Oleh: Robertus Nauw
Ada keindahan, setiap aku mengenang masa remaja akhir
tahun 2000. Klademak, Distrik Sorong Kota. Sorong- Papua Barat, adalah sebuah
perkampung kumuh yang penuh dengan kabut tebal kala subu, beberapa meter di
belakangnya terdapat sebuah hutan kota yang masih perawan, hutan yang tak
pernah dijelajahi siapapun kala tidak ada musim di sana. Kebun Pala namanya, hutan
ini penuh dengan berbagai
hal yang memenuhi kebutuhan hidup para warga sekitar. Namun, sekian
tahun berlalu sang mahkluk yang tak pernah diketahui motifnya membunuh semua
mahluk hidup yang ada di sana secara sadis!
Masih segar dalam ingatan, pagi itu dingin sekali. Satu demi satu, kami mangkir di para-para dengan berbagai komunikasi
isyarat. Aku keluar ke teras depan, kerena hari masih pagi keluarga yang lain
masih tertidur dengan pulasnya. Kecuali kami, jam di HP George “temanku”
menjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh menit. Mengherankan memang, tadi malam
kita bergadang di bawa cahaya bulan sampai subuh sadarkan kita. Entah mengapa
kami berkeinginan berbagi cerita. Sesuatu yang sudah mulai jarang kita lakukan.
Terutama ketika berbagai macam sudah mulai menerjang tanpa henti. Memang
berbagi cerita menjadi hal yang sering kami lakukan. Mulai dari cerita ringan,
seperti gosip sesama teman-teman di lingkungan, sampai pada nasihat, akan masa
depan dan berbagai isu seperti orang tua yang kejam, pelit dan sikap pak RT
sungguhan yang selalu melarang tuk melakukan apa saja, mulai dari jangan main
bola, jangan main gem, jangan suka kumpul. dan masih banyak lainnya yang
menguras tenaga dan pikiran. Tanpa sebuah solusi. contohnya sarana umum yang
disediakan di kampung ini sendiri tidak ada mulai dari lapangan umum, air
bersih, MCK, Poskamling, karang taruna dan lainnya. Itulah awal kenapa kami
harus berontak, dan selalu sepakat
mencari suasana yang lain kala diskusi.
***
Aku dan teman-teman tinggal bertetangga dan kami sudah
bersahabat lama, aku lebih senior dari mereka namun
kita tetap sebaya, hanya bulan yang membedakan usia. tumbuh pada generasi
antara uang dan jabatan semakin mendominan, kita adalah anak-anak muda yang
jauh dari pergumulan kaum subyetif dan kita hanya menginginkan objektivitas.
Wadah ini (Komunitas sel) kita tidak memikirkan sesuatu hal yang biasa biasa
karena kita adalah inovator, intelektualitas kita menjadi pertaruhan idiologis
untuk selalu berjalan beriringan dengan para kaum pinggiran. Ini hanya wadah
pembelajaran yang kita bersama harus memahaminya bahwa seribu kali salah
diwadah ini kita anggap sesuatu yang biasa selama kita masih menjadi kaum
pembelajar menuju kaum terpelajar. Kebersamaan di lingkungan ini, jangan kita
biarkan kotor dengan politisasi marjinalisasi harus menjadi musuh bersama.
Ini
sebuah wadah kebersamaan dimana tidak ada yang saling menggulingkan, memfitnah
dan memperkosa harga diri orang lain. Karena moto kita adalah Revolusi Cinta,
ibarat garis lurus tanpa patahan bahwa komunikasi persuasif menjadi nilai dogma
kebersamaan. Terus kreatif dalam berdiskusi untuk memecahkan soal antara untuk
dibulatkan menjadi finalitas. Kami hanya ingin belajar polos tanpa kebohongan,
kami butuh parameter sebagai pembuktian bahwa wadah ini adalah wadah untuk
keberhasilan, kami tak butuh duduk diam sebagai babu yang menunggu perintah
majikan. Jika tiba waktunya kami ingin kreatifitas tanpa perintah, kami
menginginkan sebuah loyalitas karena kami adalah orang yang loyal, kami butuh
akademisi profesional karena kami adalah idealis dan terpenting adalah kami selalu berpikir
positif karena kami adalah generasi yang jauh dari kepentingan negatif.
