Jumat, 17 Januari 2014

Rakyat Tidak Salah Kalau Mereka Miskin


Oleh: Robertus Nauw (*) 

Ingat, DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat, Bukan Dewan Penipu Rakyat. Pembaca yang budiman, tulisan penulis kali ini tidak ada niat mendiskriminasikan apalagi mengucilkan pihak manapun. Ini kajian kritis dan refleksi atas dinamika kehidupan politik di tengah era paling modern. Dalam konteks politik praktis, penulis sepakat dengan perkatataan salah seorang tokoh pemikir eropa dizamannya, ia mengatakan bahwa:

"Orang-orang yang berhasil di dunia ini adalah orang-orang yang bangkit dan mencari keadaan yang mereka inginkan, dan jika tidak menemukannya, mereka akan membuatnya sendiri"  - (George Bernard Shaw, Buku Rumah Kiri, 1999 hal 132)

Sebuah kata bijak yang menurut penulis merefleksikan hidup elit oportunis dan rakyat marjinal di papua dalam menjalani dan mempertahankan hidup dalam kehidupan ini, yang tidak mendapat keadilan dan diskriminasi hampir di semua aspek dan masyarakat marjinalnya di massa paling moderen ini rakyat marjinalnya masih tetap hidup, dalam sebuah massa yang memprihatinkan, jauh dari fasilitas publik yang memadai dan kesenjangan sosial yang mencolok. Ibarat itik mati kehausan di tengah air, demikian rakyat kecil mengharapkan setitik embun kesejahteraan ditengan era paling kaya, yakni di era otsus, dimana uang dan jabatan di hambur-hamburkan seperti mainan.
Apakah hal ini punya arti, dalam paradigma "lama" dalam arti yang paling dominan, untuk menjadi sukses orang harus dikuasai oleh "roh memiliki." Bila Anda ingin berhasil dalam mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, Anda "harus" memiliki kedekatan khusus dengan sistem. Tanpa "roh memiliki" Anda "tidak mungkin" mendapatkan pekerjaan yang kita inginkan, atau mendapat apapun yang kita inginkan, ini sudah menjadi budaya baru bagi kita sesama rakyat papua yakni harus punya orang dalam. Akibatnya, "roh memiliki" sangat kuat mengakar dalam budaya kita.
Sehingga tanpa memiliki hal-hal tersebut, orang kehilangan keyakinannya untuk berhasil dalam kehidupan. Dan orang yang kehilangan keyakinan, pada hemat saya, telah kehilangan jati dirinya sendiri. Ia menjadi kelompok marginal, yang dipandang sebelah mata dan tidak diperlakukan sebagai manusia. "Roh memiliki" telah menyesatkan banyak orang. Sehingga titengah ketidak berdayaan ini, Elit oportunis asal papua yang berpikir bahwa hidup kita indah apabila kita kembali perjuangkan satu daerah otonom baru. Yang sejatinya tidak harus begitu !!
Jujur akhir-akhir ini, semua orang sedang mencari kebenaran demi kedamaian di Papua. Dan dimaybrat, Dari kaum kecil sampai besar, dari kaum buta huruf sampai kaum cendikiawan masih terus mencari kebenaran bersama. Segala cara seperti pemekaran wilayah, untuk pendekatan keamanan, kesejahteraan, kebudayaan-sosial-masyarakat dan pendekatan agama, serta dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan digunakan mereka untuk memperoleh realitas kebenaran. Segala kemampuan, ruang dan waktu pun dapat diatur oleh setiap kita secara sedemikian rupa sehingga kita tidak pernah merasa puas untuk mencarinya.
Namun esensi kebenarannya itu, hingga kini masih belum juga diperoleh. Kita ini masih semakin jauh dari dari apa yang dicari bersama. Realitas kebenaran hilang dalam berbagai upaya tersebut. Kita berdialog tentang kebenaran dan perdamaian, tetapi esensinya masih jauh dari realitas konkret ketika orang salah menggunakan proyek demokratis dan damai dalam realitas masalah Papua umumnya dan maybrat khususnya.
