Oleh: Robertus Nauw (*)
Ingat, DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat, Bukan Dewan Penipu Rakyat. Pembaca yang
budiman, tulisan penulis kali ini tidak ada niat mendiskriminasikan apalagi
mengucilkan pihak manapun. Ini kajian kritis dan refleksi atas dinamika
kehidupan politik di tengah era paling modern. Dalam konteks politik praktis,
penulis sepakat dengan perkatataan salah seorang tokoh pemikir eropa
dizamannya, ia mengatakan bahwa:
"Orang-orang yang berhasil di dunia ini adalah orang-orang yang
bangkit dan mencari keadaan yang mereka inginkan, dan jika tidak menemukannya,
mereka akan membuatnya sendiri" - (George Bernard Shaw, Buku Rumah Kiri, 1999
hal 132)
Sebuah kata
bijak yang menurut penulis merefleksikan hidup elit oportunis dan rakyat
marjinal di papua dalam menjalani dan mempertahankan hidup dalam kehidupan ini,
yang tidak mendapat keadilan dan diskriminasi hampir di semua aspek dan
masyarakat marjinalnya di massa paling moderen ini rakyat marjinalnya masih
tetap hidup, dalam sebuah massa yang memprihatinkan, jauh dari fasilitas publik
yang memadai dan kesenjangan sosial yang mencolok. Ibarat itik mati kehausan di
tengah air, demikian rakyat kecil mengharapkan setitik embun kesejahteraan
ditengan era paling kaya, yakni di era otsus, dimana uang dan jabatan di hambur-hamburkan
seperti mainan.
Apakah hal ini
punya arti, dalam paradigma "lama" dalam arti yang paling dominan,
untuk menjadi sukses orang harus dikuasai oleh "roh memiliki." Bila
Anda ingin berhasil dalam mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak, Anda
"harus" memiliki kedekatan khusus dengan sistem. Tanpa "roh
memiliki" Anda "tidak mungkin" mendapatkan pekerjaan yang kita
inginkan, atau mendapat apapun yang kita inginkan, ini sudah menjadi budaya
baru bagi kita sesama rakyat papua yakni harus punya orang dalam. Akibatnya,
"roh memiliki" sangat kuat mengakar dalam budaya kita.
Sehingga tanpa
memiliki hal-hal tersebut, orang kehilangan keyakinannya untuk berhasil dalam
kehidupan. Dan orang yang kehilangan keyakinan, pada hemat saya, telah
kehilangan jati dirinya sendiri. Ia menjadi kelompok marginal, yang dipandang
sebelah mata dan tidak diperlakukan sebagai manusia. "Roh memiliki"
telah menyesatkan banyak orang. Sehingga titengah ketidak berdayaan ini, Elit
oportunis asal papua yang berpikir bahwa hidup kita indah apabila kita kembali
perjuangkan satu daerah otonom baru. Yang sejatinya tidak harus begitu !!
Jujur
akhir-akhir ini, semua orang sedang mencari kebenaran demi kedamaian di Papua. Dan
dimaybrat, Dari kaum kecil sampai besar, dari kaum buta huruf sampai
kaum cendikiawan masih terus mencari kebenaran bersama. Segala cara seperti
pemekaran wilayah, untuk pendekatan keamanan, kesejahteraan,
kebudayaan-sosial-masyarakat dan pendekatan agama, serta dengan berbagai
disiplin ilmu pengetahuan digunakan mereka untuk memperoleh realitas kebenaran.
Segala kemampuan, ruang dan waktu pun dapat diatur oleh setiap kita secara
sedemikian rupa sehingga kita tidak pernah merasa puas untuk mencarinya.
Namun esensi
kebenarannya itu, hingga kini masih belum juga diperoleh. Kita ini masih
semakin jauh dari dari apa yang dicari bersama. Realitas kebenaran hilang dalam
berbagai upaya tersebut. Kita berdialog tentang kebenaran dan perdamaian,
tetapi esensinya masih jauh dari realitas konkret ketika orang salah
menggunakan proyek demokratis dan damai dalam realitas masalah Papua umumnya
dan maybrat khususnya.
Yang berada
hanya, objektivitas manusia hitam-putih dan duka rakyat bumi Papua yang
tergolong miskin di semua daerah, hampir dipermainkan oleh elitnya sendiri.