Sejujurnya, kami tidak mengharapkan penghargaan darimu. Kami hanya menginginkan
kegembiraan belajar bersama dimana tawa seorang senior sama bahagianya
dengan tawa seorang junior. Kami
slalu berteman dan tidak memandang pendidikan entah duduk di bangku SMA. Bangku
smp, bangku sd bahkan perguruan tinggi, bahkan lebih lagi tidak mengemyam
pendidikan Mereka itu
adalah sahabatku, mereka yang indah dan mulia hatinya yang selalu akrap aku sapa Tao
“saudara laki-laki” dalam bahasa ibuku.
***
Diskusi yang mengalir deras malam itu, berawal dari
nonton bareng pertandingan sepakbola Liga Indonesia antara Semen Padang vs
Persipura yang berakhir dengan skor imbang 1-1. kita semua penggemar berat
Persipura, sedangkan beberapa teman kami penggemar semen padang taruhan
kecil-kecilan.
“Ah tidak apa, semua ini ada hikmahnya
biar nonbar makin seru.” Kataku dalam
hati.
Sesuai kesepakatan, besok kita menjelajahi hutan.
Memang, kami termasuk keluarga kurang mampu. Boleh dikata kaum terpinggir atau
marginal sehingga membuat kami tertantang untuk terus tidak mengalah pada
nasip, tapi orang-orang dilingkungan kami tidak mendukung, sehingga, taklukan
hutan adalah pelampiasan penat kami, memutuskan untuk berkarya di hutan. Kurang lebih selama itu
bermain layaknya anak kecil tetapi didalamnya ada pelajaran berharga yang kami
rasa. Sehingga mungkin saja terlintas di benak warga “kalau pikiran kami kaya
anak keci.” tanyaku spontan!
“ah persetan, bodoh
amat dengan komentar orang. “ kata Andro temanku
“OK sepakat. Biar ada
yang mencemooh, ada yang menghina bahkan sirik kepada kita biarkan saja, jangan
dengar mereka, belum tentu mereka sempurna, yang penting hari ini kami gunakan
untuk bahagiah.” Seruku meyakinkan
teman-teman.
“benar” tambah pa RT
seraya seperti badut!! “bukankah hidup
ini telah susah. Toh kita malah berpikir susa, jangan bahas dorang nanti kita
pusing e....”
Lantas saja hening
hutan itu berubah menjadi seru, yang terpenting kita tidak terbunuh dalam
penjara hati yang dibangun oleh rasa sirik dalam diri kita sendiri.
***
Esok harinya, masih pagi benar kami berjalan menyusuri hutan akasia dan lembah yang
curamnya tidak terlalu terjal, tuk sampai ke hutan. Sesampainya di hutan
setelah kelelahan, kamipun memilih untuk beristirahat. Sembari makan, apa saja
yang bisa di makan asal jangan memakan manusia, karena kami bukan suanggi, sambil membicarakan tentang apa
yang selanjutnya dilakukan nanti di hutan ini. aku dan teman-temanku kembali melanjutkan
perjalanan, cuaca siang itu cerah, untuk dipergunakan berburu mengumpulkan
bahan makan, meramu dan mengolahnya sampai Surya Kencana, sore itu merah
sekali.
Rombongan kami bergerak melintasi padang
belantara, menyusuri anak sungai yang berbatuan yang banyak ditumbuhi bunga
liar, bunga abadi yang sering disimbolkan sebagai perlambang cinta yang
kebetulan memang lagi tengah musimnya. Begitu memasuki kawasan kali biru,
semerbak wangi pandan seakan menyeruak memenuhi indera penciuaman “duuhhh
wanginya” aku baru pertama kali merasakan sensasi keindahan alam bebas ini,
tiada henti-hentinya berucap kagum.
“seumur hidup aku baru tahu ada sungai
sebesar ini, yang airnya biru di kebun pala.”
kata ku sambil memeluk bahu sahabatku Petra yang biasa kami nobatkan
sebagai pa RT di hutan ini, “makasih ya.” Jawab ku dengan nada menggoda.
“mau lagi?” sahutnya!
“datang sendiri nanti natal k, desember k,
bawa ko pu mace biar kamu main ruma-ruma disini” begitu kata pa RT mengejek ku.
