Rabu, 01 Januari 2014

Walikota Sorong Dalam Tuntutan Tahun Politik

Oleh: Robertus Nauw (*)
Pembaca setia opini harian pagi radar sorong budiman, tulisan penulis kali ini tidak ada niat mendiskriminasikan apalagi mengucilkan pihak manapun. Ini kajian kritis dan refleksi atas dinamika kehidupan di perkotaan di tengah era paling modern. Dimana diakhir tahun ini, banyak media yang meliput peristiwa monumental yang terjadi di kota ini, pasca dilantiknya Walikota dan Wakil Walikota Sorong periode 2012-2017 Juni tahun lalu.  Drs. Ec. Lambert. Jitmau, MM dan dr. Hj. Pahima Iskandar, dilantik sesuai SK Mendagri  Nomor 131.91-336/ 2012 tertanggal 14 Mei 2012. Pelantikan yang berlangsung dalam Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kota Sorong. 
Merupakan hasil Pemilukada Kota Sorong yang digelar 22 Maret tahun lalu adalah bukti dan kecintaan rakyat akar rumput, sebut saja pemuda, tukang ojek, sopir, buruh, pedagang, dan sampai ke pekerja batu, pekerja pasir, kuli bangunan, politisi, pejabat, pengusaha dan bahkan sebagian besar pegawai negeri sipil dilingkungan pemerintah kota sorong, sampai ormas dan organisasi kepemudaan, mereka menunjukan bahwa 1 putaran adalah sebuah harga yang tidak main-main, untuk sebuah loyalitas   mereka kepada Drs. Ec. Lambert. Jitmau, MM.
Disebut monumental karena hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan berkantor dan menjabat sebagai orang 01 di kota ini, walikota dan wakil walikota diterpa barmacam badai dan kecaman baik murni dari masyarakat , maupun oleh boncengan para elit dan oleh lawan politik secara sporadis dan terstruktur, yang tentunya punya target mengganggu pemerintahan walikota.. Sebut saja aksi palang memalang yang kemudian menjadi trend di sebagian masyarakay kota sorong. Seperti pemalangan kantor KPU Kota Sorong, Pemalangan Bandara DO, Pemalangan SMP Negeri 6 (yang nota bene ada SMP N 10 Dan juga salah satu SMK yang masih ngebeng). Bahkan masih segar dalam ingatan, walikota sorong dimasa kepemimpinanannya, 2 kali menerima ratusan demonstran dihalaman kantornya.
Kita berharap dinamika yang menanti pemimpin baru kita ini, cepat berlalu bahkan kita berdoa agar banyak kasus yang persoalannya hampir pasti menjurus ke persoalan SARA (Suku Ras dan agama) cepat ditindak tegas oleh aparat dan juga pemerintah serta tokoh-tokoh masyarakat agama, masyarakat dan lain sebagainya, untuk menjaga kelangsunan kebersamaan kita di atas tanah dan negeri mala moi dan papua tercinta ini, yang menjadi peryataan penulis adalah semua kasus di atas bukan selesai tanpa upaya dan biaya yang sedikit dan itu harus diapresiasi.
Saya sepakat dengan peryataan walikota sekelas Drs. Ec. Lambert. Jitmau, MM  di beberapa kesempatan terbuka kepada public, beliau menyampaikan bahwa sebagai pribadi Ia tidak punya uang, namun sebagai walikota dan pemangku jabatan Negara, walikota secara intitusi punya uang. Menurut penulis pernyataan atau statemen di atas selain alasannya rasional, juga menarik bila dikaitkan dengan fenomena masyarakat Papua khususnya. Tidak seluruhnya, tapi dalam pengamatan sehari-hari, dinamana berani mengambil sikap tegas dan tidak mau korbankan satu pihak dalam hal ini persoalan ganti rugi oleh pemerintah dimasa kepemimpinan beliau adalah sikap pemimpin. Terlebih beliau sangat menjunjung tinggi nilai-nilai yang ilahi, agama/kemanusiaan, serta alam dan adat, atau pendekatan A3 Allah, Alam, Adat perspektif  walikota
Terlepas dari pendekatan ganti rugi dan apapun namanya, masih banyak peroalan yang perlu dikritisi adalah permohonan bantuan alias proposal baik untuk bantuan pendidikan, pembangunan rumah, renovasi, pembangunan masjid, gereja, kesulitan ongkos, sakit, keluarga meninggal, uang seragam buat anak dan lain-lain. Penulis pun berkesimpulan, permohonan bantuan masyarakat ke kantor-kantor pemerintahan cukup tinggi, baik melalui proposal maupun Pertanyaannya langsung. Haruskah walikota dan wakilwalikota memakai cara yang penulis apresiasi di atas untuk kemudian menjawab dinamika seperti ini, Entah !!
Namun menurut penulis, lebih bijak kalau walikota jangan ciptakan apalagi menumbuhkan dan terus memeliharan ciri ketergantungan masyarakat pada pemerintah yang relatif tinggi. Dan berikut hal yang perlu dikritisi adalah persoalan politik di tingkat elit menjelang Tahun politik 2014, posisi walikota dan jajaran pemerintah memang dituntut netral, hanya saja pesoalan balas budi menjadi sebuah taruhan, yang kemudian menjai sulit untuk netral, bukan tidak mungkin cara licik dan tangan besi akan digerakan, toh…keluar dari masalah politik masyarakat kaki ba abu hanya butuh modal usaha, butuh lapangan kerja yang layak, butuh perubahan nasib yang berarti. Namun hal ini tidak akan terjadi, menurut perdiksi penulis harapan itu akan dibayar dengan beras per karung, indomi, kaos kampanye, 100 ribu hasil serangan fajar, dan diskriminasi politik.
Penulis melihat satu tahun ini akan menjadi pertaruhan, dimana Pertama, para pimpinan yang menduduki SKPD banyak yang berpangku kaki, karena belum ada perubahan berarti dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, jangan sampai pemerintahan ini tidak benar karena diduduki oleh orang-orang yang tidak benar dalam bekerja. Kedua, Makelar Bantuan proposal diwilayah kota sorong harus ditertipkan. Ketiga, pemerintah perlu menciptakan iklim pembangunan ekonomi masyarakat yang cerdas tanpa bersinggungan dengan mental meminta-minta. karena merasa dianaktirikan. tetapi menjadi pimpinan SKPD yang baik harus berusaha untuk mencapai kemajuan, kemakmuran dan wujutkan kesejahteraan bersama dalam rangka           membebaskan masyarakat dari belenggu Kebodohan, Kemiskinan, Keterbelakangan dan Kesehatan Yang rendah tentunya dengan misi meningkatnya pengembangan sosial dan  meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Karena dipundak semua SKPD,  kepercayaan dan empati dari 46.774 suara dari berbagai golongan yang berhasil mengantarkan beliau duduk sebagai Walikota di uji, kalian duduki pimpinan SKPD bukan karena faktor balas budi, tapi kualitas. Karir walikota dipertaruhkan, karena masyarakat melihat walikota bukan dari soal politik namun dari soal kemauan membangun masyarakat, namun kedepan walikota paksakan untuk kemauan politik, maka biarkan rakyat saja yang menilainya di 2014 nanti dengan melihat Golkar  sebagai baromter.
 
(*) Penulis adalah mantan relawan PSCS Kota Jayapura-Papua