahal selamatkan uang rakyat saat itu jauh lebih baik ketimbang memainkan isu sentimen emosional seperti saat ini yang kemudian merusakan harga diri oknum pajabat tertentu, merusakan karir dan meninggalkan gangguan psikologi dan beban pikiran yang berat bagi keluarga dan anak-anak yang ditinggalkan dari oknum yang disangkakan. atau ini memang sebuah skenario yang berhasil ??
Sesungguhnya penulis menilai kasus ini murni cermin dan potret dari sentimen emosional politik yang sedang terjadi,  siapa yang harus disalahkan atau dipertanyakan didalamnya, memang telah menjadi bahan diskusi menarik bagi elit local di seantero Kota Sorong dan Tanah Papua.  Dalam kontek tersebut penulis perna menulis tahun lalu pada kolom opini koran yang sama yakni Harian Pagi Pertama dan terbesar di Kota Sorong (Radar Sorong) berjudul “Kritis Menilai Strategi Koruptor Di Kota Sorong” Penulis dengan tegas katakan dalam kontek ini bukan murni koruptor namun ini kelalaian dan kesalahan dari sistem sistem kordinasi itu sendiri, yang membenarkan peryataan ini adalah beberapa tersangka dalam kehidupan sehari-harinya jauh dari hidup mewah layaknya koruptor yang disangkakan kepada merka, padahal tujuan korutor jelas-jelas untuk memperkaya diri.
Terlepas dari berbagai pandangan tentang bagaimana memecahkan kebuntuan pelaksanaan ini dan berbagai hal yang melatarbelakangi kebuntuan tersebut. Nampaknya terhadap pemberantasan korupsi yang oleh sebagian besar elemen masyarakat Kota Sorong bahkan Papua umumnya, dianggap sebagai biangnya kesengsaraan, perlu mendapat prioritas penanganan. Namun untuk konteks kasus yang melilit pemerintah Kota Sorong, penulis sangat mengharapkan agar pengusutan dan penangganan kasus ini harap dilakukan secara professional, dan jauh dari intrik-intrik dan pesanan politik aktor lain karena para tersangka sebenarnya hanya korban dari sistem. dan kemungkinan akan melibatkan banyak pihak, pejabat dan oknum lainnya yang ada dalam barisan kepanitiaan.
Jujur sebagai seorang aktivis penulis sudah pesimis dengan hasil kinerja pengusutan dan eksekusi yang dilakukan oleh Tipikor Polda Papua terkait kasus-kasus korupsi, sebelumnya di kota ini  belum terlihat optimal. Sebagaimana yang disuarakan oleh Ikatan Mahasiswa Sorong Raya Di Kota Jayapura baru-baru ini untuk meminta Polda Papua agar tidak terkolaborasi dan hati-hati dalam mengungkapkan kasus korupsi di Papua lebih kusus Wilayah Sorong Raya. “Masih banyak PR  di luar kasus korupsi yang belum ditangani secara serius oleh pihak polresta, penyidik dan kejaksaan”
Saran Penulis Untuk Keluar Dari Masalah Ini
Pertama, masyarakat Kota Sorong jangan mau diserang penyakit lupa, yakni  penyakit lupa ingatan yang akut, yang berhasil dibuat oleh para aktor intelktual dengan strategi jitu, sehingga penyelesaiaannya ditingkat Kejaksaan, Polresta dan Polda Papua tidak menguap (hilang) begitu saja, tanpa dikawal dengan baik oleh masyarakat.
Kedua, perkuat presur grup ditingkat akar rumput karena aktor-aktor di institusi eksekutif dan legislatif, telah mengobok-obok rakyat dan rakyat sendiri tidak merasakan bahkan tidak becus mengaawal, proses persetujuan dana pelantikan, jangan-jangan kesalahan itu terulang apalagi isntitusi yang dikawal oleh rakyat dan mahasiswa di Kota Sorong kali ini alah adinstitusi Polri khususnya Tim Penyidik dari Tipikor Polda Papua dan Polresta serta Kejaksaan! sampai kalau hal ini yang terjadi. Jelas ini satu kemenangan pertama dari aktor intelektual yang mengkondisikan emosional politiknya dalam kasus ini berjalan dengan baik. yakni mengganggu sistem pemerintahan walikota sorong.

(*) Penulis Adalah Mantan Relawan PSCS Kota Jayapura-Papua