Kamis, 18 Juli 2013

Masyarakat Mengharapkan Pers


Oleh: Robertus Nauw 


Mark Twain tidak sedang menggigau, apalagi berfantasi. Ia mengatakan yang sesungguhnya “Bisa dibayangkan betapa gelapnya dunia ini tanpa ada sinar matahari, dan betapa buramnya suatu bangsa tanpa ada pers yang bebas” (Media Insan Cita, 34, 2009) Pers adalah senjata yang paling tajam diantara yang tajam, lewat pers masyarakat dicerahkan, lewat pers pula masyarakat disadarkan.
itu sebabnya berbagai slogan telah berakar kuat di masyarakat seperti pers adalah milik rakyat, pers adalah penyambung lidah masyarakat, serta pers adalah mata dan hati masyarakat, ini pertanda bahwa pers sudah mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat luas terutama masyarakat akar rumput. Jika melihat kembali perkembangan perjalanan pers di Indonesia setelah reformasi tahun 1998, kebebasan pers seperti terlahir kembali, itu bisa dilihat dari jumlah kuantitas media sendiri, lebih khusus media lokal di Kota Sorong, Papua Barat baik media cetak maupun elektronik mereka telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan bertanggungjawab. Sekalipun ada kekurangan disana sini seperti fungsi pengawasan/kontrol sosial dengan melakukan investikagasi reportase, menurut penulis hanya sebagian media.
Media seperti ini yang perlu didukung oleh masyarakat, karena mereka maju tak gentar membela yang benar. Dibandingkan media lainnya yang maju tak gentar tapi membela yang bayar. Ini adalah potret wajah pers di Kota Sorong yang kemudian diakui dan dinilai masyarakat ada pers yang baik dan ada pers yang buruk. Pers yang baik menapat slogan pers adalah penyambung lidah dan harapan masyarakat, sedangkan pers yang buruk mendapat slogan penguras kantong pejabat, kantong politisi, pengusaha dan kantong masyarakat.
Kembali pada peran media sebagai salah satu alat kontrol sosial, sebagian media sendiri belum mampu memberikan suatu kepuasan bagi masyarakat, pada tatanan ini pers belum secara representatif menyalurkan aspirasi dan berbagai masalah yang dialami oleh masyarakat yang tidak di angkat secara terbuka oleh media. malah sebagaliknya media berusaha ikut membentuk suatu opini di masyarakat luas dan berhasil menjadi satu stigma yang kuat, padahal kebenarannya relatif contoh isu sederhana yang sudah tidak bisa dibantah adaalah pernyataan berbagai kalangan yang menilai otsus gagal karena ulah pejabat Papua sendiri yang korup, sehingga timbul sebuah pertanyaanya apa memang benar sudah seburuk itu moral seluruh pejabat Papua mulai dari Sorong hingga Samarai. Logika sederhana di masyarakat akan tetap jalan, masa dari sekian pejabat yang ada sudah tidak ada yang baik dan apa benar sudah sudah seburuk itu.? Menurut hemat penulis, keburukan pejabat Papua  hari ini sepenuhnya tanggungjawab media karena ulah media sehingga stigma semua pejabat Papua korup kian subur, bahkan terjebak dalam 1 stigma yang kuat.