Oleh: Robertus Nauw
Mark
Twain tidak sedang menggigau, apalagi berfantasi. Ia mengatakan yang
sesungguhnya “Bisa dibayangkan betapa gelapnya dunia ini tanpa ada sinar
matahari, dan betapa buramnya suatu bangsa tanpa ada pers yang bebas”
(Media Insan Cita, 34, 2009) Pers adalah senjata yang paling tajam diantara
yang tajam, lewat pers masyarakat dicerahkan, lewat pers pula masyarakat
disadarkan.
itu sebabnya berbagai slogan telah berakar kuat di
masyarakat seperti pers adalah milik rakyat, pers adalah penyambung lidah
masyarakat, serta pers adalah mata dan hati masyarakat, ini pertanda bahwa pers
sudah mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat luas terutama masyarakat
akar rumput. Jika melihat kembali perkembangan perjalanan pers di Indonesia
setelah reformasi tahun 1998, kebebasan pers seperti terlahir kembali, itu bisa
dilihat dari jumlah kuantitas media sendiri, lebih khusus media lokal di Kota
Sorong, Papua Barat baik media cetak maupun elektronik mereka telah menjalankan
tugas dan fungsinya dengan baik dan bertanggungjawab. Sekalipun ada kekurangan
disana sini seperti fungsi pengawasan/kontrol sosial dengan melakukan
investikagasi reportase, menurut penulis hanya sebagian media.
Media seperti ini yang perlu didukung oleh masyarakat,
karena mereka maju tak gentar membela yang benar. Dibandingkan media lainnya
yang maju tak gentar tapi membela yang bayar. Ini adalah potret wajah pers di
Kota Sorong yang kemudian diakui dan dinilai masyarakat ada pers yang baik dan
ada pers yang buruk. Pers yang baik menapat slogan pers adalah penyambung lidah
dan harapan masyarakat, sedangkan pers yang buruk mendapat slogan penguras
kantong pejabat, kantong politisi, pengusaha dan kantong masyarakat.
Kembali pada peran media sebagai salah satu alat kontrol
sosial, sebagian media sendiri belum mampu memberikan suatu kepuasan bagi
masyarakat, pada tatanan ini pers belum secara representatif menyalurkan
aspirasi dan berbagai masalah yang dialami oleh masyarakat yang tidak di angkat
secara terbuka oleh media. malah sebagaliknya media berusaha ikut membentuk
suatu opini di masyarakat luas dan berhasil menjadi satu stigma yang kuat,
padahal kebenarannya relatif contoh isu sederhana yang sudah tidak bisa
dibantah adaalah pernyataan berbagai kalangan yang menilai otsus gagal karena
ulah pejabat Papua sendiri yang korup, sehingga timbul sebuah pertanyaanya apa
memang benar sudah seburuk itu moral seluruh pejabat Papua mulai dari Sorong
hingga Samarai. Logika sederhana di masyarakat akan tetap jalan, masa dari
sekian pejabat yang ada sudah tidak ada yang baik dan apa benar sudah sudah
seburuk itu.? Menurut hemat penulis, keburukan pejabat Papua hari ini
sepenuhnya tanggungjawab media karena ulah media sehingga stigma semua pejabat
Papua korup kian subur, bahkan terjebak dalam 1 stigma yang kuat.