Membuat ku geram dalam hati “Ah.. setan alas
ko”
Kembali lagi, semua riang dalam senyuman
suasana tawa yang membumikan suara kami pengganti raja hutan di kebun pala di
saat sore menjelang malam itu.
***
Perjalanan menelusuri sungai, gunung. dan
hutan mulai terhenti karena malam dan gelap mulai sadarkan kita, niat kami
telah bulat untuk bermalam di tengah hutan. Taklukan sebuah gunung yang tak
kala tingginya dengan Semeru, “hanya pajangan asa” batinku merenung. Semoga
jiwa kami damai, mendapat kepuasan batin dari aktivitas yang alami seharian.
Jujur di kota orang tua di lingkungan memandulkan peran kami, lihat di sini,
kami bebas.! Kerja sesuai tim ada yang sebagai koki, timba air, pemburu dan
pasukan pemantau, dan regu pencari bahan makanan. Semua dilakukan sesuai
pilihan. Tujuannya hanya satu mengusir semua rasa sesal dan penat di hati
dengan rasa anggung jawab, mengutamakan kebersamaan, terorganisir. Semua proses
ini, mendidik kami untuk lebih bijak dalam memahami.
Malam semakin cepat berkejaran dengan waktu,
membuat sunyipun mencari tempat untuk pergi. Itu bertanda kami harus lepaskan
segala penat tubuh ini ke peraduan di tengah hutan belantara hingga pagi yang
sadarkan nanti, malam yang semakin sunyi kami ditemani dengan kicauan burung
yang menyayikan lagu rindu. Membuat doa semoga malam ini tetap indah dan
hilangkan beban dalam diri kami, rumah tua dari bilik bambu beratap ilalang
adalah rumah terakhir kami, saksi bisu
dari puja dan puji tentang hari esok
yang lebih baik yang dinaikan.
Kami bisa diandalkan sebagai pemuda, pelajar,
dan mahasiswa dengan kepasrahan yang sungguh membuat kami tabih meniti
kehidupan dari bawa penuh dengan tantangan, mimpi ingin jadi orang sukses jika gagal kami
berani bermimpi walau terbang dengan sayap-sayap patah. Kami ingin menjadi
lebih biru dari lautan, lebih hijau dari hutan, lebih puti dari langit, lebih
lembut dari kapas dan sutra walau ini hanya sebuah mimpi semoga niat suci ini
menjadi kenyataan jika di ijinkan oleh Tuhan Sang Pencipta Alam Raya itu
sendiri.
Di hutan
kemampuan kami teruji, kami berkebun, membuat pagar membangun rumah, reboisasi,
memburuh dan meramu mengumpulkan bahan makanan masih dengan cara yang sangat
alami, kami selalu berjalan siang atapun malam dengan tidak rasa takut kami
tidur berhari-hari bahkan bermingu-minggu. Entah di ruma kebun atau di tanah
beralskan daun tidak masalah bagi kami, musuh utama kami adalah orang lain yang merusak hutan, jika sampai
ketahuan kita biasa menyerang secara sadis bahkan melukai dengan trik licik
kami, Dengan bahasa sedikit bangga “hutan saja kami taklukan,
apalagi kalian”
Itulah motif kita menaklukan hutan bertahun-tahun, dirumah kami dikekang,
lebih baik di hutan kami bebas, faktanya mahkluk yang tak pernah diketahui
selama ini membunuh semua mahkuluk hidup yang ada di sana (hutan)secara sadis!
Adalah kami. Yang kini akrap dengan sapaan Sang putra rimba.
***
Ya Tuhan aku
mohon supaya kami jangan dibawa kejalan yang mudah dan lunak, melainkan dibawah
ke jalan yang penuh desakan Kesulitan dan tantangan. Didiklah kami supaya ulet
berdiri di atas badai, bentuklah kami menjadi manusia yang hatinya jernih.
Yang cita –
citanya luhur, anak yang sanggup memimpin dirinya sebelum sanggup memimpin
orang lain.Dengan demikian, kami akan memberanikan diri untuk berbisik. Hidupku
ini tidak sia-sia, dalam menghadapi dunia nyata denga segala tantangan dan
kesulitan. SEMOGA
***