Secara gamblang, sejumlah jalan kebenaran yang dimaksud itu yakni UU 21/2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, sebentar lagi kebijakan Otsus Plus
yang telah direalisasikan pada Agustus, 2013, pendekatan militerismen dalam
menuntaskan konflik Papua, perluasan kaum Investor yang mengeksploitasi alam
dan manusia Papua dan tertutupnya ruang demokrasi di Papua dan membludaknya
para pekerja dari luar Papua.
Dan melaratnya
rakyat asli papua, Apakah ini yang kemudian kita sebut konsep dan program ini
digunakan mereka sebagai jalan kebenaran dan kebaikan bersama demi mewujudkan
Papua sebagai Tanah damai. Mandiri, sejahtera dan sejajar dengan daerah lain di
kawasan Indonesia yang kita cintai ini??? Entah…
Jelas omong
kosong, kebenaran bersama menjadi hilang dan tidak pernah terrealisasi ketika
sejumlah pendekatan, konsep dan Undang-Undang itu digunakan dan direalisasikan
mereka secara sepihak. Kebenaran tidak lagi menjiwai diri mereka dalam realisasi
kerja dan tugas pokoknya, kala apa yang diperjuangkan itu kunjung tiba.
Kepentingan
politik pemerintah Indonesia melakukan banyak pemekaran kabupaten atau kota dan
provinsi di tanah Papua memanfaatkan pejabat yang kerjanya menjilat,
jelas-jelas adalah liar pemekaran tidak melalui suatu proses yang benar dan
bertanggungjawab dengan memenuhi syarat-syarat. Jika dilihat dari realita: Semua
kebijakan elit politik bukan kepentingan memajukan, membangun dan
mensejahterakan rakyatnya, Menurut hemat saya, kalimat kuncinya ialah bual-bual
politik elit lokal papua yang kebablasan.
Tanpa
kepentingan asas keadilan dan kemanusiaan serta masa depan kelangsungan hidup
orang-orang pemilik, ahli waris negeri.
Elit lokal di papua juga mengelola daerahnya sebagai wilayah bermasalah dan daerah konflik yang perlu diselesaikan
dengan pendekatan keamanan.
Bahkan jauh
lebih penting yang tidak dikaji oleh semua pejabat papua yang terhormat,
kehadiran pemekaran wilayah cenderung memunculkan pengelompokan sesuai dengan suku
masing-masing sehingga keadaan ini sudah sangat berbahaya untuk masa depan
orang asli papua (OAP). Sekedar untuk direnungkan: Tahun 2011, Penduduk Asli
Papua 1.700.000 dan Pendatang 1.980.000. Total 3.680.000. Presentase 47%
Penduduk Asli Papua dan Pendatang 55%. (Baca
Papua Rot Map Show). Sementara dari kuantitas (jumlah) penduduk OAP semakin
berkurang, tetapi volume pemekaran kabupaten atau kota dan provinsi di papua
meningkat. Ini keadaan nyata sangat kontras dan benar-benar ironis.
Walaupun sisi lain
pemekaran membawa dampak positif, namun dampak negatif dari pemekaran kabupaten
atau kota dan provinsi, yang paling menonjol dan membawa kehancuran terhadap
masa depan Papua. Sehingga mempersiapkan diri dari aspek Sumber Daya Manusia
(SDM) untuk membangun kabupaten atau kota dan Provinsi yang sudah ada dari
pemekaran, jauh lebih terhormat karena itu solusi yang tepat. Bukan sebaliknya
menjadikan jabatan dan mandate dari rakyat untuk kepentingan pribadi dan
kelompok dan kepentingan partai semata.
Akhir dari
tulisan ini penulis sampaikan bahwa, mayarakat tidak salah kalau mereka miskin,
mereka bodoh, mereka menderita, mereka sakit, mereka lapar, mereka buta huruf
dan lain sebagainya, karena yang salah adalah pemerintah yang menjadi wakil
dari rakyat itu sendiri yang tidak serius mendedikasikan harkat, martabat dan
moralnya yang sungguh untuk melayani rakyatnya, karena mereka adalah
representatif dari rakyat yang dipilih untuk menentukan kebijakan, jadi kalau
rakyat miskin miskin, mereka bodoh, mereka menderita, mereka sakit, mereka
lapar, mereka buta huruf dan lain sebagainya, bukan salah masyarakat, TETAPI
ITU MURNI salah pejabat pemerintah mereka sendiri.nyang tidak becus mengurus
rakyatnya. SEMOGA
(*) Penulis Adalah Mantan
Relawan Political Strategi Coseling Service, Kota Jayapura 2009;
Watawan; Pegiat Media; dan Penulis Buku