Yang berada hanya, objektivitas manusia hitam-putih dan duka rakyat bumi Papua yang tergolong miskin di semua daerah, hampir dipermainkan oleh elitnya sendiri. Secara gamblang, sejumlah jalan kebenaran yang dimaksud itu yakni UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebentar lagi kebijakan Otsus Plus yang telah direalisasikan pada Agustus, 2013, pendekatan militerismen dalam menuntaskan konflik Papua, perluasan kaum Investor yang mengeksploitasi alam dan manusia Papua dan tertutupnya ruang demokrasi di Papua dan membludaknya para pekerja dari luar Papua.
Dan melaratnya rakyat asli papua, Apakah ini yang kemudian kita sebut konsep dan program ini digunakan mereka sebagai jalan kebenaran dan kebaikan bersama demi mewujudkan Papua sebagai Tanah damai. Mandiri, sejahtera dan sejajar dengan daerah lain di kawasan Indonesia yang kita cintai ini??? Entah…
Jelas omong kosong, kebenaran bersama menjadi hilang dan tidak pernah terrealisasi ketika sejumlah pendekatan, konsep dan Undang-Undang itu digunakan dan direalisasikan mereka secara sepihak. Kebenaran tidak lagi menjiwai diri mereka dalam realisasi kerja dan tugas pokoknya, kala apa yang diperjuangkan itu kunjung tiba.
Kepentingan politik pemerintah Indonesia melakukan banyak pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi di tanah Papua memanfaatkan pejabat yang kerjanya menjilat, jelas-jelas adalah liar pemekaran tidak melalui suatu proses yang benar dan bertanggungjawab dengan memenuhi syarat-syarat. Jika dilihat dari realita: Semua kebijakan elit politik bukan kepentingan memajukan, membangun dan mensejahterakan rakyatnya, Menurut hemat saya, kalimat kuncinya ialah bual-bual politik elit lokal papua yang kebablasan.       
Tanpa kepentingan asas keadilan dan kemanusiaan serta masa depan kelangsungan hidup orang-orang  pemilik, ahli waris negeri. Elit lokal di papua juga mengelola daerahnya sebagai wilayah bermasalah  dan daerah konflik yang perlu diselesaikan dengan pendekatan keamanan.
Bahkan jauh lebih penting yang tidak dikaji oleh semua pejabat papua yang terhormat, kehadiran pemekaran wilayah cenderung memunculkan pengelompokan sesuai dengan suku masing-masing sehingga keadaan ini sudah sangat berbahaya untuk masa depan orang asli papua (OAP). Sekedar untuk direnungkan: Tahun 2011, Penduduk Asli Papua 1.700.000 dan Pendatang 1.980.000. Total 3.680.000. Presentase 47% Penduduk Asli Papua dan Pendatang 55%. (Baca Papua Rot Map Show). Sementara dari kuantitas (jumlah) penduduk OAP semakin berkurang, tetapi volume pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi di papua meningkat. Ini keadaan nyata sangat kontras dan benar-benar ironis.  
Walaupun sisi lain pemekaran membawa dampak positif, namun dampak negatif dari pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi, yang paling menonjol dan membawa kehancuran terhadap masa depan Papua. Sehingga mempersiapkan diri dari aspek Sumber Daya Manusia (SDM) untuk membangun kabupaten atau kota dan Provinsi yang sudah ada dari pemekaran, jauh lebih terhormat karena itu solusi yang tepat. Bukan sebaliknya menjadikan jabatan dan mandate dari rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompok dan kepentingan partai semata.
Akhir dari tulisan ini penulis sampaikan bahwa, mayarakat tidak salah kalau mereka miskin, mereka bodoh, mereka menderita, mereka sakit, mereka lapar, mereka buta huruf dan lain sebagainya, karena yang salah adalah pemerintah yang menjadi wakil dari rakyat itu sendiri yang tidak serius mendedikasikan harkat, martabat dan moralnya yang sungguh untuk melayani rakyatnya, karena mereka adalah representatif dari rakyat yang dipilih untuk menentukan kebijakan, jadi kalau rakyat miskin miskin, mereka bodoh, mereka menderita, mereka sakit, mereka lapar, mereka buta huruf dan lain sebagainya, bukan salah masyarakat, TETAPI ITU MURNI salah pejabat pemerintah mereka sendiri.nyang tidak becus mengurus rakyatnya. SEMOGA

(*) Penulis Adalah Mantan Relawan Political Strategi Coseling Service, Kota Jayapura 2009;                              
    Watawan; Pegiat Media; dan Penulis Buku